Budaya-Tionghoa.Net | Sinergi Pasangan Budi Wijaya – Lany Guito : Yang Menolak Tidak Memakai Nurani dan Logika *
..Apa memang disuruh ‘kumpul kebo’ yang nyata-nyata bukan budaya bangsa Indonesia?…Anda masih ingat dengan kasus perkawinan Budi Wijaya dengan Lany Guito yang sempat menjadi perbincangan hangat di berbagai instansi. Kasus itu terjadi tatkala Kantor Catatan Sipil (KCS) Surabaya pada tahun 1995 menolak mencatatkan perkawinan yang dilakukan pasangan itu di Klenteng Boen Bio Surabaya pada 23 Juli 1995 sebab berdasarkan tata cara, agama Khonghucu dianggap bukan salah satu dari 5 agama resmi. KCS Surabaya merujuk pada Surat Keterangan Kanwil Depag Jatim.Kasus mulai mengembang ketika mereka melakukan gugatan. Pada gugatan di tingkat peradilan pertama (PTUN) dan tingkat kedua (PTTUN) mereka kalah, meskipun berbagai saksi ahli, pakar, dan tokoh agama telah memberikan kesaksian. Baru pada pemerintahan Reformasi, pada Maret 2000, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang memenangkan penggugat dan memerintahkan Kantor Catatan Sipil Surabaya untuk mencatatkan perkawinan Budi Wijaya dan Lany Guito.
Apa yang dilakukan oleh pasangan tersebut merupakan satu perjuangan untuk menuntut hak yang sama sebagai warganegara. Kepada SINERGI INDONESIA yang melakukan wawancara tertulis, Budi bercerita banyak, kenapa dirinya begitu gigih berjuang. “Pertama, keyakinan atau agama itu bukan merupakan sesuatu yang bisa dipertukarkan, sama kalau kita mempertukarkan barang.
Baju anda mungkin saja bisa ditukar untuk dipakai oleh saya dan sebaliknya. Meskipun bisa dipertukarkan, badan kita berdua pastilah berbeda ukurannya sehingga seringkali tidak nyaman, kebesaran atau kekecilan. Itu adalah baju. Keyakinan/agama pastilah tidak bisa
ditukar. Kedua, selama Orde Baru etnis Tionghoa pada umumnya dan agama Khonghucu secara khusus mengalami banyak diskriminasi. Ibarat semut, kalau diinjak-injak terus maka ia akan melakukan resistensi berupa menggigit balik. Nah fenomena ini sebenarnya fenomena
alam dan perlu kita semua fahami.
Hukum Alam/Fisika juga mengatakan ‘ada aksi, ada reaksi.’ Lihat saja yang terjadi pada minoritas di banyak negara yang mengalami penindasan (aksi),”ungkap Budi.
Perjuangan yang dilakukan Budi pun bukan tanpa dasar. Sebab dirinya berjuang merujuk pada peraturan yang ada. Dasar yang saya pakai, kata Budi, adalah UU No. 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Di situ jelas-jelas tertera “Agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Khongcu (Confucius). Karena keenam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Selain keenam agama di atas, agama lainnya masih tetap mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945 (sekarang telah diamandemen), juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan yang diberikan oleh pasal ini.” Jadi UU
No.1/PnPs/1965 dan lebih-lebih Pasal 29 UUD 1945 jelas-jelas memberikan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya.
Harus berjuang
“Sayang kemenangan ini hanya bisa dinikmati oleh saya, sedangkan pasangan yang lain masih belum ada kepastian,” tutur Budi ketika memenangkan gugatan. Apa yang dikemukakannya seolah mengisyaratkan suatu fakta yang terjadi. Sebab menurut ceritanya pula, ketika temannya pasangan Chartes Tee dan Suryawati Soetopo yang menikah secara agama Khonghucu di tempat ibadah
agama Khonghucu Boen Bio Surabaya, kelenteng yang sama dengan dirinya. Ketika mencatatkan di KCS Surabaya (tahun 1998), dia ditolak dengan alasan menunggu kasus saya selesai.
Setelah kasus saya selesai menang, saya dan dia pergi lagi ke KCS untuk mencatatkan. Setelah itu kami dicatatkan oleh Petugas KCS yang diundang ke Kelenteng Boen Bio. Dia disumpah beda 5 menit setelah saya disumpah dan disahkan pencatatannnya dan mendapat nomer register yang urut dengan saya. Secara hukum sudah sah. Tinggal menunggu kutipannya. Tapi punya dia tidak keluar sampai detik ini. Ada upaya menggugat ke PTUN tapi lagi-lagi kandas seperti yang pernah dialami.
Kasus demi kasus nampaknya akan terus bermunculan dan hadir menemani kehidupan bangsa. Seperti kasus Hadi Gunawan dan Yunike Fong (baca : Pasangan Hadi Gunawan-Yunike Fong). Terhadap kasus Hadi dan Yunike, Budi berpendapat,”Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum semestinya satu kecuali negara kita berbentuk Federal. Nah yang terjadi sampai detik ini ialah ada beberapa daerah yang mau mencatatkan perkawinan agama Khonghucu maupun mengeluarkan KTP beragama Khonghucu. Sebaliknya beberapa daerah menolaknya. Mereka yang menolak tidak memakai nurani maupun logika. Nurani mereka masih terbungkus oleh hal-hal yang bersifat keduniawian.
Logika mereka masih terselimuti. Begitu mereka tidak menjabat lagi, nurani maupun logika mereka akan pulih. Secara logika orang ingin kawin secara resmi kok dihalangi. Apa memang disuruh ‘kumpul kebo’ yang nyata-nyata bukan budaya bangsa Indonesia?”. Untuk itu, Budi menyarankan agar Hadi dan Yunike tegar dalam memperjuangkan haknya. “Yakinlah hanya kebenaran itulah yang akan menang. Di film apapun, kebenaran pasti menang. Perlu saya kutipkan Sabda Nabi Khongcu, “Ikan, Aku menyukainya. Tapak Beruang Aku menyukainya.
Bila tidak Kudapatkan keduanya, Kupilih Tapak Beruang. Hidup Aku menyukainya. Kebenaran Aku juga menyukainya. Bila tidak kudapatkan keduanya, Kulepas Hidup dan Kupegang Kebenaran.” Diperlukan mungkin sampai 5 Putusan Mahkamah Agung lagi supaya bisa menjadi ‘yurisprudensi’. Maka bantulah dengan mengajukan gugatan. Teman-teman lain Khonghucu atau lintas agama pasti akan mem-back-up anda,”tuturnya. Kepada umat Khonghucu, tak lupa pula disarankan agar terus berjuang.
Pepatah Tiongkok mengatakan “Bergantung/menggantungkan pada Langit, menggantungkan
pada Bumi, tidaklah sama dengan menggantungkan diri sendiri.” Perjuangan itu harus kita lakukan. Jangan bergantung pemerintah ‘ujug-ujug’ memberikan pengesahan. Kita harus memperjuangkan melalui berbagai jalan. Ke Pengadilan, ke DPR, maupun melalui Konsorsium Catatan Sipil. Kita semua harus berjuang.
Yang mengalami nasib ini bukan saja agama Khonghucu. Umat agama/kepercayaan lain yang tidak diakui, juga mengalami nasib yang sama. Sekarang ini jaman globalisasi. Segala macam bangsa dengan agama/kepercayaannya akan sulit ditolak kehadirannya. Mereka pasti juga akan melakukan pernikahan di sini. Sepanjang mereka tidak melanggar norma kesopanan, ketertiban, merongrong negara, mestinya mereka wajib mendapat perlakuan umum yang adil. Sedangkan pada pemerintah, Budi cuma berharap agar pemerintah sudah sewajarnya mendengar aspirasi rakyat dan jangan dicampur dengan aspek politis. Diskriminasi dalam bidang apapun sudah out-of-date dan tidak populis. “Semoga pemerintah yang baru ini benar-benar mau menghapus segala bentuk diskriminasi dimulai dengan perkawinan agama Khonghucu,”lanjutnya.
*Tulisan ini ada di Majalah SINERGI INDONESIA Edisi ke-24/Tahun II/Februari 2005
** Wartawan Majalah SINERGI INDONESIA
———————–
Artikel Terkait
{module [26]}
———————–
Budaya-Tionghoa.Net | Sinergi
Referensi :
Photo Credit: