A. Kantor Urusan Tionghoa dari Jaman ke Jaman
A.1. Jaman Belanda: Kantoor voor Chineeesche Zaken
Kantor ini bersikap paranoid terhadap peranakan Tionghoa dan banyak menuai protes dari kaum peranakan: misalnya H.H. Kan—seorang tokoh peranakan Pro-Belanda–menghimbau supaya KCZ lebih bersikap sebagai “kawan” daripada “mata-mata” pemerintah. Suara lain mengibaratkan KCZ bagaikan anjing penjaga yg sebaiknya “dirantai” saja (Lohanda, 2002: 230-31).
A.2. Jaman Jepang: Kakyo Han
Keberadaannya cukup misterius dan tidak banyak sumber tersedia. Orang Tionghoa menyebutnya Hua Ch’iao Pan. Pemimpinnya bernama Toyoshima, yang menguasai dengan baik budaya dan bahasa Tionghoa. Diantara stafnya terdapat juga orang Tionghoa, termasuk Liem Koen Hian dari Partai Tionghoa Indonesia (PTI) (Kwartanada, 1997: 266-68). Bung Hatta menyebut dalam memoirnya (1982: 416), bahwa Kantor ini banyak menangkapi orang Tionghoa
A.3. Jaman Orba: Badan Kordinasi Masalah Cina (BKMC)
Dalam usahanya mengontrol golongan Tionghoa, maka didalam satuan intel Orde Baru (BAKIN) didirikan satu kantor urusan Tionghoa, yang disebut BKMC. BKMC ini mengamati peredaran barang-barang cetakan berbahasa Mandarin, termasuk juga satu-satunya korang Mandarin jaman Orba, Harian Indonesia (Yindunxia Jih-pao). Pada saat kalangan beragama Budha terjadi perpecahan, BKMC juga ikut bermain didalamnya. Keberadaan BKMC (Setiono, 2003: 994) ini banyak menuai kritik dalam masa reformasi. Namun sayang sekali tidak banyak yang diketahui tentang aktivitas BKMC. Semoga akan muncul penelitian tentang institusi yang misterius ini.
B. Kebijaksanaan Budaya Tionghoa
Di tahun 2003 Megawati menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi dalam sejarah Indonesia. Jaman pendudukan Jepang diwarnai dengan berbagai usaha “resinifikasi” (pencinaan kembali) peranakan Tionghoa yang dianggap sudah terlalu banyak dipengaruhi kebudayaan Barat (Kwartanada, 1997: 306-11). Untuk itu antara lain Jepang mendorong kaum peranakan Tionghoa untuk belajar bahasa Tionghoa dan juga menghidupkan kembali berbagai bentuk budaya Tionghoa. Musik tradisional Tionghoa diijinkan untuk dimainkan di stasiun radio milik pemerintah, padahal di jaman Belanda tidak ada kesempatan seperti itu. Acara kesenian tradisonal seperti Barongsai seringkali ditampilkan adalam acara-acara resmi pada jaman Jepang (bandingkan dengan masa Reformasi ini), misalnya dalam acara peringatan pecahnya Perang Pasifik maupun peringatan pendaratan Jepang di Jawa.
Langkah yang cukup spektakuler adalah menjadikan hari raya Imlek 1943 sebagai hari libur resmi (keputusan Osamu Seirei no. 26 tanggal 1 Agustus 1942). Inilah pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, dimana Imlek menjadi hari libur resmi (bandingkan dengan di masa Reformasi). Di jaman belanda hal serupa tidak pernah terjadi Lebih hebatnya, di hari Imlek tersebut, seluruh penduduk Yogyakarta (tidak hanya Tionghoa saja!), diminta mengibarkan bendera Jepang. Seorang propagandis Tionghoa menyebut saat itu sebagai “perayaan tahun baru Imlek pertama dalam suasana baru” (Tjeng, 1943). Disini letak ironisme Jaman Jepang, yang sebelumnya dianggap sebagai musuh besar kaum Tionghoa, malah bertindak sebagai pihak yang membangkitkan kembali aktivitas budaya Tionghoa.
Di masa awal revolusi, pemerintah RI juga mengijinkan perayaan hari raya Tionghoa. Misalnya Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat supaya kantor pemerintah mengibarkan bendera nasional Republik Tiongkok disamping Sang Merah Putih pada setiap perayaan hari lahirnya Republik Tiongkok. Demikian juga orang Tionghoa “boleh mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa”. Seperti juga di jaman Jepang, Imlek dijadikan hari libur resmi. Dalam tahun ajaran 1946/1947, tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya nabi Konghucu dan Tsing Bing) dijadikan hari libur resmi (Kwartanada, 1997: 485).
C. Surat Bukti Kewarganeraaan Republik Indonesia (SBKRI)
SBKRI yang masih tetap kontroversial sampai sekarang, akarnya ternyata berasal dari Jaman jepang. Pada saat itu diadakan pendaftaran bangsa asing (Undang2 no. 7, 1942), dimana orang Tionghoa lelaki membayar f. 100 dan wanita f. 50 (boleh dicicil). Dengan membayar biaya tsb, mereka akan mendapat kartu identitas dan “keamanannya akan dijamin Dai Nippon”.
D. Perbedaan antara jaman Jepang-Orde Baru
Di atas sudah kami bahas beberapa “kemiripan” antara Jm Jepang dengaan Orba. Namun ada beberapa perbedaan yg sangat mendasar, yakni Jepang menganjurkan resinifikasi (pencinaan kembali), namun Orba justru melakukan desinoisasi (melarang segala yg berbau Tionghoa), termasuk mendorong program asimilasi. Perbedaan lain, di jaman Jepang, pemerintah mendorong berkembangnya kelas menengah pribumi dan menekan pengusaha Tionghoa. Sebaliknya, Orba “merangkul” sekelompok pengusaha Tionghoa, karena ingin menghindari munculnya kelas menengah pribumi yang kuat (yang berpotensi sebagai ancaman).
Penutup
Dalam mengakhiri ceramah ini saya ingin mengutip tulisan Benny Setiono aktivis Tionghoa dari Jakarta, bahwa “untuk mencapai Indonesia Baru yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN, bersih dari segala bentuk kekerasan serta selalu menjunjung tinggi tegaknya Hukum dan HAM. . . . etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia harus secara aktif turut mengambil bagian, bergandeng tangan dan bahu-membahu bersama-sama komponen bangsa lainnya, berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut.” [48] Kami setuju dengan pendapat tersebut dan berharap, bahwa pemerintah juga akan membuka berbagai macam pekerjaan yang selama ini relatif tertutup bagi etnis Tionghoa dan vice versa, supaya etnis Tionghoa tidak terkonsentrasi di ladang ekonomi saja[49]. Selain itu golongan Tionghoa hendaknya juga berjuang demi demokrasi dan civil society. Dalam hal ini hendaknya perjuangan jangan hanya bersifat “Tionghoa-sentris” saja, namun bersifat terbuka, misalnya ikut concern dalam soal 1965, soal HAM di Aceh, Maluku, dll. Dengan demikian perjuangan tersebut tidak bersifat eksklusif. Penderitaan orang Tionghoa adalah duka Indonesia dan sebaliknya. Demikian pula kegembiraan orang Tionghoa juga kegembiraan Indonesia. Oleh karena Tionghoa adalah bagian integral, yang tak terpisahkan dari tanah air Indonesia!
Sudah saatnya semua elemen di Indonesia bergandeng tangan, bersatu padau, tanpa memandang latar belakang, demi mencapai Indonesia Baru.
Merdeka!
Leiden, 5 Juni 2004.
———————————
Notes:
**** Disampaikan dalam Diskusi Terbuka “Sapu Lidi” di Leiden, Sabtu, 5 Juni 2004. Penulis mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan Sapu Lidi, khususnya Bapak Mintardjo Sardjio atas kesempatan ini, serta Margana, Muridan, Marek Avé dan Bung Gogol. Tentu saja hanya penulis sendirilah yang bertanggungjawab atas isi tulisan ini.
++++ PhD candidate, History Department, FASS, 11 Arts Link, National University of Singapore (NUS), Singapore 117570.