Hubungan Tionghoa-pribumi diwarnai dengan pasang surut sejak jaman kolonial hingga dewasa ini. Dalam beberapa episode terjadi benturan yang cukup memprihatinkan, hingga jatuh korban jiwa. Akan tetapi tidak seluruhnya benar bahwa hubungan Tionghoa dengan pribumi, maupun Tionghoa dengan Islam selalu diwarnai dengan ketegangan. Saya akan memberikan beberapa contoh hubungan “harmonis” yang belum banyak diketahui.
Pada abad XVII banyak Tionghoa yang memluk agama Islam[37]. Hal ini terbukti dari kata “peranakan” yang pada awalnya ditujukan pada Tionghoa Muslim. Dalam sensus penduduk abad XVII Belanda membedakan antara “Tionghoa” (Chineezen) dengan “peranakan”(Tionghoa muslim) , misalnya di Sumenep (Madura) yang cukup banyak terdapat peranakan[38]. Di Batavia, berhubung jumlah penduduk Tionghoa Muslim cukup banyak, maka diangkatlah seorang opsir untuk komunitas ini. Kapten terakhir peranakan bernama Muhammad Japar (abad XIX). Beberapa Bupati dari pesisir jelas mempunyai darah Tionghoa. Ada pula beberapa Tionghoa yang karena dekat dengan aristokrasi lokal, akhirnya masuk Islam dan mengubah namanya menjadi nama Jawa. Misalnya Bupati Kota Yogyakarta pada jaman Sultan Hamengku Buwono II, Raden Tumenggung Setjadiningrat (alias Tan Jin Sing). Adipati Bangil dan Bupati Tegal adalah generasi kedua dari keluarga Han Siong Kong (lahir di Tiongkok 1673- wafat di Lasem1744). Keluarga Muslim Tionghoa bermunculan juga saat pecahnya Perang Diponegoro. Beberapa orang Tionghoa yang berjasa pada raja mendapatkan gelar dan tanah dan kemudian masuk Islam. Misalnya Keluarga Tjan dari Pajang (Surakarta). Dari keluarga ini muncul seorang inisiator pertunjukan wayang orang untuk publik, yakni Gan Kam. Dua orang diantaranya menjadi guru besar di alam Indonesia merdeka. Salah satunya adalah Prof Tjan Tjoe Siem, yang di tahun 1960an mengajar di IAIN Sunan Kalijaga. Beliau wafat saat mengambil air wudhu di tahun 1978[39].
Pada abad XVIII Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang Tionghoa masuk Islam. Pada waktu itu, Belanda mengenakan pajak untuk kucir orang Tionghoa. Apabila seorang Tionghoa memeluk Islam—apapun motivasinya—maka ia akan memotong kucir itu. Dengan demikian Belanda akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya[40]. Selain itu perkawinan antara Muslim dengan Tionghoa juga dilarang pada abad yang sama[41]. Belanda rupanya takut kalau kedua pihak itu bersatupadu, maka dicari jalan supaya mereka tetap terpisah. Berbagai peraturan itu semakin menjauhkan Tionghoa dari pribumi. Menariknya di tahun 1930an banyak bermunculan gerakan Muslim Tionghoa, yang muncul diluar Jawa. Di Sulawesi, Ong Kie Ho (kelahiran Toli-toli) mendirikan Partai Islam. Penguasa takut akan aktivitasnya dan dia dibuang ke Jawa tahun 1932. Di Medan tahun 1936, seorang Tionghoa totok, Yap A Siong dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Islam Tionghoa. Di tahun 1933 di Makassar berdirilah Partai Tionghoa Islam Indonesia (PITII). Setahun kemudian PITII mendirikan suatu “Sekolah Melayu” dan di tahun 1936 menerbitkan media bernama “Wasilah”[42].
Masih banyak lagi contoh-contoh hubungan harmonis yang kebetulan berasal dari daerah Yogyakarta, daerah dimana saya dilahirkan.
Dr Wahidin Sudirohusodo , tokoh penting dibalik berdirinya organisasi Budi Utomo, adalah sahabat baik komunitas Tionghoa di Yogyakarta. Tempat prakteknya terletak di tengah-tengah daerah Ketandan (Pecinan) Yogyakarta (Tjeng, 1958: 44-45). Obituari beliau yg ditulis oleh Ki Hajar Dewantara (Suryaningrat, 1981: 21-22) menyebutkan, Dr Wahidin dikenal juga sebagai seorang “mediator” urusan rumah tangga yang baik. Misalnya ada pasangan Tionghoa yang cekcok, beliau tidak segan-segan datang kerumah untuk mendamaikan mereka. Beliau dipandang sebagai seorang sahabat oleh kalangan Tionghoa. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, sewaktu beliau wafat, dijumpai banyak sekali pelayat Tionghoa.
Ketika di Kota Solo terjadi berbagai aksi anti Tionghoa (1913) yang dilakukan oleh Sarekat Islam, di Yogyakarta keadaan tetap tenang. Bahkan Sarekat Islam cabang Yogyakarta mementaskan suatu pertunjukan amal dengan perkumpulan drama Tionghoa, “Bok Sie Hwee”, yang separuh hasilnya akan disumbangkan pada pengajaran netral pribumi dan organisasi pribumi lainnya (Sarekat Islam Lokal, 1975: 348; Surjomihardjo, 1988: 158). Di Batavia, deklarasi Sarekat Islam setempat malah dilakukan di gedung THHK, dalam acara yang diorganisir oleh organisasi Tionghoa. Dalam acara tsb, masing2 pihak mengucapkan pidato dan harapannya akan hubungan yang lebh baik antara Indonesia-Tionghoa di masa depan (Sumartana, 1994: 202).
Hubungan Muhammadiyah dengan komunitas Tionghoa di Yogya pada masa kolonial juga cukup baik. Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan dana dari orang Tionghoa di Ngabean, daerah dimana Muhammadiyah bermarkas (Asrofie, 1983: 66-67). Sesudah terjadinya huru-hara di Kudus (1918), pada tahun selanjutnya Muhammadiyah merangkul organisasi Tionghoa di Yogya dan Insulinde (perkumpulan multi-ras dibawah pimpinan Dr Tjipto Mangunkusumo) untuk membentuk suatu front bersama untuk memajukan hubungan baik diantara ras yang berbeda (Sim, t.t., 36). Terbitan tahunan berupa Almanak Muhammadijah banyak diisi iklan yang dipasang oleh pengusaha Tionghoa dari berbagai tempat (Almanak 1358/1939-40: halaman iklan).
Pada tahun 1925 terjadi suatu persekutuan yang cukup spektakuler antara Muhammadiyah dengan Tionghoa Yogyakarta melawan penerbit Belanda, Buning (Alfian, 1989: 206-07). Dalam salah satu terbitannya, Buning memuat “Serat Darmogandul” yang isinya di satu pihak menghina Islam (yang dituduh menghancurkan Majapahit dan memunculkan kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak) serta di pihak lain menjelekkan Tionghoa, karena ibu dari Raden Patah, raja pertama Demak, adalah “Putri Cina”. Makanya dalam hal ini, orang Tionghoa dituduh ikut berperan menghancurkan Majapahit. Seorang Tionghoa melapor soal terbitan ini ke tokoh Muhammadiyah, yang lalu membawanya ke Kongres Muhammadiyah, yang kebetulan saat itu sedang berlangsung di Yogyakarta. Sebagai buahnya, kedua belah pihak mendirikan “Comite Penjegah Penghinaan”, dibawah pimpinan H.Soedja dan seorang Tionghoa. Akhirnya penerbit Buning meminta maaf dan menarik terbitan yg kontroversial tersebut. Sungguh suatu kerjasama yang unik, yang entah kapan bisa terulang lagi. Di akhir dekade 1920-an, dalam rangka menyebarkan dakwah dikalangan Tionghoa, muncul ide dari Muhammadiyah untuk membuat sekolah dasar Tionghoa berdasarkan Islam (HCS met de Koran). Namun oleh karena berbagai kendala, proyek ini tidak pernah terwujud.
Pendiri Perguruan “Taman Siswa”, yakni Ki Hadjar Dewantara, adalah sahabat dekat Dr Yap Hong Tjoen (yang kemudian terkenal dengan RS Mata “Yap” di Yogyakarta). Sewaktu tinggal di Belanda, keduanya pernah bekerja bersama-sama dalam satu majalah “Het Indonesische Verbond van Studeeren” (Perhimpunan Pelajar Indonesia) (Jonkman, 1971: 32-33). Di tahun 1970-an, putra Dr Yap menyerahkan dokumentasi mengenai Ki Hadjar kepada Museum Taman Siswa di Yogyakarta sebagai tanda persahabatan orang tuanya.
Tidak ketinggalan kaum wartawan juga berusaha menghapus garis batas rasial. Di bulan Agustus 1928 dibentuklah “Perserikatan Djurnalis Asia”, dengan anggota baik Indonesia maupun Tionghoa. Di bulan Oktober 1928 perkumpulan ini mengadakan rapat di gedung sositeit Tionghoa, dengan pembicara Mr Ali Sastroamidjojo (kemudian menjadi Perdana Menteri di tahun 1950-an), dan dihadiri oleh sekitar 150 orang Indonesia dan
Tionghoa (Poeze, 1982: 391, 418, 445).
Penulis ingin menambahkan lagi ilustrasi hubungan Bung Karno dengan orang-orang Tionghoa sebelum Indonesia merdeka. Pemimpin Redaksi Sin Po, Kwee Kek Beng, menulis dalam otobiografinya, bahwa Bung Karno di akhir dekade 1920an mendatangi Sin Po dan mengharapkan dukungan atas satu majalah yang hendak diterbitkannya. Disebutkan Kwee, bahwa Bung Karno “ingin sekali rapatkan perhubungan dengan bangsa kita [Tionghoa] dan dengan Tiongkok”. Sehubungan dengan Sin Po ini, patut diingat bahwa lagu Indonesia Raya dimasyarakatkan pertama kali dalam majalah mingguan Sin Po, karena W.R. Supratman waktu itu bekerja di media tersebut[43].
Liem Seeng Tee –seorang Tionghoa totok pemilik pabrik rokok “234” (Djie Sam Soe) di Surabaya, juga pernah membantu perjuangan politik bangsa Indonesia. Di tahun 1933, saat Partindo hendak mengadakan rapat akbar di Surabaya, susah sekali mendapatkan gedung pertemuan yang bisa menampung banyak orang. Mendengar hal tsb, Liem mengijinkan gedung bioskap “Sampoerna” kepunyaannnya sebagai tempat rapat akbar tsb[44]. Pada saat dia wafat di tahun 1951, Bung Karno mengirimkan karangan bunga tanda duka cita[45].
Cerita ketiga didapat dari penuturan Riwu, anak angkat Soekarno dari tempat pembuangannya di Ende (Flores)[46]. Pada saat itu Bung Karno mempunyai beberapa “murid” Tionghoa. Salah satu diantaranya adalah seorang pedagang hasil bumi. Setiap kali dia menjadi penghubung antara Bung Karno dengan rekan-rekan pergerakan di Jawa. Bila ada surat dari Jawa, orang Tionghoa ini memasukkannya ke dalam buah semangka dan pura-pura menjual semangka itu kepada Ibu Inggit (istri Bung Karno waktu itu). Dengan demikian Bung Karno tetap bisa mendapatkan kabar uptodate tentang perkembangan politik di Jawa.
Harap diingat, waktu itu Bung Karno sama sekali belum menjadi Presiden, bahkan masih dalam keadaan susah. Jadi hubungan itu tidak bermotifkan mencari untung atau mencari komisi.
Selain hubungan yang cukup harmonis di atas, penulis akan memberikan beberapa contoh sebaliknya. Pada Jaman Jepang terjadi benturan yang membawa korban. Pemberontakan PETA di Blitar (Februari 1944) ternyata mengandung unsur anti-Tionghoa. Orang-orang Tionghoa menyuplai perempuan penghibur (jugun ianfu) kepada tentara Jepang. Entah apa motivasi mereka melakukan itu, apakah dipaksa Jepang, atau demi “menjilat” Jepang. Menurut pengakuan Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dalam memoir mereka, penguasa Jepang sering memberi perintah kepada pemimpin Hua Ch’iao Tsung Hui (HCTH), organisasi Tionghoa jaman Jepang, untuk menyuplai jugun ianfu. Sebagai akibatnya, beberapa orang Tionghoa tewas dalam pemberontakan legendaris yang dipimpin Supriyadi tersebut (Anderson, 1961: 46-47; Pakpahan, 1987: 138; Kwartanada, 1995: 34).
Di pihak lain, perlu diingat bahwa kebanyakan partai politik pada masa pergerakan menolak orang Tionghoa (maupun golongan minoritas asing lainnya) sebagai anggota penuh. Partai Nasional Indonesia (PNI, yang dipimpin Bung Karno, ironisnya hanya menerima Tionghoa sebagai anggota luar biasa. Hanyalah Indische Partij (IP), PKI dan Gerakan rakyat Indonesia (Gerindo) yang mau memerima golongan Tionghoa sebagai anggota penuh[47]. Kebijaksanaan partai politik waktu itu juga berakibat menjauhnya golongan Tionghao dari nasionalisme Indonesia.