Budaya-Tionghoa.Net | Berbicara mengenai Mao, ia memang seorang tokoh besar revolusi bagi China pada masanya. Ia punya pengaruh besar terhadap perubahan di China. Namun objektif saja, kita juga harus melihat-lihat “dosa-dosa”-nya dalam pemerintahannya penuh pergolakan itu. Di lain pihak, Chiang Kai-shek juga tak dapat ditempatkan lebih tinggi dari Mao. Namun tulisan kali ini cuma akan membahas Mao dulu. Di sini saya cuma berbicara mengenai sejarah dan politik dulu, karena sebenarnya masih banyak yang bisa dibahas dari seorang Mao misalnya di bidang sastra, pemikiran dan biografi kehidupannya.
Di antara dosa-dosanya, bagi saya ia punya dua dosa yang meninggalkan luka cukup dalam di sejarah mutakhir Tiongkok.
Yang pertama adalah Lompatan Jauh ke Depan atau “Da Yau Jin” tahun 1958, lambang ambisi Mao yang terbukti gagal, jutaan rakyat mati sia2 karena kelaparan, kesengsaraan mendera rakyat. Mao sengan semboyan “Sehari sama dengan 20 tahun”, “Melampaui Inggris dan mengejar Amerika” mengeluarkan gagasan “Gerakan Nasional Menempa Besi”. Seluruh rakyat dikerahkan untuk berkarya di bidang tersebut. Akibatnya, produksi rakyat terganggu, otomatis tidak ada produksi lain selain besi. Malah petani sampai tidak memanen hasil pertaniannya. Hasil produksi pertanian digelembungkan seakan-akan gerakan produksi tadi berhasil, padahal sebenarnya jutaan rakyat mati kelaparan di luar sana.
Lalu, ia menghancurkan ikatan “Jia = keluarga” yang memiliki arti sangat penting di dalam kebudayaan dan masyarakat Tiongkok. Banyak keluarga disatukan menjadi satu kumpulan sosial dan ditempatkan dalam rumah-rumah besar yang menyebabkan batas-batas dalam keluarga sama sekali lenyap. Ini jelas mengacaukan ikatan sosial yang kemudian dilanjutkannya dengan kultus individu dalam revolusi kebudayaan dengan semboyan, “Sedekat apapun ikatan dengan orang tua, tidaklah lebih dekat dari ikatan dengan Ketua Mao”.
Revolusi Kebudayaan “Wen Hua Da Ge Ming” tahun 1966~1976, sebenarnya merupakan alasan dari Mao dan 4 serangkai (Shi Ren Bang) untuk menyingkirkan semua lawan politik mereka. Massa digerakkan sebagai alat politik untuk tujuan tersebut dengan hasutan2 dan penciptaan opini yang di masa depan terbukti salah. Di antaranya bahkan ada tokoh yang bersama2 dengan Mao berjuang mendirikan republik seperti Liu Shao-qi, Peng De-huai dan Chen Yi. Selain itu banyak dosen-dosen universitas, sastrawan, ilmuwan dan kaum cendekiawan dikritik, dipermalukan ataupun dihukum mati oleh massa tanpa pengadilan. Lin Biao yang merupakan tangan kanan Mao dalam menghabisi lawan2 politiknya akhirnya juga tewas mengenaskan dalam kecelakaan pesawat sewaktu lari ke Sovyet(?) setelah berani berseberangan dengan Mao.
Ia juga mengkritik pendidikan tidaklah berguna bagi masa depan bangsa, tiap orang kemudian boleh tamat SMU pada umur 15 tahun dan langsung bekerja di dalam badan sosial ataupun masuk menjadi tentara merah. Ia mengkritik Konfucius sebagai seorang yang cuma mengerti bagaimana memimpin upacara kematian, seorang kutu buku yang melarang siswa2nya bekerja dan menjadi buruh. Konfucius juga tidak pernah mengecap pendidikan menengah atau universitas. Untuk ini, ia mengurangi 1/2 pelajaran pelajar di sekolah dan sisa waktu harus digunakan untuk bekerja bakti. Buat saya pribadi, ini jelas pembodohan massa
Ia juga menyatakan kritiknya kepada semua budaya dan tradisi kerakyatan sebagai fenomena “dipengaruhi dan di bawah bayang2 orang mati”. Menurut saya, modernisasi bukan begitu caranya, ini jelas cara2 untuk melestarikan kekuasaannya semata. Objektif saja, saya lebih simpati terhadap modernisasi Jepang dengan Restorasi Meiji-nya .
Selain di bidang pendidikan, pada masa itu, setiap hari orang bicara revolusi dan revolusi. Otomatis produksi (industri) terhenti sama sekali dan tidak ada kemajuan dalam sains dan pendidikan. Sebenarnya, banyak rakyat yang tidak mengerti arti dan makna dari revolusi kebudayaan bagi kehidupan mereka. Banyak semboyan2 Mao yang juga tidak mereka mengerti. Revolusi kebudayaan di satu pihak adalah revolusi yang gagal dan menyebabkan kemerosotan bagi kebudayaan Tiongkok, namun banyak yang menilai revolusi kebudayaan tadi juga memberikan nilai positif bagi masyarakat Tiongkok.
Terlepas dari dosa-dosanya itu, saya harus mengakui Mao memang orang besar dalam sejarah Tiongkok, ia mengembalikan euforia nasionalisme rakyat Tiongkok yang merindukan harga diri, ketenangan dan kemakmuran setelah kekacauan bertahun2 akibat penjajahan parsial oleh Barat, perang antar raja perang, pemerintahan korup Kuomintang dan perang saudara Komunis-Nasionalis. Namun sayangnya, setelah berhasil dalam revolusi pertama yang didukung rakyat, ia nampaknya terbuai dalam kekuasaannya sebagai Kaisar baru dari Republik yang didirikan bersama teman2 seperjuangannya. Terus terang saja, saya lebih tertarik dengan seorang Perdana Menteri Zhou En-lai dan pejabat Presiden Liu Shao-qi dalam masa pemerintahan Mao.
Rinto Jiang