Budaya-Tionghoa.Net | Kueh Ti Kwee, inilah sebutan yang dipakai untuk menyebut kue keranjang di kalangan orang Tionghua di Jawa Tengah dan Jawa Timur dulu di sekitar tahun 60’an, juga sekarang masih disebut demikian di kalangan orang tua Tionghua di kota2 kecil di Jawa Tengah dan Timur. Cuma untuk anak muda sebutan kue keranjang makin populer saja.
Di hari hari menjelang Sincia seperti sekarang ini, di tahun 60’an dulu, banyak keluarga sudah selesai membuat kue Ti Kwe, empat atau lima hari bahkan seminggu sebelum Sincia datang. Dan bikinnya cukup banyak, entah berapa kilo ketan dibuat menjadi tikwe. Disamping untuk di pakai sembahyang dan dimakan, juga untuk dihantarkan ke tetangga. Jika pada waktu lebaran, mereka yang merayakan lebaran mengirimkan hantaran ke tetangga tetangga yang Tionghua, sebaliknya pada waktu Sincia yang Tionghua mengirimkan hantaran ke tetangga tetangga yang kemarin mengirimkan hantaran waktu lebaran.
Jauh jauh hari banyak keluarga Tionghua sudah membeli ketan, bisa sampai setengah karung atau sekarung, tergantung berapa banyak hantaran yang akan dibuat nanti. Banyak pohon pisang sudah diambil daunnya. Dan bukan hanya harga ketan yang jadi sedikit naik, harga gula jawa pun juga naik. Ketan dan gula jawa memang bahan utama ti kwe ini.
Apalagi jika lebaran dan sincia jatuhnya bersamaan. Ini terjadi setiap 33 tahun, selama tiga tahun berturut turut. Itu karena kalender lebaran yang berdasarkan bulan maju kurang lebih 11 hari setiap tahun terhadap kalendar matahari yang setahun kalendar panjangnya adalah 365 hari, dan kalendar imlek pun dengan sistimnya mengkoreksi diri dengan adanya tambahan lun gwe setiap 3 tahun, sehingga bisa tetap segaris dengan kalendar matahari.
Itu yang terjadi di sekitar tahun 60’an, untuk anak yang masih kecil waktu itu tentu saja belum bisa paham tentang semua ini. Tentu saja juga tidak paham apakah memang benar harga pangan sedikit naik karena permintaan yang meningkat tajam gara gara hari raya yang bersamaan. Tetapi satu hal yang jelas benar2 dipahami, makanan dan kue rasanya tidak ada habis habis nya dan variasi nya begitu banyak. Baik yang di buat sendiri maupun yang datang dari hantaran. Baik yang datang dari keluarga Tionghua yang lain, maupun yang bukan.
Lumpang jadi bertalu talu di beberapa rumah, sudah sejak dua atau tiga minggu sebelum sincia. Di masing masing keluarga, rata rata akan membuat tepung beras, tepung ketan sendiri, dengan menumbuknya, itu sebabnya suara lumpang jadi bertalu talu. Kecuali kebutuhan tepung terigu yang dibeli, rata rata untuk tepung tepung yang lain di buat sendiri, termasuk tepung tapioca dan tepung umbi2an yang lain, spt garut dll. Sedang kacang hijau, kacang merah di buat agak belakangan.
Jadi kegiatan menyambut sincia sebetulnya sudah dimulai bahkan dua atau tiga bulan sebelumnya, dengan mulai mengumpulkan dulu bahan atau tepung yang paling susah dibuat, tetapi yang paling tahan lama. Dan karena sincia berada di awal tahun semua bahan itu biasanya sudah tersedia berlimpah di bulan ke sepuluh atau ke sebelas setelah masa panen.
Biasanya setelah masa bertalu talu bunyi lumpang lewat, tibalah masa membuat kue kue kering yang lebih tahan lama di simpan. Semua seakan sudah ada jadwalnya dan itu ada diingatan ibu. Perlahan lahan lemari yang itu yang biasanya penuh dengan stoples stoples dari beling yang kosong, akan mulai terisi dengan kue yang bermacam macam. Satu per satu stoples itu akan penuh, berisi kue ini dan itu. Untuk sementara anak anak belum boleh mengambil kue yang dalam stoples itu. Karena itu dipersiapkan untuk sembahyang dan untuk hantaran nantinya pada waktu sincia tiba. Dan tutup nya pun rapat sekali, bahkan untuk membuka tutupnya pun tak mudah, kalau jatuh bisa pecah berantakan isi satu stoples.
Tetapi ibu rupanya mengerti, mana bisa anak anak disuruh menunggu sincia yang masih beberapa hari, maka disediakan satu atau dua tempat dimana kue boleh diambil dan dimakan. Atau kalau hari masih siang atau pulang sekolah, jangan pergi ke lemari, pergi saja ke dapur, disana sesuai jadwal maka selalu ada kue ini atau kue itu sedang dibuat, biasanya selalu ada kue kue yang baru jadi yang boleh dimakan, terutama yang bentuknya agak jelek sedikit. Dan itu sudah disediakan di tempat yang kuenya boleh diambil.
Di antara acara membuat kue, maka membuat kue ti kwe termasuk paling heboh dan berisik, karena pada saat ini rupanya dibutuhkan bantuan tenaga lelaki untuk mengaduk adonan tikwe dan kemudian menuang adonan itu di kantong kantong daun pisang yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Tetapi pembantu laki laki biasanya hanya untuk mengaduk adonan saja, selesai membantu itu mereka kembali bekerja yang lain.
Untuk menyenangkan anak anak, rupanya ibu selalu membuatkan kue tikwe dengan versi kantong pisang yang kecil, yang ini nantinya boleh dimakan dulu, dan masing masing anak bisa dapat satu satu. Dan untuk versi yang inipun agak banyak dibuatnya karena lagi lagi anak anak tidak bisa terus2an menunggu datangnya sincia baru makan kue tikwe.
Belakangan barulah tahu sebetulnya kue tikwe culup disebut tikwe saja, karena kata kata kue (orang di Jawa Timur bacanya kueh) sama dengan kwe nya tikwe itu, yah kebiasaan dari kecil itu memang agak susah menghilangkan, banyak yang tetap menyebutnya kueh tikwe.
Setelah banyak melakukan perjalanan ke Tiongkok baik ke utara dan selatan. Dan kemudian membaca beberapa buku, mulailah timbul pertanyaan. Bahan kue tikwe boleh dibilang hanya ketan dan gula jawa yang terbuat dari kelapa itu. Lantas dari manakah kebutuhan akan gula kelapa Tiongkok ini terpenuhi ?
Budaya makanan dengan dasar ketan boleh dibilang hanya ada dan terbentuk dengan baik di daerah selatan sungai TiangKang saja, ini karena memang ketan lebih tumbuh subur atau hanya bisa di tanam di daerah selatan. Budaya makanan utara lebih ke gandum. Tentu saja pada saat ini ketan pun tersedia di supermarket di Harbinm yang berada jauh di utara. Karena itu kue tikwe ini lebih tersebar merata di daerah Fujian dan Guangdong, semakin masuk ke pedalaman semakin lain. Itu semua karena dua bahan utama itu tadi.
Di Tiongkok kelapa, tanaman trropis, relatif tersedia hanya di pulau Hainan, satu pulau yang relatif penduduknya cukup jarang sampai satu waktu tertentu. Gula kelapa lebih banyak tersedia di Asia Tenggara.
Saat ini tikwe, disebut juga tikwe di pilipina, dan di makasar atau manado. Kebudayaan membuat tikwe ini tersebar dengan baik di pelabuhan pelabuhan singgah jalur pelayaran antara Jawa dan Tiongkok waktu itu. Dan di jalur ini lah perdagangan gula kelapa antara Jawa dan Tiongkok satu waktu pernah marak. Inilah jalur yang pantas disebut jalur gula kelapa, satu komoditi penting masa itu. Untuk apa?
Gula kelapa memenuhi kebutuhan gula penduduk Tiongkok. Salah satunya dalam bentuk produk kecap itu. Sampai dengan jaman dinasti Tang, menurut catatan sejarah, tebu satu sumber gula lainnya, barulah mulai masuk ke Tiongkok, ada yang mengatakan melalui India. Tetapi belum dalam bentuk gula, masih butuh beberapa ratus tahun kemudian untuk menjadikan tebu menjadi kristal gula. Tebu ini tanaman tropis. Dan tebu juga berasal dari Asia Tenggara, walaupun ada yang tetap berpendapat dari Asia Tenggara dan India selatan.
Penulis menduga, satu waktu dulu, dalam pelayaran antara Tiongkok dan Jawa sampai ke India, maka kue tikwe, jenang dan wajik menjadi makanan utama di kapal yang tahan lama disamping taoge dan kecap, dan tentu saja beras. Yang membuat orang mampu bertahan berlayar sekian bulan diantara Tiongkok Jawa dan India. Mungkin itu pula sebabnya salah satu makanan jaman dinasti Tang juga makanan yang banyak memakai kecap, seperti yang diluar dugaan di lestarikan oleh khasanah kuliner orang Hokkian dan orang Jepang.
Salam, Harry Alim
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua