Budaya-Tionghoa.Net | Jauh sebelum pemerintahan Orde Baru, istilah Cina, Tenglang, dan Tionghoa sudah lajim digunakan masyarakat keturunan Cina yang tinggal di kota-kota kecil dan desa-desa yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Malah istilah Tionghoa relatif lebih jarang digunakan daripada istilah Cina dan Tenglang.
Ketika pemerintahan Orde Baru menghapus istilah Tionghoa dan menggunakan istilah Cina sebagai sebutan resmi, orang-orang keturunan Cina di daerah tidak terlalu memperdulikannya. Bagi mereka keputusan tersebut tidak memberikan pengaruh apapun. Kalau kita menggunakan tolok ukur demokrasi, jelas suara Cina Peranakan yang tinggal di daerah dan sebagian yang tinggal di kota besar, juga perlu diberi hak yang sama. Mereka merupakan mayoritas komunitas keturunan Cina di Indonesia.
Pandangan yang sebaliknya muncul dari sebagian Tionghoa Indonesia yang tinggal di kota-kota besar, terutama mereka yang “mengerti politik”. Mereka mempunyai berbagai macam argumentasi untuk mendukung, bahwa penggunaan istilah Cina adalah penghinaan. Argumentasi bahwa Cina adalah lafal Indonesia untuk China dalam bahasa Inggris tidak dapat diterima oleh mereka.
Sebagian dari mereka malah menganggap bahwa orang yang menggunakan istilah Cina adalah “biadab”. Padahal dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian “biadab” merujuk pada arti yang lain. Yang aneh ada sebagian orang yang tidak mau menggunakn istilah Cina, tapi mau menggunakan istilah “China”, dan dibaca “cai-ne” mengikuti ucapan dalam bahasa Inggris.
Kalau argumentasi ini diterima, logikanya ucapan beberapa kata Indonesia yang berasal dari bahasa Inggris harus dirubah lafalnya. Final harus dibaca “fai-nel”, logis harus dikembalikan menjadi logic dan dibaca “lo-jik”, orang Indonesia harus diganti jadi Indonesian dan dibaca “in-do-ne-sien”, dsb. Singkatnya harus merubah aturan Tata Bahasa Indonesia.
Era Reformasi merupakan kesempatan emas bagi sebagian Tionghoa Indonesia yang mengerti politik untuk tampil menjadi “tokoh”. Dan seorang tokoh perlu “musuh bersama” untuk menghimpun massa. Bung Karno menggunakan kolonialisme, imperalisme, revolusi, dsb sebagai icon “musuh bersama”. Pak Harto menggunakan “komunisme” sebagai icon “musuh bersama”, dan Parpol serta Capres sekarang menggunakan KKN, problem ekonomi, masalah hukum, dll, sebagai icon “musuh bersama”.
Oleh karena itu percuma saja memperdebatkan istilah Cina vs Tionghoa. Biarkanlah waktu yang menyelesaikannya, istilah mana akhirnya yang diterima secara umum.
Sekian
John Towell , 3333
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Catatan Admin :
- Diskusi ini mengandung pro dan kontra maka dipersilahkan mengikuti ARTIKEL TERKAIT dalam website ini , sekitar masalah istilah Tionghoa , Cina , Tenglang dan sebagainya.
- Judul adalah atas inisiatif admin dan mungkin berbeda dengan judul thread dalam mailing list (format aslinya)