Budaya-Tionghoa.Net | Ada pertanyaan tentang apa saja pengaruh dari ajaran-ajaran Kongzi dan Mengzi (KongMeng) terhadap politik di Zhongguo sekarang. Ini sungguh sebuah pertanyaan yang besar dan berat untuk dijawab. Sebab, kita harus memahami lebih dulu apa itu politik , apa konsep politik dalam ajaran KongMeng dan bagaimana Zhongguo Gong Chan Dang (PKT) yang sedang memerintah sekarang ini menjalankan konsep politik. Setelah tiga pertanyaan itu terjawab, kita baru bisa tahu Ru-jia Si-xiang (pemikiran KongMeng) memberi pengaruh apa saja dalam perpolitikan Tiongkok sekarang ini.
Pengertian Politik.
Dengan sederhana kita menjawab, POLITIK adalah ilmu atau “seni” mengatur negara. Mengatur negara yang mengarah pada suatu harapan yang dicita-citakan. Siapa saja yang bisa mengatur negara ? Para negarawan. Dalam ajaran Tiongkok kuno aliran Ru-jia disebut Sheng-ren. Sheng-ren diterjemahkan sebagai Nabi.Karena dalam sebuah negara terdiri dari berbagai macam orang yang kadangberlainan kepentingannya, maka harus ada politik KETERTIBAN yang ditegakkan melalui HUKUM. Untuk menegakkan hukum butuh politik KEKUASAAN. Dalam kondisiberbeda, kekuasaan-hukum dijalankan dengan cara yang berbeda, bisa persuasiv danbisa juga dengan kekerasan.
Pada umumnya, tanpa kekuasaan, hukum takkan tegak,tanpa tegaknya hukum negara tidak akan tertib dan tanpa ketertiban, cita-cita apapun tidak akan terwujud !Antara politik, hukum dan kekuasaan yang berkaitan satu sama lain itu, semua mengacu pada suatu ketertiban demi tercapainya suatu CITA-CITA. Cita-cita dalamkehidupan didunia ini.Karena cita-cita yang tidak sama, maka ketertiban yang diharapkan juga tidaksama. Sekarang ini, paling tidak ada dua macam World Order yang jelas terlihat.
Satu versi Barat yang dipelopori Amerika, satu versi Timur yang dipelopori oleh Zhongguo. Dunia Barat mencita-citakan sebuah World Order yang menekankan KEBEBASAN dan DEMOKRASI; Dunia Timur mencita-citakan sebuah world Order yang menekankan HARGA-DIRI dan KEMAKMURAN. Apakah kedua World Order itu harus menghancurkan satu sama lain? Tidak !
Dipandang dari sudut filosofi Tiongkok, sesungguhnya bila keduanya tercapai satu keseimbangan, maka damailah dunia, keduanya hanya Yin dan Yang saja ! Sayang, sekarang ini bagaimanapun juga, Barat masih lebih unggul, sebab mereka sudah punya Kemakmuran dan tentu punya Harga-diri, sedang Dunia Timur umumnya masih miskin dan otomatis merasa harga-dirinya rendah, diinjak melulu ! Tetapi anehnya, orang Indonesia masih lebih suka dengan “Kebebasan berpendapat”, “Kebebasan mogok kerja”, “Kebebasan berdemo”, “Kebebasan bercinta”, ahkirnya “Kebebasan kawin-cerai” dan “Kebebasan menyontek”. Selain itu juga sangat suka dengan “Demokrasi”, partai politiknya banyak sekali, tetapi, cita-citanya semua hampir sama—Negara Adil dan Makmur; dengan cara apa cita-cita itu direalisir, mboh ora weruh !
Sasaran politik Ajaran KongMeng (kaum Ru-jia) adalah merealisir sebuah cita-cita DA TONG SHI JIE —- Keharmonisan-Agung Dunia. Kaum Ru-jia memiliki satu cita-cita kehidupan ideal yang ditulis dalam kitab “Li-ji” bab Li-yun. Cita-cita itu adalah sebuah dunia harmonis, A Harmonic World-order. Sebuah dunia milik bersama, Tian Xia Wei Gong.
Saya kutib isi Da-tong pian itu sesuai terjemahannya dalam kitab Li-ji bahasa Indonesia hal. 240 :
“Bila terselenggara Tao-yang Agung itu, dunia dibawah langit ini didalamkebersamaan; dipilih orang yang Bijak dan Mampu, kata-katanya dapat dipercaya, apa yang dibangun dapat Harmonis. Orang tidak hanya kepada orang-tua sendiri hormat-mengasihi sebagai orang-tuanya; tidak hanya kepada anak sendiri menyayanginya sebagai anak. Menyiapkan bagi yang tua tenteram melewatkan haritua sampai ahkir hayatnya. Bagi yang muda-sehat mendapat kesempatan berpahaladan bagi anak serta remaja mendapat pengasuhan. Kepada janda, duda, yatim-piatu sebatang-kara dan yang sakit, semuanya mendapat perawatan. Pria mendapatpekerjaan yang tepat, wanita memiliki rumah-tanggan yang hangat. Barang-barang berharga tidak dibiarkan tercampak ditanah, tetapi juga tidak untuk disimpan bagi diri sendiri. Orang ingin menggunakan tenaga dan kemampuannya tetapi tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri. Maka, segala tindak-tanduk yang hanyamementingkan diri sendiri ditekan tidak dibiarkan berkembang; dengan demikian perampok, pencuri, pengacau dan penghianat akan menghentikan perbuatannya; maka pintu gerbang luarpun tidak perlu ditutup. Demikianlah yang dinamai Kebersamaan (Kehermonisan) Agung.”
Sebuah cita-cita riil, bukan sesuatu yang beyond the world. Kaum Ru-jia yang mempelajari ajaran Ru sebagai ilmu, Ru-xue dan kaum Ru-jia yang MENGHAYATI ajaran Ru sebagai agama, Ru-jiao, sama-sama berjuang merealisir cita-cita itu sepanjang masa. Perjuangan itu ada yang melalui jalur perpolitikan (kenegaraan), ada yang melalu jalur perekonomian, ada yang melalui jalur pendidikan, ada yangmelalui jalur kesenian, ada yang melalui jalur kesehatan / pengobatan, bahkan ada ada yang melalui jalur kemiliteran. Melalu jalur apapun, semua memiliki etika yang sama, ditegakan atas dasar Ren dan Yi, Cinta-kasih dan Kebenaran.
Perpolitikan tidak lepas dari sistem kepemimpinan. Semenjak zaman dahulu,bangsa Tionghua selalu berguru kepada alam. Unit-unit kehidupan dialam-semestaselalu dipimpin oleh sepasang pengasuh, Ayah dan Ibu. Demikianpun sebuah negara, selalu dipimpin oleh seorang “ayah” sebagai raja atau presiden dan seorang “ibu”sebagai perdana menteri. Seluruh keluarga yang dipimpin oleh ayah dan ibu itu semua mengikuti jalur moral, “De” yang bernama Ren dan Yi. Selain itu, hal-hal yang menyangkut kebendaan atau yang bukan moral, diatur oleh sebuah “Fa” atau Hukum. Sebuah rumah tangga yang harmonis tidak mengenal apa itu “Oposisi”.
Pada zaman dahulu, agar ketertiban berlangsung langgeng, penggantian kekuasaan diatur melalui pewarisan tahta, sedang tahta kerajaan dijaga atau diimbangi oleh “San kong Liu-qing” Tiga rajamuda dan enam menteri besar beserta kerabat kerajaan yang setia kepada raja. Pemerintahan Tiongkok kuno versi ini telahberlangsung ribuah tahun dan menciptakan peradaban dunia yang sangat berhasil. Sistem ini ditunjang oleh sebuah konsep kerohanian yang disebut “Jun-quan-shen-shou, yi-de-zhi-guo”, artinya Kekuasaan raja adalah karunia Tuhan, dengan Kebajikan mengatur negara. (Semula, Bangsa Jepang juga menganut hal yang sama, tetapi kemudian dirubah dengan membuang bagian keduanya. Kekuasaan raja menjadi mutlak dan Jepang menuju militerisme yang sangat berbahaya !)
Bagaimana dengan Zhongguo Gong-chan-dang ?
Selama ribuan tahun sistem kepemimpinan Tiongkok tidak berubah, sebab sistem perekonomian agraris tidak berubah. Kerajaan silih berganti, yang berganti hanya marganya, bukan essensinya. Tetapi, ketenangan yang setabil ini terkoyak hebat pada tahun 1840 terjadinya perang candu, tatkala armada laut Inggris menghajar “Kerajaan langit” dengan “alat perang panasnya” (relativ dengan alat perang dingin berupa pedang dan tombak) dirasa kurang effektiv, lalu ditambahlah dengan candu untuk membius bangsa Tionghua dan Tiongkok kalah !
Kekalahan ituberlarut-larut terus dan para tokoh Ru (KongMeng) tidak mampu memberi solusi yang memadai, kalau pun ada tidak kuasa menghadapi kaum konservatif yang masih sangat kuat posisinya. Ahkirnya, angkatan muda dan terpelajar Tiongkok meragukan keabsahan konsep Ru dalam menghadapi tantangan zaman. Mereka menoleh ke Barat yang dianggap lebih unggul. Kaum intelek Tiongkok ini terpecah menjadi dua, satu berorientasi Barat liberalis, yang satu berorientasi Barat sosialis. Barat liberalis diwakili oleh Guo-min-dang dan Barat sosialis diwakili oleh Gong-chan-dang. Keduanya lalu perang dan yang Gong-chan-dang menang.
Mengapa Gong-chan-dang menang ? Sebab, secara budaya, bangsa Tiongkok menentang penjajahan. Budaya liberalis yang berkembang menjadi imperialis itu adalah tidak bermoral dalam pandangan budaya Tionghua (demikian juga budaya Indonesia !), yaitu melakukan penjajahan dalam mengakumulasi kapitalisnya.
Sedang negara Sosilis pertama, Uni Sovyet tanpa menjajah ternyata mampu juga memperkuat dirinya melalui ekonomi berencana dan menjadi negara kuat yang mampu mengimbangi Amerika. Saat itu, sosilisme identik dengan ekonomi berencana.
Tetapi, perkembangan selanjutnya usai perang dunia kedua, sekitar awal tahun enam puluh abad 20, Mao Ce Tung dengan jeli melihat (inilah kehebatan Mao !), sistem yang dianut Uni-sovyet bermasalah ! Sosilaisme luntur menjadi Kapitalisme Negara ! Kehidupan rakyat Rusia tidak mengalami kemajuan ! Karena takut “luntur”, Mao menggerakkan revolusi kebudayaan untuk mengatasi kekhawatiran akan
“luntur” seperti Rusia. Suatu eksperimen yang gagal !
Muncullah Deng Xiao Ping. Semua dikembalikan pada relnya yang “Zhong-yong”. Tiongkok mulai “terbang” kembali dengan semangatnya yang sangat tinggi. Sistem kepemimpinan Tiongkok saat ini dipimpin oleh seorang “ayah” yang mengendalikan politik, militer dan paratai — presiden. Negara dipimpin oleh seorang “ibu” perdana menteri. Kesetabilan kepemimpinan kalau dulu hanya didukung oleh kerabat raja dan menteri-menterinya, sekarang didukung oleh anggota partai yang berkuasa — Gon-chan-dang yang kokon jumlahnya lebih dari enampuluh juta.
Selama Gong-chan-dang berpegang teguh dengan moral Ren-Yi, tidak terjadi pembusukan internal, dalam jangka panjang Tiongkok tidak butuh sistem oposisi untuk mengimbangi kekuasaan. Budaya perpolitikan versi ini, Barat sulit memahami, sebab, bukankah manusia itu asalnya jahat ? Mana mungkin sebatas kontrol moral internal bisa mengatasi pembusukan? Rupanya Gong-chan-dang pun sudah sadar, hanya kontrol moral internal, tidak cukup mengatasi masalah-masalah yang semakin rumit. Maka Tiongkokpun dengan konsisten terus membuat undang-undang pengaturan yang tegas tetapi Bijaksana. Dengan kepemimpinan sentralistik yang kuat, didukung oleh enampuluh juta anggota paratai berdisiplin keras dan bermoral Ren-Yi, Tiongkok menunjukkan sistem kepemimpinan yang berbeda dengan DEMOKRASI versi Barat.
(Indarto Tan)
Tautan Internal :