Budaya-Tionghoa.Net | Masyarakat dimana kita tinggal pada jaman sekarang ini adalah multiculturil dan complex, perbedahan berbagai golongan etnis adalah satu kenyataan seperti yang kita lihat di Belanda, USA, Indonesia, Malaisia dan lain-lain negara. Perbedahan kultur pada jaman informatika dan kommunikasi adalah normal seperti saya sebut diatas dan umumnya ditolerir. Tetapi dalam situasi tertentu, umpamanya krisis ekonomi (lihat jaman Hitler)dan krisis politik dan perang saudara (civil war) dapat mendadak menjadikan problema yang besar bahkan menjadikan antagonis antagonis diantara berbagai golongan etnis.
Kita melihat dalam sejarah juga dalam masyarakat yang modern sekarang, fenomina ini dapat disalah gunakan oleh segelintir manusia untuk menekan golongan yang lain dengan tujuan mengacau dan membelokkan keadaan dan perhatian masyarakat. Contoh ini dapat kita lihat pada tahun 1998 di Indonesia sewaktu mahasiswa-mahasiswa berdemonstrasi anti Suharto, dan di Eropa kita lihat apa yang terjadi di ex-Jugoslavia, dimana mengakibatkan genocide, krisis ekonomi dan desintegrasi negara. Fikiran fikiran extrem tersebut biasanya timbul pada masa-masa krisis ekonomi, krisis politik dan pengangguran.
Pengalaman-pengalaman sejarah dapat kita simpulkan bahwa penyelesaihan persoalan persoalan tersebut diatas dan juga memperkembangkan proces-proces yang besar tidak dapat dihasilkan oleh golongan-golongan etnis tersendiri-sendiri, tetapi hanya dapat direalisir atas kerja sama dari semua golongan etnis yang ada dan dikoordinir dibawah beleid pemerintah yang tidak diskriminatif dengan dukungan yang luas dari masa media; ketiga faktor ini adalah conitio sine qua non! Kita semua dapat menyetujui bahwa hanya dengan toleransi, saling mengerti dan percaya, saling respect mengenai perbedahan yang ada dapat dihasilkan peace dan kehidupan harmonis diantara berbagai golongan etnis dalam masyarakat. Buat orang-orang Tionghoa concept toleransi, respect dan saling percaya dapat dipelajari dan diperkembangkan pelajaran dari filosof besarnya Kong Fu-Zi.
|
Confucianisme dan Taoisme adalah créme de la créme dari cultuur Tionghoa, karenanya mempelajari kedua falsafat ini merupahkan pendidikan social yang sangat penting untuk menjalankan proces integrasi dari orang-orang Tionghoa di negara dimana mereka tinggal. Lao Zhi dan Zhuang Zhi mengajar kita bahwa lebih dari dua ribu tahon yang lalu bahwa dimana kita berada, kita harus menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi dimana kita tinggal.
Dalam situasi sekarang menyesuaikan diri itu adalah integrasi dalam masyarakat dimana kita berada. Confucius mengajar pada kita hubungan antar manusia yang ideal dan norma-norma penghidupan dan seremoni (penghormatan) untuk kepentingan hubungan social. Beliau mengatakan moral itu dalam arti Ren (hubungan antar manusia, humanisme) dan Li (respect, toleransi dan seremoni). Moral dan etik confucius ini adalah universil. Disampingnya Ren dan Li yang penting untuk integrasi, dalam pelajaran confucius terdapat pelajaran yang sangat relevan untuk dipakai dalam nation building dan patriotisme (Zhong), Yi (rechtsvaardigheid, justice, kejujuran).
Tentu saja dalam pengunaan confucianisme kita jangan dogmatis atau textbook thinking tetapi kita harus secara kreatif mengunakannya terhadap satu materi atau fenomina. Kalau kita mempelajari bahasa kita tidak saja menghafalkan berbagi kata-kata, namun kita harus juga mempelajari gramatika, dan konstruksi dari perkataan-perkataan (zinsbouw) agar kita dapat bercakap-cakap atau menulis surat dalam bahasa yang mudah dimengerti agar dapat interaksi dengan baik. Ren ditulis dalam karakter tulisan Tionghoa sebagai “orang dengan dua garis” dengan arti hubungan antar dua (atau lebih) manusia. Ren di kombinasi dengan Li di sebut dalam arti modern ialah “sociale vaardigheid atau social skills”.
Untuk integrasi kita tidak perlu menghilangkan identitas kita, kalau kita dengan kreatif menggunakan ajaran strateg Tiongkok yang besar Sun Zi saya punya usul sebagi berikut: “Membangun rumah memerlukan fondasi yang kuat, mengintegrasikan diri kedalam masyarakat dimana kita tinggal; kita harus tahu identitas kita dan tahu identitas masyarakat dimana kita tinggal. Kedua pengetahuan ini adalah fondasi kita yang kuat untuk mengintegrasikan diri”.
Dr. Han Hwie-Song
Breda,22-10-2004 (Holland)