Budaya-Tionghoa.Net | Hari raya Tang Cik sebetulnya sejak lama sudah ada lebih dulu sebelum tahun Masehi. Banyak bangsa-bangsa pada zaman kuno mempunyai hari raya untuk memuja Matahari. Diantaranya yang terkenal dengan “natal”. Istilah itu sendiri berarti “hari lahir” dan yang lahir itu tidak lain adalah Matahari. Di Persia kuno misalnya, memuja Dewa Matahari yang dikenal dengan nama Mithras, jatuh pada tanggal 25 Desember dan dikenal dengan istilah Natal. Hal ini tepat pula dengan Hari Raya Christmas yang juga jatuh pada tanggal yang sama, yaitu tanggal 25 Desember.
|
Perhitungan yang tepat, detik pulihnya atau lahir kembalinya Matahari menurut perhitungan astronomis yang tepat jatuh pada hari Tang Cik, yaitu pada tanggal 22 Desember. Memang pada hari itu merupakan hari yang terpanjang dan malam yang terpendek di belahan bumi sebelah Utara sepanjang tahun, yang dinamakan “Winter Solstice” yang menandakan berakhirnya tahun pertanian dan astronomis, karena matahari telah merampungkan peredarannya dan akan lahir kembali dan memulai zaman produksi baru dan merupakan saat dimana unsur “yin” (negatif) sangat berkuasa. Biasanya melambangkan kegelapan, kematian atau kewanitaan. Namun pada saat itu juga, tanggal 22 Desember jam 12.00 adalah berbareng pulih kembalinya unsur “yang” (positif) yang lambat laun akan menjadi dewasa pada Tahun Baru menyusul Perayaan Cing Bing atau Paskah.
Pengaruh kultus Mithraik ini sangat besar pada mitologi dan religi berbagai bangsa. Pengaruhnya telah berjalan berabad-abad lamanya dan kultus ini rupanya mudah sekali beradaptasi dengan kultur berbagai bangsa. Di India, Dewa Mitra dikenal sebagai Dewa Penerangan, di Persia dalam Zoroastrianisme terkenal sebagai “Penguasa padang rumput yang luas”. Kemudian lahir sebagai “dewa yang menguasai lapisan tengah, berkedudukan di antara surga dan neraka”. Di Roma lahir sebagai Dewa Pahlawan yang membantai Banteng Kegelapan. Sedangkan di Jepang rupanya lahir sebagai Dewa Matahari “Amaterasu no Kami” yang pernah menghasilkan militerisme yang menakjubkan. Istilah kuno Matahari dalam bahasa China diucapkan sebagai “Dai-Yang” (bhs. Mandarin) dan “Da-yo” menurut ucapan kuno.
Pemujaan pada Dewa Matahari sebagai Dewa yang memenangkan kegelapan menjadikan matahari dipuja sebagai Dewa Penyelamat, Dewa Penyembuhan, Dewa Kemenangan, dan sebagainya.
Banyak pula Dewa Penyelamat dikenal sebagai penitisan kembali dari Dewa Matahari. Di Barat terdapat Dewa Escalapius, lambang penyembuhan, sekarang dipakai sebagai lambang kedokteran (ular membelit). Kemudian Dewa Bachus, Osiris dan Mithras merupakan dewa titisan matahari yang melambangkan penyelamatan, penyembuhan dan penerangan. Demikian di negeri China, Dewa Matahari itu menitis sebagai “Posing Tay Tee” sebagai Dewa Penyembuh dan Kehidupan. “T’ay Siang Lo Kun” merupakan dewa-dewa yang menitis sebagai Dewa Penerangan yang mengajarkan kepercayaan/agama dan masih banyak lagi. Bahkan “Lao Tze” dan “Khonghucu” juga sebetulnya adalah Dewa Penerangan, dalam kadar tertentu juga menyelamatkan umat manusia dari kehancuran dan kebiadaban.
Namun, di negeri China tidak terjadi apa yang dikatakan monolatrisme, karena matahari tetap dipuja di samping bulan dan bintang. Matahari di dunia Timur dipandang sebagai salah satu ciptaan Tuhan saja yang harus akur menjalankan tugasnya dengan lain-lain ciptaan Tuhan seperti rembulan dan bintang. Maka di dunia Timur, gelap dan terang itu merupakan kesatuan utuh. Di dunia Timur tidak timbul pendapat bahwa yang terang, yang putih selalu menang. Gelap dan terang itu tidak ada yang menang dan yang kalah, tetapi satu kenyataan hidup yang benar. Oleh karena itu, di belahan Asia Timur tidak timbul dogmatik, tetapi aksiomatik berfahamkan “keutuhan” terkenal dengan sebutan “kesempurnaan”.
PERAYAAN MUSIM DINGIN
Pada perayaan Natal selalu terlihat rangkaian pohon natal (kerstboom, Bld.) yang terdiri dari pohon cemara (den, Bld.) yang diberi hiasan pita-pita berwarna prada perak dan emas serta bola warna-warni yang gemerlapan. Dekorasi Natal yang demikian itu sebetulnya baru berusia hampir dua abad, merupakan tradisi Jerman yang menyebar ke seluruh daratan Eropa dan kemudian dunia. Pohon semacam itu juga terdapat di kalangan Timur yang terkenal dengan nama “Yao Ch’ien Hsu” (pohon uang). Dekorasinya terdiri dari sebuah pohon yang diberi gantungan amplop warna-warni berisi uang atau hadiah. Hanya pohon demikian itu tidak dirangkai pada hari Tang Cik, tetapi pada hari Tahun Baru. Sedangkan pada pohon Natal hadiahnya tidak digantung, tetapi diletakkan di bawah pohon. Prada perak dan emas serta bola-bola yang tergantung pada pohon itu tidak lain melambangkan pantulan sinar matahari yang menimpa salju putih.
Pada zaman dahulu, beberapa hari sebelum perayaan Tang Cik, para wanita Tionghoa di Indonesia sudah mulai sibuk. Suara lesung mulai terdengar, mereka mulai menumbuk beras ketan yang dijadikan tepung. Pada malam harinya mereka mulai sibuk membuat onde-onde. Demikian juga “rondé” yang terbuat dari tepung ketan dan diberi warna-warni (biasanya 5 macam warna): merah, putih, hijau, kuning dan sebagainya, melambangkan pantulan sinar matahari yang berwarna pelangi dan bulatnya langit. Onde-onde ini direbus dan disajikan dengan air gula. Tetapi jika bola-bola natal itu digantung saja dan indah dipandang, tidak demikian dengan bola-bola ketan yang ditaruh di dalam mangkuk atau cerana, yaitu untuk disajikan di atas meja abu leluhur dan pada akhirnya dimasukkan ke dalam perut, agar yang memakannya mendapat kekuatan dari Matahari lambang Penyelamat dan Pemulihan Kekuatan. Di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, onde-onde ini disebut “wedang rondé”, disajikan dengan air gula yang dimasak dengan sedikit jahe dan dihidangkan dalam keadaan panas.
Bola-bola ketan yang disajikan pada upacara Tang Cik, baik untuk meja abu maupun di kelenteng (kuil), terdiri dari 12 biji yang melambangkan 12 bulan dengan di atas bagian tengahnya satu bola yang bentuknya lebih besar sendiri. Bola yang paling besar diberi nama “I-bu” artinya “induk bola”, sedangkan yang kecil diberi nama “I-kia” artinya “anak bola”. Ada juga di samping bola, dibuat 12 macam bentuk binatang atau “capji shio” yang kesemuanya dibuat dari ketan.
Kue onde-onde tersebut digunakan juga sebagai …. alat nujum!
Jikalau dalam keluarga yang membuatnya ada seorang wanita yang sedang hamil, acapkali orang melemparkan sebutir onde-onde ke dalam api (api kayu bakar). Kemudian orang akan melihat apa yang terjadi lebih jauh. Manakala onde-onde itu melar lonjong oleh karenanya diramalkan bahwa wanita itu akan melahirkan seorang anak laki-laki. Kebalikannya, apabila onde-onde itu terbakar pecah, dinujumkan bahwa seorang anak perempuan yang akan menambah jumlah anggota keluarga itu.
Pada waktu musim salju tiba, boleh dikata semua kehidupan fauna pada meninggalkan tempatnya. Binatang banyak yang masuk ke lubang goa, ada pula yang langsung masuk ke liang tanah untuk tidur sepanjang musim dingin. Ada pula yang mengungsi terbang ke tempat lain. Sedangkan dunia flora juga banyak yang yang mati atau menghentikan pertumbuhannya. Namun, diantara sekian banyak tumbuhan yang tidur atau mati, masih ada yang dapat bertahan hidup dalam suasana alam dingin yang kejam itu. Flora yang tahan hidup pada musim salju itulah yang terkenal dengan nama “evergreen” (yang selalu hijau terus). Di antaranya yang menonjol ialah pohon cemara, bambu dan “prunus mume” (bwee-hwa).
Tiga macam tumbuh-tumbuhan ini mewakili evergreen dan diberi nama “Suihan san yu siong tiok bwee” (cemara, bambu dan bunga mume, tiga sekawan di musim salju). Trio ini melambangkan “kesetiakawanan” atau “tahan uji”.
Ada dua jenis bunga yang berkembang justru pada musim salju, yaitu bunga “Kersen” (Cherry Blosoms) di Barat dan bunga Mume atau “Plum Blosoms” di Timur.
Khusus mengenai bambu dan bunga bwee-hwa, di samping melambangkan seperti yang telah diuraikan di atas, juga melambangkan “percintaan abadi”. Ini disebabkan bahwa bambu yang berhati “kosong” melambangkan hati yang bersih. Jika badai sedang mengamuk ia tidak patah, hanya membongkokkan diri tertawa saja. Begitu badai berlalu, maka ia akan berdiri tegak kembali. Walaupun salju makin memutih, namun ia tetap tumbuh dan hidup terus mendampingi sang bunga bwee-hwa. Oleh karena itu, bila seorang jejaka hendak meninggalkan kekasihnya untuk sementara, ia akan memetik setangkai bambu untuk diberikan kepada kekasihnya.
Demikian juga bunga bwee-hwa, makin putih warna salju, makin jambon warnanya, makin dingin udaranya makin harum baunya. Ia justru berbunga pada waktu musim yang sukar. Apabila seorang dara memberi selamat jalan kepada kekasihnya, maka ia akan memetik setangkai bunga bwee-hwa, untuk diberikan kepada kekasihnya yang seakan-akan mengatakan : “Pergilah dengan tenang, akau akan menunggu kedatanganmu dengan setia, seperti bunga bwee-hwa yang tahan uji”.
Demikian sedikit cerita tentang Tang Cik di Jawa. Semoga bisa menjadi tambahan pengetahuan dalam khasanah budaya Tionghua. [Bagian 1] [Bagian 2]
Xie-xie.
R. Soenarto
Budaya-Tionghoa.Net | AC