Referensi :
- Wang Gungwu, “’Are Indonesian Chinese Unique?’: Some Obeservations”, dalam kumpulan karangannya, Only Connect! Sino-Malay Encounters (Singapore: Times Academic Press, 2001), h. 277. Artikel tsb pertama kali terbit di tahun 1976.
- “Mely G.Tan, “Pengantar”, dalam Mely G.Tan (ed.), Golongan Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Gramedia LEKNAS-LIPI).
- Nama-nama seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Proyoga Pangestu, Tommy Winata adalah dari golongan totok. William Suryadjaja adalah perkecualian, yakni dari peranakan yang berpendidikan Belanda. Bob Hasan, walaupun secara etnis adalah Tionghoa peranakan, namun diangkat anak oleh Jendral Gatot Subroto.
- Claudine Salmon, Literature in Malay by the Peranakan Chinese in Indonesia (Paris: EHESS, 1981). Sebagian isinya telah diterjemahkan oleh Dede Oetomo, Sastra Cina Peranakan dalam bahasa Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1985).
- Di Perpustakaan Museum Taman Siswa Yogyakarta masih tersimpan buku-buku roman Melayu Tionghoa koleksi Ki Hadjar Dewantara. Beliau membeli buku-buku tersebut dari suatu Taman Bacaan di Yogyakarta pada wal tahun 1950an.
- Didi Kwartanada, “Golongan Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa 1942-1945”, dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta: Kanisius-Realino, 1997).
- Ironisnya, pada saat yang sama kita juga melihat berlanjutnya “Amnesia Sejarah” di sebagian kalangan masyarakat Tionghoa, misalnya kasus rencana pemindahan Gedung Candra Naya dan Makam Kapten Bencon (Souw Beng Kong) yang merana.
- Dari kalangan peneliti senior Tionghoa, dapat disebutkan misalnya Onghokham, Mely Tan, Go Gien Tjwan, Myra Sidharta dan Mona Lohanda. Dewasa ini ada beberapa disertasi mengenai Tionghoa yang sedang dikerjakan oleh mahasiswa Indonesia di berbagai universitas di manca negara, antara lain Andreas Susanto (sosiologi, Nijmegen), Vidhyandika Perkasa (antropologi, Monash), Widjajanti Dharmowijono (Sastra, Amsterdam) dan kami sendiri (sejarah, NUS).
- Claudine Salmon adalah peneliti yang sangat produktif dan telah banyak melakukan riset tentang Tionghoa di luar Jawa, seperti Bali (bersama Myra Sidharta), Makassar dan Timor (bersama Anne Lombard).
- Adalah suatu hal yang mengherankan, walaupun cukup terkenal, namun –sejauh pengetahuan kami–belum ada satu kajian historis yang memadai tentang etnis Tionghoa di Medan atau Sumatra Utara. Semoga akan muncul satu atau lebih peneliti yang akan menulis topik tsb.
- Beberapa kajian tentang Tionghoa di Kalimantan Barat baru saja diterbitkan, Mary Somers. Golddiggers, Farmers, and Traders in the ‘Chinese Districts’ of West Kalimantan, Indonesia (Ithaca: SEAP Cornell, 2003), buku ini membicarakan periode abad ke-18 hingga tahun 2000. Jamie Davidson telah menulis artikel tentang kekerasan di Kalimantan Barat, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan (ditulis bersama Douglas Kammen), Indonesia 73 (April 2002), pp.53-87. Tulisan ini menjelaskan secara detil proses terjadinya pembantaian “ribuan” Tionghoa di Kalbar, yang dilakukan oleh suku Dayak yang diprovokasi oleh militer. Selain itu masih banyak Tionghoa yang tewas di dalam “kamp pengungsi” karena kelaparan.
- Jurnal Archipel (Paris) telah menerbitkan beberapa artikel tentang sejarah perempuan Tionghoa. Myra Sidharta sudah banyak menulis tentang perempuan Tionghoa peranakan. Baru-baru ini kami mendapatkan dua buku biografi perempuan Tionghoa Indonesia yang diterbitkan di Singapura oleh penerbit yang relatif kecil, sehingga keberadaannya kurang banyak diketahui. Freda Hatfield Tong, Sons for the Master (Singapore: Path Seekers, 2001) dan Hu Siu Ing, The Passage of Time (Singapore: Singapore Asian Publications, 2001). Memoir pertama adalah tentang seorang perempuan peranakan, ibunda dari Pendeta Stephen Tong. Memoir kedua cukup langka, karena ditulis oleh seorang perempuan Totok yang lahir di Tiongkok serta besar di Jawa Barat.
- Bisa disebutkan nama lain, misalnya David Kwa Kian Hauw (Jakarta), serta Budi Kho Djie Tjay (Magelang), yang menguasai dengan baik bahasa dan tulisan Mandarin.
- Ien Ang, seorang Tionghoa kelahiran Indonesia, yang dibesarkan di belanda dan sekarang mengajar di Australia telah menulis buku yang sangat memikat, berjudul On Not Speaking Chinese (Surrey: RoutledgeCurzon, 2001).
- Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916 (Glencoe: 1960), p.61; Charles Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore: 2002), h.372.
- Benny Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2003), h.301.
- Topik ini masih sangat sedikit dikaji, satu diantaranya V.Hanssens, “The Campaign Against Nationalist Chinese in Indonesia”, dalam B.H.M.Vlekke (ed.), Indonesia’s Struggle 1957-1958 (The Hague: NIIA, 1959), h.56-76; Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis (Sydney: Allen and Unwin).
- Terjemahan bebas oleh penulis, lihat tulisan Somers “Bystanders, Participants, Victims: The Chinese in Java and West Kalimantan, 1945-46”, makalah pada Konperensi NIOD, Amsterdam, 29 April 2003, h.1-2.
- Peter Carey, “Changing Perceptions of …”, Indonesia 1984.
- Benny Setiono, Tionghoa, h.611.
- Dikutip dari Martin N. Marger, Race and Ethnic Relations (Californis: 1994), h.51-52. Istilah “middleman minority” pertama kali dipakai oleh sosiolog AS Howard P.Becker (1940). Ada beberapa istilah lain yang dipakai misalnya “Trading Minorities” (W.F. Wertheim), “Minorities in the Middle” (Walter P. Zenner). Untuk kajian lebih lanjut lihat Walter P.Zenner, Minorities in the Middle: A Cross-Cultural Analysis (New York: SUNY Press, 1991). Beberapa ahli sudah mengkritik teori ini, lihat Mona Lohanda, Growing Pains (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002), h.19. Akan tetapi kami beranggapan teori ini bisa diterapkan bagi minoritas keturunan asing, misalnya Tionghoa di Indonesia dan Malaysia. Walaupun demikian ia tidak cocok diterapkan untuk semua kelompok perantara, misalnya orang Jepang di jaman Hindia Belanda (“toko Jepang”) atau orang Madura di Kalimantan Barat.
- Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney: Angus and Robertson 1972), h.253 (terjemahan bebas dari kami)
- Charles Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), h.53.
- Twang Peck Yang, “Indonesian Chinese Business Communities in Transformation, 1940-1950”, PhD Thesis (Canberra: Australian National University, 1987), h.46 catatan 28, menceritakan adanya 20 orang Tionghoa totok asal Shantung yang sedang mengungsi lewat Bekasi telah disunat secara paksa dan ditangkap.
- G.Pakpahan, 1261 Hari dibawah Matahari Terbit (Jakarta: Marintan Jaya, 1979), h.39.
- Lawrence Yoder, Tunas Kecil: Sejarah Gereja Kristen Muria Indonesia (Semarang: 1980), h.120-122.
- E.Touwen-Bouwsma, “The Indonesian Nationalists and the Japanese ‘Liberation’ of Indonesia: Vision and Reactions”, JSEAS, Maret 1996, h.10. Disebutkan bahwa penyunatan paksa dilakukan oleh anggota Nahdatul Ulama (NU). Suharyo Padmodiwiryo, Memoir Haryo Kecik Volume 1 (Jakarta: Obor, 1995), h.12.Soemarno Sosroatmodjo, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (Jakarta: Gunung Agung, 1981), h.249.
- Twang Peck-yang, loc.cit.; Lawrence Yoder, op.cit., h.122; Victor Purcell, Chinese in Southeast Asia. Second Edition (London: Oxford, 1965), h.472.
- Twang Peck-yang, loc.cit., menyebutkan di Bekasi sekitar 1,000 orang Tionghoa dikurung didalam klenteng oleh ribuan orang Indonesia. Hong Po, 15-5-1942 melaporkan pertolongan Kenpeitai (polisi rahasia Jepang) atas Tionghoa Tangerang yang disandera para perampok dan sekaligus menumpasnya. Hal ini berarti para perampok masih bergentayangan selama dua bulan pertama pendudukan.
- Lihat berturut-turut, Pakpahan, loc.cit., Twang, op.cit., h.46 catt.28 menyebutkan dibunuhnya pemimpin Tionghoa di Bekasi. Robert Cribb, Gangsters and Revolutionaries (Honolulu: 1991), h.39 menyebutkan dibunuhnya beberapa tuan tanah di bekasi dan beberapa kaki tangannya. Di Jombang, beberapa pemilik toko ikut dibunuh, Touwen-Bouwsma, loc.cit. Di Idi (Aceh) beberapa orang Tionghoa tewas dibunuh, termasuk seorang letnan Tionghoa, A.J.Piekaar, Atjeh en de Oorlog met Japan (‘s Gravenhage: 1949), h.146.
- Twang, op.cit., h.44, 62.
- Tan Po Goan, “Chinese Problems in Indonesia”, The Voice of Free Indonesia, 1 November 1946, h.20-25.
- Arief Budiman, “The Emegence of the Bureaucratic Capitalist State in Indonesia”, dalam Lim Teck Ghee (ed.), Reflections on Development in Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 1988). Penguasa Orde Baru menyadari bahwa munculnya kelas menengah pribumi yang kuat akan membahayakan eksistensinya. Di pihak lain, terdapat golongan Tionghoa yang cukup mapan secara ekonomi tidak mempunyai kekuasaan politik. Maka mereka “dirangkul” dan diberi keistimewaan dalam bisnis, dan sebaliknya membantu rezim penguasa (plus oknum-oknumnya) dengan aliran dananya. Kerjasama yang “sumbang” ini bukannya mengamankan posisi mereka, bahkan semakin memperbesar kebencian massa kepada etnis Tionghoa.
- Bandingkan dengan peristiwa pembantaian Tionghoa 1740 yang termashur, “Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah orang-orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, namun tanpa belas kasihan dan tanpa menjunjung moral serta peri kemanusiaan, mereka menyerahkan orang-orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititipkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri”, Benny Setiono, Tionghoa, h.114.
- Sumber paling detil tentang subjek ini adalah Denys Lombard dan Claudine Salmon, Ïslam and Chineseness”, dalam Alijah Gordon (ed.), The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago (Kuala Lumpur: Malaysia Sociological Research Institute, 2001); Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Tunjung Sari, 1979).
- Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Sejarah Islam (Jakarta: Bulan Bintang)
- “Prof Tjan Tjoe Siem”, dalam Rosihan Anwar, Quartet: Pertemuan dengan Empat Sahabatku (Jakarta: Yayasan Soedjatmoko, 1999)
- Steenbrink, Beberapa Aspek,
- C.W.Th.Baron van Boetzelaer van Asperen en Dubbledam, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (Den Haag: Nijhoff, 1947), h.187-88.
- Lombard dan Salmon, Ïslam”, h.198.
- Kwee Kek Beng, Doea Poeloe Lima Taon Sebagi Wartawan (Batavia: Kuo, 1947), h.35-36.
- New Light Magazine, 1947
- Wawancara dengan Sinta Dewi Sampoerna, puteri Liem Seeng Tee, 1996.
- Penuturan Riwu dimuat bersambung di Jawa Pos (Surabaya) sekitar tahun 1992.
- Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti Pers, 1986).
- Benny Setiono, Tionghoa, h.1077.
- Kami ingin menyampaikan rasa hormat secara pribadi kepada Bpk Abdurrachman Wahid, ketika Orde Baru sedang berada di puncaknya, sudah berani menyuarakan ide tersebut di atas. Abdurrachman Wahid, “Beri Jalan Orang Cina”, Editor, 33, 21 April 1990, yang dimuat ulang dalam Junus Jahja (ed.), Nonpri di Mata Pribumi (Jakarta: Tunas Bansga, 1991), h.224-228. Penulis yang waktu itu menjadi mahasiswa di Yogyakarta merasa kagum dengan tulisan beliau tsb dan menganggapnya sebagai salah satu tulisan/dokumen politik terpenting dalam hubungan Indonesia-Tionghoa. Sayang tulisan tersebut sudah banyak dilupakan dewasa ini.