Budaya-Tionghoa.Net | Aku tak mau diganti ongkos fotokopinya, sungguh aku tak mau, jangan. Ini kuberikan sebagai tanda kenang-kenangan. Nah ini kutandatangani, jadi sah? demikian ucapan Liem Kok Bie almarhum ketika ia menyerahkan fotocopi buku Sam Kok kepada penulis sore hari dikediamannya Jl. Taman Daan Mogot II No. 37 Jakarta, setelah lama mengobrol disana.
|
Pada lembar pertama kanan atas terdapat nama Hernowo dan dibawahnya dicap Drs. R. Hernowo, nama baru Liem. Dibagian akhir halaman ada tandatangan Adhi Jkt 22/06 2009, jadi nama lengkapnya ialah R. Adhy Hernowo.
Ketika itu keadaannya tetap ceria dan ramah karena baru saja mengajak makan 2 cucunya, laki-laki dan perempuan yang gemuk-gemuk.
Sungguh tak mengira, bahwa hari itu merupakan pertemuan terakhir kita, karena tepat sebulan kemudian Liem Kok Bie terkasih meninggalkan kita untuk selama-lamanya, yakni tanggal 22 Juli 2009 di RS Harapan Kita karena sakit Jantung, dalam usia 70 tahun.
Kira-kira sebulan sebelumnya Kok Bie mengajak penulis ngobrol di kantor teman baik Tan Sien Tjhiang, kemudian Tan mengajak temannya Santoso untuk makan bersama di Satay House.
Almarhum meninggalkan seorang putri Diana Hernowo S.E dan menantunya Yie Tung Ming (Suhadi) S.E dengan tiga cucu-cucunya Henry, Hanzel, Heidy yang berdiam di Malang dan seorang putranya Ir. Dipa Hernowo di Singapura.
Istri tercinta almarhum Ir. Soesilowati (Kweik Tjing Nio) telah mendahuluinya pada tanggal 15 Januari 2007.
Jenazah mendiang Liem telah disemayamkan di R.S Darmais. Dalam misa requiem Romo Pur dari Gereja St. Kristoforus Petamburan merasa sangat kehilangan dengan prodiakonnya yang telah selama 13 tahun mengabdi digereja tersebut untuk memberikan pelayanannya yang merupakan pilihan Tuhan.
Kremasi jenazah almarhum dilangsungkan di crematorium Oasis Lestari Bitung Tangerang, tanggal 24 Juli 2009.
Selain para famili, banyak sahabat almarhum dari In Hwa/Sekolah Semarang, Lung Hua dan teman-teman seperjuangan di permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI) dengan khidmad menyampaikan penghormatan terakhir dan banyak yang meneteskan airmata.
Menurut paman almarhum Tjiong Bing Hoen, yang begitu melihat penulis lalu merangkul dan menangis terisak-isak, dengan suara terbata-bata ia mengatakan, bahwa seringkali almarhum mengeluh kepadanya dan tampak putus asa, sejak ditinggal istri tercintanya untuk selama-lamanya. Walaupun sang paman menghibur dan membesarkan hatinya, namun almarhum walaupun tampak tegar, namun hatinya hancur lebur.
Berulangkali almarhum menyatakan ingin 搈enyusul?istri tercintanya. Abu jenazah istri tercintanya, bahkan tidak dititipkan kerumah abu, tapi disimpan dan diletakkan ditempat yang bagus di kamarnya, suatu bukti kesetiaan seorang suami kepada istrinya, yang sukar dicari bandingannya.
Bahkan didepan peti jenazah almarhum, bukannya foto-foto almarhum yang diletakkan disitu, tapi foto mereka berdua-an.
oleh : Go Sien Ay
Majalah SINERGI No-Oktober-Nopember
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghoa 45269
Catatan Admin : Tulisan ini terdiri dari empat bagian , telusuri artikel terkait untuk menelusuri keseluruhan artikel.
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.