Kekerasan atas Tionghoa dan “Koloborasi”: Kasus Jaman Jepang
Saat-saat dimana “law and order” absen, adalah periode yang mengerikan bagi “middleman minority”. Sebagai ilustrasi, ijinkanlah kami mengajak anda semua ke masa penjajahan Jepang (1942-1945). Periode ini memberikan banyak contoh, bagaimana “jaminan keamanan” bisa mengalihkan loyalitas middleman minority, bahkan terhadap musuh besarnya sekalipun, selama mereka mampu menyediakan keamanan. Pada saat-saat kedatangan balatentara Jepang (Maret 1942), aparat keamanan kolonial tiba-tiba menghilang (bandingkan dengan Jakarta, Mei 1998), mereposisikan Tionghoa dari “middlemen minority” menjadi “defenceless minority” (minoritas tanpa perlindungan)
Aksi kekerasan terhadap Tionghoa muncul dalam berbagai manifestasi, antara lain: perampokan, pembunuhan. Namun ada juga kekerasan dalam bentuk lain, yakni “sunat paksa” yang terjadi di berbagai daerah: Bekasi[24], Kudus[25], pantai utara Jawa Tengah[26], Jombang[27], Kediri[28]. Di luar Jawa aksi serupa juga berlangsung dalam skala yang lebih hebat, namun dengan alasan yang berbeda. Lelaki dewasa Tionghoa di daerah Kandangan (Kalimantan Selatan) melakukan “gerakan sunat sukarela” dengan alasan supaya tidak diganggu Jepang[29]. Pada saat yang sama dilaporkan pula terjadinya perkosaan wanita Tionghoa, misalnya di Bekasi (50 orang) dan di pantai utara Jawa Tengah[30]. Selain itu juga terdapat penyanderaan yang dilakukan oleh gerombolan perampok[31]. Puncak kekerasan adalah terbunuhnya orang-orang Tionghoa di masa vakum tersebut, misalnya di Kudus, Bekasi, Jombang dan Aceh[32]. Di Jawa Barat orang Tionghoa “membeli keamanan” dengan jalan membayar perampok untuk menjaga harta bendanya[33].
Di saat-saat tegang tersebut, balatentara Jepang dengan cepat dan tegas membasmi segala bentuk gangguan “kamtibmas” tanpa pandang bulu. Sebenarnya tindakan mereka itu bukan ditujukan untuk melindungi Tionghoa per se, namun demi melancarkan jalannya roda pemerintahan, khususnya perekonomian. Di mata orang Tionghoa, tentara Jepang—yang sebelumnya dianggap “musuh besar” karena menginjak-injak Tiongkok—kini secara ironis dianggap sebagai “pelindung”. Di pihak lain, sekarang mereka lebih melihat orang Indonesia sebagai “ancaman”[34] Pendeknya, “minoritas perantara” akan berkolaborasi dg penguasa atau siapapun yg mampu menawarkan rasa aman. Faktor serupa juga yang melatarbelakangi duku
ngan Tionghoa pada Golongan Karya (Golkar) di masa Orde Baru[35]. Namun tragisnya Peristiwa Mei 1998 membuktikan, walaupun middlemen minority telah membayar “upeti” kepada penguasa, namun mereka sama sekali tidak mempedulikannya[36].