Budaya-Tionghoa.Net | “TUHAN tidak perlu dibela”, menjadi ungkapan paling masyur dari seorang yang bernama Gus Dur. Dalam pikirannya, yang namanya Tuhan tak memerlukan pembelaan dari sesuatu yang diciptakanNya sendiri. Apalagi sampai menguras tenaga dan pikiran. Kadang hingga menumpahkan darah dengan nyawa yang tak kembali.
Bagi seorang Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus Dur, Tuhan itu sudah agung dan besar. Dia tak memerlukan pembuktian atas kebesaranNya. Ia Maha Agung karena memang Dia ada. Apa yang diperbuat orang atas diriNya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujudNya dan atas kekuasaanNya. Jadi yang perlu dibela adalah kaum penyembah Tuhan atau orang-orang kecil yang terpinggirkan, terdesak dan terjatuh nasibnya. Bukan Tuhan, yang tak pernah terpinggirkan dan Maha Kuat selamanya.
|
Bagi mereka yang merasa terabaikan dan terdesak keberadaannya, kepergian seseorang yang selalu membela mereka, menjadi sebuah kehilangan besar. Gus Dur dikenal sebagai sosok yang selalu berada di posisi itu.
Golongan minoritas keturunan Tionghoa, yang sekian lama nasibnya tersudutkan hidup di Indonesia, seperti kedatangan seorang nabi, ketika Gus Dur menjadi pemimpin negeri ini. Begitupun dengan kelompok-kelompok minoritas lainnya. Kepemimpinannya, seperti mengisi dahaga sebagian masyarakat minoritas yang pernah mengalami masa-masa kebahagiaan hidup dalam saling rukun beragama, ketika negeri ini dikendali oleh seorang yang bernama Soekarno. Sosok yang berdiri di semua pihak secara adil. Beruntunglah, Gus Dur adalah ‘anak ideologi’ Soekarno. Ketika di akhir-akhir masa kekuasaannya, dia sering memakai cincin di jari manis tangan kirinya, bergambar Soekarno.
Saya pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana seorang Gus Dur begitu dipuja, bahkan seperti ’disembah’ oleh kaum minoritas Tionghoa di Indonesia. Pada suatu hari di bulan Ramadan, saya bersama keluarga berjalan-jalan ke Kota Lama di Tangerang, diantar oleh seorang sahabat, Pak Felix Dalimarta, seorang ’anak asli Cina Benteng’.
Betapa terkejutnya, ketika saya setelah berbuka puasa di kelenteng besar Bun San Bio, Tangerang, saya melihat sebuah gambar yang tergantung di dinding kelenteng tua itu. Ada foto Gus Dur dengan kalimat-kalimat pujian setinggi langit tertulis di dalam gambar itu. Foto tersebut mengabadikan kunjungan seorang Presiden RI yang saat itu dijabat Gus Dur, ke rumah rohani kaum peranakan Tionghoa tersebut.
Keberpihakan Gus Dur membela kaum minoritas, harus dibayar mahal. Dia dicap oleh sebagian besar orang yang kurang wawasannya, sebagai menyimpang dan berada di pihak ’mereka’, bukan di pihak ‘kita’. Terlalu banyak untuk menyebut dan memberi contoh bagaimana dia memberikan pembelaan bagi kaum terpinggirkan dan tindakannya yang tidak dimengeri oleh banyak orang.
Banyak orang merasa terkecoh dan kemudian menyesali apa yang mereka katakan atau perbuat, ketika memberi suatu penilaian atas sikap Gus Dur. Sewaktu dia menjuluki anggota parlemen seperti taman kanak-kanak, banyak orang mencela Gus Dur. Namun beberapa waktu kemudian, ternyata julukan itu terbukti benar, bahkan mereka lebih keras lagi mencela prilaku anggota parlemen, seperti sebuah orkestra.
Keanehan sikapnya, sangat asing dipandang banyak orang. Dia bersahabat baik dengan pemimpin Gereja Mormon (sekte terkaya di AS) dan mengundangnya datang ke Indonesia. Ketika Gus Dur sakit, kebaikannya dibalas, dengan memberi fasilitas penuh untuk pengobatan Gus Dur di Salt Lake City (markas Gereja Mormon), AS. Ia pun menjadi anggota sebuah institute yang dipimpin oleh Shimon Perez, mantan PM Israel. Dia bersahabat baik dengan para ulama dan mufti Timur Tengah dan selalu berbicara dengan mereka dalam bahasa Arab (Gus Dur adalah alumni sekolah di Irak dan Mesir).
Para biksu dan tokoh agama Kong Hu Cu menjadikan dia sebagai pelindung mereka. Dia juga menggemari lagu Ratu Blues Janis Joplin, musik Beethoven dan gemar menonton film karya sutradara aneh, seperti Francois Truffaut. Dia juga seorang pengamat sepakbola yang handal, yang hanya bisa disaingi oleh kolumnis sepak bola kenamaan, Kadir Yusuf.
Dia pernah membuat Fidel Castro ketawa lebar di kamar hotelnya di Havana dan Bill Clinton terpingkal-pingkal, hingga Clinton mengantarkan Gus Dur sampai ke pintu mobil dari Ruang Oval. Sebuah kejadian langka dilakukan seorang presiden AS terhadap tamunya. Dia menyegarkan kembali peran Indonesia di mata dunia, dengan melanglang buana secara efisien. Hampir 45 negara telah dikunjunginya selama 1,5 tahun jadi presiden. Bandingkan dengan Presiden Bill Clinton, yang dikenal sebagai presiden AS paling sering ke luar negeri, yang telah mengunjungi 60an negara dalam kurun 8 tahun.
Saya juga masih ingat bagaimana Gus Dur mencela fenomena ‘suara Tuhan’ yang bising di masjid-masjid, yang mengganggu orang. Selama saya tinggal di Jakarta lebih 30 tahun, saya selalu berdekatan dengan masjid dan merasakan gangguan itu.
Bagi Gus Dur, suara-suara bising dari masjid yang menganggu ketenangan orang adalah sebuah kemunduran dalam praktek beragama. Bukankah harga properti akan jatuh kalau berdekatan dengan masjid? Hampir sebagian besar umat Islam, masih tertutup pola berpikirnya dalam menjalankan kehidupan, untuk saling menjaga perasaan orang lain.
Suara keras yang dipancarkan dari masjid sehingga mengganggu orang banyak, dinilai sebagai tidak islami. Baginya, Islam tidak mengajarkan seperti itu. Nabi Muhammad mengajarkan, bahwa kewajiban menjalankan praktek agama, terhapus bagi 3 macam jenis manusia. Orang gila (hingga sembuh), orang mabuk (hingga sadar) dan orang yang sedang tidur (hingga terbangun). Toh, Tuhan juga tidak budeg (tuli). Dari sini muncul joke, bahwa orang Islam Tuhannya paliiiiing jauh. Lha, kalau berdoa aja pake speaker!
Nah, bagi Gus Dur tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar sembahyang, kecuali ada sebab yang sah menurut agama (‘illiat). Misalnya, istri membangunkan suami di pagi hari supaya menjadi teladan bagi anak-anaknya. Kalau suara azan memanggil orang bersembahyang juga sebagai ‘illiat, namun tidak harus mengganggu bagi orang yang tidak punya kewajiban. Namun ‘illiat itu tidak boleh dipukul rata. Harus ada cara untuk orang yang tidak kena kewajiban. Orang jompo, wanita haid yang diharamkan sembahyang, anak-anak yang belum dewasa dan tentunya umat lain yang bukan Islam.
Hal-hal kecil itu adalah contoh ilustrasi bagaimana pemikiran Gus Dur begitu cemerlang, untuk sebuah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. “Makin berbeda kita, makin jelas di mana titik-titik persamaan kita”, katanya. Hello Goodbye, Gus Dur. (*)
Iwan Satyanegara Kamah
http://baltyra.com/2009/12/31/orang-tidurpun-dibela-gus-dur/
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.