Keahlian memasak adalah mutlak dan menjadi satu standard paling tinggi pada masa itu untuk seorang ibu rumah tangga, istri dan nyonya rumah. Privilege untuk akses kebudayaan Belanda dan masakan negeri leluhurnya, menjadikan Nyonya Liem benar-benar ahli memasak masakan Belanda dan China. Selain itu, cookies, kue, penganan dan lainnya, masih merupakan hal yang sulit didapat, tidak seperti sekarang ini. Maka mulailah Nyonya Liem membuat berbagai macam cookies dan coba-coba menjualnya. Dengan pergaulan komunitas ekslusif golongan Belanda, China dan keluarga Jawa ningrat, tidaklah sulit buat Nyonya Liem mendapatkan pelanggannya.
Dalam waktu cukup singkat, Nyonya Liem mendirikan toko kecil di Tugu Kidul dan menamakan tokonya Toko Oen, sesuai nama keluarga suaminya. Karena rasa yang lezat dan unik, makin banyak pelanggan yang menjadi pelanggan tetap Toko Oen.
Seiring dengan perkembangan itu, keluarga Oen membuka satu ruangan lagi di sebelah toko yang sudah ada. Ruangan tsb ditujukan untuk menikmati kue-kue bikinan Nyonya Liem sambil menyeruput kopi dan teh. Usaha baru tsb berkembang terus, dalam 3 tahun, mereka memperluas restoran lagi, merekrut staff dan mulai menghidangkan the real meals, bukan hanya sekedar penganan dan kue-kue lagi.
Semarang, once upon a time in 1936….
Karena perkembangan yang luar biasa, pelanggan yang datang dari luar kota, makin banyaknya pelanggan yang menikmati santapan lezat Nyonya Liem, 14 tahun sejak toko pertama di Yogyakarta dibuka, tahun Tikus 1936, tepatnya 16 April 1936 dibukalah Toko Oen di Semarang, Bodjong Weg adalah alamatnya. Bodjong Weg yang sekarang dikenal dengan nama Jl. Pemuda, merupakan salah satu jalan utama di kota Semarang. Bodjong Weg merupakan daerah elite ketika itu, bahkan sampai sekarang. Dua bangunan bersejarah masih berdiri di situ, yaitu Hotel Dibya Puri yang dulu namanya Hotel Du Pavillon dibangun tahun 1847 dan Toko Oen yang dibuka tahun 1936.
Cucu Nyonya Liem yang bernama Yenny Megaputri, lulusan arsitek Delft Universiteit, mengatakan, keunikan Toko Oen dari awal berdiri sampai sekarang tidak berubah sama sekali. Dibangun dengan gaya Jugendstijl (Young Style) yang populer di masa akhir abad 19. Toko Oen melaju melewati jaman dan waktu, bertahan di tengah gempuran modernisasi kota dan modernisasi lidah penduduknya.
Semarang, present time…..
Sampai detik ini, tirai hijau, gravir di kaca, interior restoran, kipas angin, grand piano bahkan seragam para pelayan Toko Oen tetap sepanjang masa. Seragam para pelayan berwarna putih dengan gaya khas, dan peci. Peci ini disarankan oleh Soekarno, setelah kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya para pelayan mengenakan blangkon. Para pelayan ini kebanyakan merupakan para pelayan setia, yang sudah bekerja di situ lintas generasi. Sampai sekarang anak atau bahkan cucu dari para pelayan masih bekerja dengan setia dan penuh penjiwaan di sana.
Walaupun eksterior juga tidak berubah, tapi sedikit ‘tercemar’ dengan perkembangan kota yang bisa dikatakan cukup pesat dan beberapa bagian cukup semrawut seperti dalam 2 foto ini:
Toko Oen Tampak Luar
Kemudian bisa kita lihat interior Toko Oen, tulisan koeno di dinding ditambah tulisan 70 tahun Toko Oen, sound system koeno, dan foto di dinding yang menunjukkan Toko Oen, dugaan saya sekitar tahun 70-80’an.
Cabang di Malang dan Jakarta dibuka juga menjawab perkembangan bisnis yang berawal dari iseng dan rumah Sang Letnan Oen, yang sekarang pesat melaju. Menu andalan Toko Oen, yaitu bistik khas, yang tidak akan pernah ditemukan rasa seperti itu di negara Barat manapun, karena sudah terjadi silang budaya Dutch – Indonesia – Chinese, nasi goreng ham khas Toko Oen, ice cream tutti fruti yang dikenal lintas benua, menjadi andalan utama. Bahkan di sudut dekat pintu utama, masih nampak jelas rak-rak dari era 1930’an, lengkap dengan stoples koeno yang memajang cookies resep rahasia andalan keluarga, yang mungkin hanya bisa ditemukan di Toko Oen, masih setia membelai lidah penikmat seni kuliner dari masa lalu.
Rak & Stoples Koeno
Tak terhitung sudah berapa banyak para penikmat kuliner lintas benua, mulai dari para jenderal, opsir, kalangan atas, sosialita ketika itu, bahkan Sultan HB IX dan Soekarno pernah bersantap di sana.
Midden Java Reunie yang dalam 10 tahun belakangan tidak pernah lagi ada, Toko Oen merupakan tujuan wajib kunjungan mereka. Midden Java Reunie adalah reuni para orang Belanda yang pernah tinggal di Jawa Tengah. Dalam ingatan saya, di pertengahan 80-90’an, reuni ini masih ada tiap tahun, dan biasanya diekspos dalam porsi yang lumayan di media. Banyak mantan tentara, ilmuwan, pejabat ketika itu, yang menuntaskan rasa rindu dan mengenang good old days di Jawa Tengah dan sekitarnya. Bahkan beberapa anak dan cucu juga ada yang diajak ketika itu. Banyak di antara mereka lahir di Jawa Tengah. Bisa dimaklumi jika sekarang tidak lagi ada Midden Java Reunie mengingat usia para peserta, dan bukan tidak mungkin banyak di antara mereka yang sudah tutup usia.
Tahun 1958, Toko Oen di Jakarta dan Yogyakarta ditutup karena keterbatasan anggota keluarga yang bersedia mengurusnya. Masih menganut sistem manajemen keluarga membuat keluarga besar Oen keteteran mengurusnya. Sementara yang di Malang sudah bukan di bawah pengelolaan keluarga Oen lagi, tapi dijalankan oleh manajemen yang berbeda. Sang cucu, Yenny Megaputri berinisiatif mendekatkan diri ke romantika kolonial di Belanda. Cabang di Delft dibuka tahun 1997 dan di Den Haag dibuka tahun 2000.
Anda ke Semarang? Baik untuk urusan bisnis, berlibur, transit, numpang lewat atau apapun juga keperluannya….luangkan waktu sejenak menikmati romantika lintas budaya Dutch – Indonesia – Chinese dari tahun 1930’an….hidangan yang fantastik, ice cream yang unforgettable….
———————–
Artikel Terkait
{module [26]}
———————–
Budaya-Tionghoa.Net | Baltyra.com
Sumber :
- http://baltyra.com/2009/06/17/toko-oen/
- Tulisan diatas merupakan kontribusi dari pemilik Baltyra.com untuk web ini.
Referensi :
- http://www.tokooen.com/
- http://rkristiawan.blogspot.com/2005/04/semarangs-oldest-restaurant-serves-up.html
- http://www.semarang.nl