Budaya-Tionghoa.Net |Bagi Pria Taiwan, mencari calon istri dari luar negeri adalah hal yang lumrah. Hal ini terjadi karena persoalan demografis. Di Indonesia, praktik pengantin pesanan bisa digolongkan ke dalam trafficking atau perdagangan orang.
Acing, gadis 28 tahun, bergidik ketika mendengar berita penyelundupan perempuan asal Indonesia di Taiwan. Hampir satu tahun berlalu, namun berita itu kerap menggangu pikirannya. Ia merasa sangat beruntung. Pengalamannya di Taiwan berbeda dengan 35 wanita yang berhasil diselamatkan dari jaringan perdagangan perempuan berdalih pernikahan.
Dari hasil kerja kasar selama dua tahun di Taiwan, ia berhasil mengumpulkan sejumlah uang. “Sekarang saya tidak perlu pakai kendaraan umum lagi,” akunya. Sebuah mobil mungil berwarna ungu mejeng di gang rumahnya. Sambil menunggu panggilan kerja kembali ke Taiwan, gadis tamatan SMU ini sekarang bekerja di bagian administrasi sebuah perusahaan ekspor-impor. “Dua tahun di Taiwan, saya cukup mengerti bahasa Mandarin, mungkin itu yang membuat saya diterima di perusahaan ini,” katanya.
Pengalaman Acing memang cukup menyenangkan. Bandingkan dengan pengalaman Luciana, salah seorang korban dari jaringan di atas. “Saya tidak tahu bahwa saya akan ditipu. Saya menikah baik-baik di Indonesia dengan pria Taiwan,” katanya dalam wawancara dengan televisi lokal Taiwan. Setelah diboyong ke Taiwan, suami Luciana menghilang. Paspornya ditahan, dan ia dipaksa bekerja di sebuah pabrik dengan upah murah. Korban lainnya mengalami pelecehan seksual dan dijerumuskan dalam jaringan seks komersil.
Fenomena foreign bride atau pengantin pesanan merupakan kondisi sosial yang merebak di Taiwan sejak akhir 1980-an. Sekitar 350.000 pengantin imigran datang ke Taiwan melalui sistem jasa pengaturan perkawinan yang disebut ‘mail-order bride’.
Dr. Chen Mei Ying, PhD dari National Chiayi University, Taiwan, dalam kesempatan kuliah terbukanya mengenai Perkawinan Silang Perempuan Indonesia dengan Pria Taiwan di Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa para foreign bride asal Indonesia sebagian besar berasal kantung etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dan Tanggerang. Data Pemerintah Kabupaten Sambas tahun 2007 mendukung hal ini. Sejak tahun 1980 hingga 2007, tercatat 27 ribu warga asal Sambas, Singkawang dan Bengkayang menetap di Taiwan karena perkawinan antar negara. Jumlah itu meningkat 3000 orang dibanding data tahun 2000.
Bagi pria Taiwan, mencari calon istri dari luar negeri adalah hal yang lumrah. Hal ini terjadi karena persoalan demografis. Jumlah pria Taiwan di atas usia 15 tahun ternyata 700.000 orang lebih banyak dari jumlah perempuannya. Mereka yang berada di bagian bawah totem ekonomi mengalami kesulitan mendapat pasangan perempuan lokal. Karenanya mereka beralih ke negara lain untuk mencari istri.
Kisah Dua Sisi
Tak semua kisah pernikahan pengantin pesanan ini berakhir bahagia. Banyak diantara mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dieksploitasi secara fisik dan seksual. Ada pula yang nyata-nyata ditipu dengan kedok pernikahan.
Seperti yang dialami Kiki (bukan nama sebenarnya), perempuan etnis Tionghoa asal Tangerang. Setelah melewati proses “ciek sauw” atau malam perkenalan yang diadakan oleh makelar, Kiki bertemu dengan seorang pria Taiwan. Melewati satu minggu perkenalan, si pria membayar lima juta rupiah sebagai mas kawin pada keluarga Kiki. Pernikahan pun digelar. Walaupun sederhana, cukup lengkap dengan foto studio. Kiki pun dibawa ke hotel untuk melewati malam pertama. Sialnya, pria itu lantas kabur, meninggalkan Kiki dan impian untuk hidup sejahtera di Taiwan.
Nasib Shinta, sesama wanita etnis Tionghoa asal Tangerang, tak sesial Kiki. Berdasarkan hasil wawancaranya dengan Rebeka Harsono, Direktur Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia, Shinta mengalami pernikahan yang cukup bahagia, walaupun ia dijodohkan melalui proses ciek sauw juga. Ia bahkan sudah bisa membeli apartemen tiga lantai selama menikah dan bekerja di Taiwan, dan bisa mengirim uang untuk keluarga di Indonesia.
Alasan utama para gadis mau menempuh perjodohan foreign brides cukup beragam. Tapi yang utama biasanya menyangkut faktor ekonomi. Menikah dengan pria Taiwan adalah salah satu jalan keluar dari kemiskinan dan impian hidup lebih sejahtera di luar negeri. Ada pula yang terbeban rasa ingin membalas budi pada orang tua dengan harapan bisa mengirim uang bulanan rutin. Tidak peduli kawin dengan siapa, yang penting mendapat akses bekerja di luar negeri.
Perdagangan Manusia, Masalah Definisi
Praktik pengantin pesanan bisa digolongkan ke dalam praktik trafficking atau perdagangan orang. Hal ini diungkap Hairiah SH, anggota Komnas HAM Kalimantan Barat. Menurutnya, praktik kawin campur ini kebanyakan dibarengi tindak pelanggaran seperti pemalsuan identitas, kepemilikan paspor ganda, pemaksaan kehendak, mempekerjakan anak di bawah umur, tipu daya, hingga jerat utang.
Namun konsep trafficking sendiri masih mempunyai sisi bias. Global Alliance Against Trafficking Women menekankan adanya tiga elemen penting dalam konsep trafficking, yaitu rekrutmen, transportasi dan lintas batas negara. Kemudian Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againt Women (CEDAW), menambahkan satu elemen lagi, yakni persetujuan atau consent.
Bila calon pengantin perempuan memahami sepenuhnya apa yang akan mereka hadapi di Taiwan, maka pengaturan perkawinan itu belum bisa disebut trafficking karena adanya persetujuan. Merujuk UU No. 21 Tahun 2007, bila persetujuan itu diperoleh melalui iming-iming materi kepada pemegang kendali si calon pengantin sehingga kemudian terjadi pemaksaan, maka kategori “perdagangan orang” baru berlaku.
Keberadaan foreign bride di Taiwan sendiri mendapat tempat dan dilegalkan. Pemerintah Taiwan bahkan membuat berbagai macam program supaya mereka bisa beradaptasi dengan baik. Faktor politik turut memainkan peran. “Jumlah suara mereka dimanfaatkan dalam pemilihan umum,” kata Dr. Chen. Presiden Chen Shuibian dari Partai Demokratik Progresif misalnya, memberi tempat bagi pengantin imigran dalam kampanye tahun 2004.
Bagi Acing, Luciana, Kiki, dan Shinta, mengadu nasib dan jodoh di negeri asing seperti melempar koin uang. Ada yang beruntung, ada yang bernasib buruk. “Memang ada kesan lebih penting harta daripada cinta,” tutur Acing yang masih berharap bisa kembali di Taiwan awal musim semi 2008 ini. “Mungkin itu benar. Banyak gadis memilih menikah dengan pria Taiwan, Hongkong dan Malaysia untuk keluar dari krisis keuangan. Bahagia apa tidak, yang penting uang masuk. Keluarga aman dan sejahtera.”
(Lisa Suroso-TB. Heckman/SUARA BARU)
http://lisasuroso.wordpress.com
Tulisan ini dimuat ulang atas seijin dan sepengetahuan pemilik tulisan dan blog diatas.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua