Alasan-alasan diatas telah membuat lima dewan juri yang dipimpin Dr. Syafi’I Maarif untuk menganugerahkan Nabil Award I kepada Claudine Salmon. Penghargaan Nabil diberikan kepada mereka yang dinilai berjasa dalam proses nation-building Indonesia.
Istri dari Alm. Denys Lombart ini lahir di Perancis Timur 69 tahun lalu. Minatnya terhadap kebudayaan Tiongkok telah membawa hidupnya untuk mempelajari studi Bahasa Tionghoa. Perkenalannya dengan Indonesia dimulai tahun 1966 ketika suaminya ditempatkan sebagai perwakilan Ecole Francais d’Extreme Orient, lembaga penelitian nasional Perancis mengenai Timur Jauh (Asia). Wanita yang fasih berbahasa Indonesia, Perancis, Inggris dan Mandarin ini menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat Indonesia Tionghoa mengalami berbagai macam pembatasan terhadap ekspresi budaya pasca Gerakan 30 September. Kehidupan singkat di Jakarta telah mengubah minat kajiannya dari Tiongkok ke wilayah Lautan Selatan (Asia Tenggara).
Sepanjang hidupnya, Claudine telah menulis paling tidak 300 karya akademis berupa buku, artikel, jurnal dan resensi. Secara garis besar karyanya mengenai etnis Indonesia Tionghoa bisa dibagi dalam kelompok Sastra, Bahasa dan Percetakan Melayu Tionghoa; Agama dan Kepercayaan Tionghoa; Prasasti Tionghoa sebagai Sumber Sejarah; Hubungan Tionghoa-Islam; Sejarah Keluarga dan Biografi Tokoh Tionghoa; Sejarah Perempuan Tionghoa; Sejarah Komunitas Tionghoa Berdasarkan Dialek dan Domisili; Pendidikan Tionghoa; dan Hubungan Nusantara dengan Tiongkok, Vietnam dan Thailand. Tulisan-tulisannya menunjukkan pemupukan silang budaya Tionghoa-Indonesia, dimana etnis Tionghoa telah berada di Indonesia sejak masa paling awal dan memainkan peran penting dalam perkembangan ekonomi, politik dan sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia.**
Mengintip Sejarah dari Karya Sastra Melayu Tionghoa
Cukup mengasyikkan membaca karya sastra para peranakan Tionghoa di masa 1870-1960. Karya Sastra Melayu Tionghoa menggambarkan dinamika yang terjadi semasa puncak Pax Nederlandica (masa keemasan penjajahan Belanda) dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Dari sana kita bisa merasakan bagaimana hidup di zaman itu dan bagaimana hubungan sosial yang terjadi di masyarakat pada masa kisah tersebut ditulis.
Ada kisah tentang kedatangan Raja Siam di Betawi pada 1870, pembuatan jalan kereta api pertama dari Batavia ke Karawang di awal abad 19, biografi seorang petinju masyur, kisah percintaan yang ditentang karena perbedaan, drama berlatar belakang meletusnya gunung Krakatau sampai kisah keseharian masyarakat pada krisis ekonomi tahun 1930-an. Kita juga bisa melihat bahwa buku tentang belajar bahasa Melayu yang berisi ejaan, penggalan kata sampai peribahasa ternyata sudah terbit di tahun 1884.
Ada pula Novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay yang berani menyentuh masalah hakiki dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an dan secara terbuka mengaspirasikan semangat ke-Indonesiaan. Setting novel ini dianggap luar biasa karena mengangkat peristiwa sejarah Pemberontakan November 1926 yang tidak berani disentuh para pengarang Balai Pustaka.
Hubungan interaksi sosial dalam masyarakat juga terbaca jelas. Seperti karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran masyarakat peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab dan sebagainya. Ia bahkan menyatakan konflik antara masyarakat totok yang menyebut dirinya singke’ dengan golongan peranakan, karena adanya sifat, kebiasaan dan pola pikir yang berbeda.
Gambaran sejarah lain juga terungkap jelas dalam kisah-kisah tentang perkembangan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), potret perempuan di zaman kolonial, organisasi perempuan yang sulit berkembang, dan emansipasi kaum perempuan melawan kungkungan tradisi untuk meraih cita-citanya.
Kisah-kisah dalam Karya Sastra Melayu-Tionghoa menggambarkan pergulatan mencari identitas dan pengakuan yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia. Tampak pula keragaman dalam masyarakat Tionghoa yang berorientasi ke tanah leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia. Sebuah fakta lagi yang menguak betapa heterogennya masyarakat Tionghoa di Indonesia, dimana sering disamaratakan dengan stereotIpe tertentu.
***
Sekilas tentang Claudine Salmon
Tempat dan tahun lahir: Bruyeres, Prancis Timur, 1938
Keluarga: Denys Lombart (suami, 1938-1998)
Pendidikan: Studi Bahasa Tionghoa di Ecole Nationales des Langues Orientales (1962); studi hukum (1963) dan studi humaniora (1964) di Faculte de Droit, Universitas Sorbonne; dan meraih gelar doktor dari Universitas Sorbonne (1970).
Pekerjaan: Ahli peneliti utama di Pusat Nasional untuk Penelitian Ilmiah (CNRS)
Karya ilmiah: selama 1965-2007 (termasuk yang akan terbit) Claudine Salmon telah menghasilkan tiga buku (termasuk terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia), lima buku bersama penulis lain (termasuk terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dan Thailand), menjadi editor 9 buku dimana biasanya ia memberikan anotasi detail atas subjeknya yang juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin dan Vietnam, 53 artikel dalam buku (termasuk terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, Malaysia dan Italia), 103 artikel dan terjemahan dalam jurnal (termasuk terjemahannya ke dalam Bahasa China, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Spanyol) serta 128 buku yang diresensi dalam berbagai macam bahasa.
(Lisa Suroso/SUARA BARU) Photo: Eric Satyadi
Budaya-Tionghoa.Net |Mailing-List Budaya Tionghua
Sumber :
- http://lisasuroso.wordpress.com/2007/11/02/claudine-salmon-dalam-bingkai-sastra-melayu-tionghoa/
- Tulisan ini dimuat ulang dengan seijin Lisa Suroso.