Budaya-Tionghoa.Net | Walaupun Amerika sudah disibukkan dengan terorisme internasional, bukan berarti Tiongkok berhenti atau beristirahat untuk menjadi kandidat raksasa dunia, pesaing sang adidaya itu. Setidaknya ada empat hal yang perlu dicatat mengenai Tiongkok sehubungan dengan potensinya sebagai calon negeri adidaya.
|
Pertama, RRT adalah negeri berpenduduk paling banyak di dunia. Hampir seperlima dari penduduk bumi yang jumlahnya kira-kira enam milyar jiwa ini bertempat tinggal di negeri panda itu.
Catatan yang kedua, selain Russia , Kanada dan Amerika Serikat maka Republik Rakyat Tiongkok adalah negeri yang luas wilayahnya di muka bumi ini. Lebih dari itu, sebagian wilayah yang luas itu berupa daratan. Tidak seperti Indonesia yang berpulau-pulau misalnya. Jumlah penduduk dan luas wilayah tersebut merupakan dua predikat objektif superior yang sulit ditandingi.
Ketiga, sebagai kumpulan bangsa (etnik), Tiongkok adalah komunitas etnik yang paling luas persebarannya di muka bumi ini. Etnik Tionghoa dikenali hampir di semua negara di lima benua, bahkan sebagian di antara mereka yang tersebar di luar negeri mereka itu umumnya adalah kelompok yang secara ekonomi sangat unggul. China Town atau Pecinan adalah istilah popular yang biasanya juga dianggap sebagai pusat perdagangan dan perekonomian.
Catatan yang keempat, bahwa RRT merupakan negeri komunis yang terbesar yang masih bertahan dengan sosialisme, maoisme- leninisme, pada era pasca Perang Dingin ini, walaupun belakangan menggabungkan dua sistem ekonomi yang kemudian dikenal dengan One Country Two System (Satu Negara Dua Sistim). Satu kenyataan yang secara ideologi merupakan hal yang mustahil.
Kalau mau ditambah dengan beberapa catatan kecil, kita bisa memasukkan potensi industri mereka yang tak kalah canggih dengan Jepang. Teknologi nuklir maupun rekayasa antariksa mereka tergolong bukan lagi yang kacangan. Belum lagi ongkos buruh mereka yang relatif murah, sehingga sangat kompetitif dibandingkan dengan produk serupa dari negeri lain.
Semua hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Tiongkok (RRT) benar-benar merupakan kekuatan besar yang cepat atau lambat akan menjadi saingan Utama AS, dan boleh jadi akan mendominasi kehidupan bangsa kita juga. Di satu sisi, potensi serupa itu dapat muncul sebagai ancaman. Kita pun pernah mengalaminya pada saat peristiwa G- 30-S. Ketika itu komunisme RRT lebih tinggi derajatnya daripada pemerintahan Tiongkok, sehingga kedutaan besar Tiongkok di seluruh dunia berubah menjadi kantor cabang Komite Sentral PKT. Karena kasus itulah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan RRT.
Sedangkan di sisi lain, terutama pada sektor industri wisata, RRT dianggap sebagai peluang pasar yang sangat besar. Para pakar turisme mencatat bahwa di tahun 2002 diperkirakan ada sejumlah 10 juta wisatawan Tiongkok akan menyerbu Asia Tenggara sampai dengan Australia dan Selandia Baru. Mereka diharapkan akan membelanjakan kurang lebih 18 miliar dolar Amerika. Karena itu, ada baiknya kita berdiskusi mengenai : faktor- faktor apa yang mendorong potensi Tiongkok sebagai kekuatan besar?
Banjir Sungai Kuning
Menjawab pertanyaan yang pertama dapat dimulai dari cerita tentang “Banjir Sungai Kuning” atau Yellow River Flow yang menggambarkan ancaman persebaran etnik Tionghoa ke pelbagai penjuru dunia. Sungai Huang He yang berarti sungai kuning, melambangkan orang Tiongkok yang kebetulan berkulit kuning, yang karena padatnya jumlah penduduk mereka berusaha beremigrasi ke luar negeri. Akan tetapi karena ketatnya politik komunis, gelombang migrasi ini kebanyakan dilakukan secara gelap / illegal. Oleh karena itu, “Yellow River Flow¡” kadang-kadang juga diartikan sebagai “Silent River Flow”.
Suatu gambaran tentang tekanan ekonomi politik dalam negeri Tiongkok yang mendorong warganya pindah ke negeri orang. Disamping karena kepadatan populasi, setidaknya ada dua faktor lagi yang memungkinkan etnik Tionghoa berpotensi menjadi kekuatan besar.
Faktor yang kedua adalah latar-belakang Konfusianisme, yang tidak seperti agama-agama wahyu dari Timur Tengah, Konfusianisme merupakan agama yang amat solider, terbuka, tidak bersifat misionaristik sekaligus menghormati leluhur mereka, sehingga walaupun mereka tersebar di mana-mana mereka masih selalu mengingat tanah leluhur mereka.
Sisi keterbukaan Konfusianisme ini menumbuhkan faktor ketiga, yakni kekuatan akulturasi mereka terhadap nilai-nilai sosial budaya politik di tanah mereka berada. Walaupun banyak kasus kerusuhan anti Tionghoa di pelbagai negeri non Tiongkok, tetapi pada umumnya etnik Tionghoa lebih diterima daripada Jepang misalnya. Kedatangan orang Tionghoa ke negeri lain pada umumnya bukan untuk menjajah secara politik. Sedangkan Jepang memiliki sejarah buruk pada saat pra Perang Dunia II, sehingga pemerintah Jepang hingga sepuluh tahun belakangan ini merasa perlu untuk melakukan “Politik Minta Maaf” kepada masyarakat Asia Tenggara khususnya, dengan harapan agar produk mereka memperoleh pasar lebih baik daripada produk buatan Tiongkok atau Taiwan atau Korea Selatan.
Kekuatan akulturasi tersebut dibuktikan di Singapura dengan kepemimpinan pemerintahan dan perekonomian negeri kecil yang kaya dan terhormat itu. Di Indonesia sempat mencatat rekor, bahwa delapan dari sembilan orang Wali (Wali Songo) pendakwah agama Islam di Jawa yang terkenal itu ternyata keturunan Tionghoa. Suatu bukti akulturasi yang mestinya dapat mengurangi gelombang kerusuhan anti Tionghoa.
Tekanan populasi dan latar belakang budaya yang akulturatif mendorong etnik Tionghoa menyebar ke segenap penjuru dunia dengan berbagai keunggulannya, yang kemudian menghasilkan sejumlah catatan mengenai Tiongkok menjadi sangat signifikan. Catatan pertama, bahwa bahasa Mandarin menjadi bahasa Internasional kedua setelah bahasa Inggris. Bahasa “Kungfu” itu dipergunakan oleh setidaknya sepertiga penduduk dunia. Suatu fakta wajar tetapi sulit dipahami mengapa hal itu terjadi.
Perubahan politik Internasional dari Perang Dingin ke era sesudahnya ternyata sudah diantisipasi jauh-jauh hari oleh Deng Xiaoping dan penerusnya, yaitu melalui program modernisasi, keterbukaan dan politik satu negara dua sistim, yang kemudian menghasilkan sejumlah sukses. Sampai tahun 1970, rakyat Tiongkok terkurung oleh revolusi kebudayaannya Mao Zedong. Baru kira-kira tahun 1979, karena keberhasilan politik terbuka Deng Xiaoping, beberapa eksekutif boleh bepergian ke luar negeri. Pada tahun 1993 sampai dengan 1999, terutama dengan kembalinya Hongkong dan Makao, sistim ekonomi ganda menghasilkan tingkat pendapatan penduduk wilayah tenggara negeri itu meningkat dua kali lipat.
Menurut catatan World Tourism Organization (WTO), walaupun sekarang ini masih didominasi wisata kelompok (tour), tetapi daya shopping orang Tiongkok tak begitu beda daripada orang Amerika yang dikenal sebagai The Big Spender itu. Wisatawan Tiongkok rata-rata belanja per hari hingga USD 625, sementara bule Amerika shopping sampai USD 680 per harinya.
Jika perkembangan serupa itu berlangsung terus sampai dengan tahun 2020, WTO memperkirakan boleh jadi wisatawan Tiongkok Daratan akan menyetor 100 juta orang per tahun kepada dinamika pariwisata dunia. Satu perkiraan yang sulit dibayangkan, tetapi juga sulit untuk diabaikan.
Sisi Baik Sisi Buruk
Seperti yang pernah ditulis oleh Alvin Toffler dalam Gelombang Ketiga, bahwa modernitas atau kemajuan justru akan menghasilkan paradoks global, suatu keadaan yang saling berkebalikan dalam skala dunia. Dalam buku itu disampaikan bahwa karena kemajuan teknologi, suatu perusahaan yang berkembang dalam skala dunia justru dikendalikan oleh hanya oleh sedikit orang. Kalau ada perkembangan yang dianggap banyak manfaatnya, biasanya terselip banyak mudharat juga.
Untuk menghadapi dilema Tiongkok tersebut sebaiknya kita berlaku proporsional. Dalam hal-hal yang baik kita anggap saja sebagai harapan dan peluang, sedangkan untuk yang buruk anggap saja sebagai ancaman atau tantangan. Sebagai contoh, mengenai komunisme Tiongkok misalnya, sebaiknya kita anggap saja sebagai sesuatu yang baik, karena kalau mereka berubah menjadi liberal, kapitalis atau individualis semua, maka dunia ini akan ditelan mereka dalam sekejap. Artinya, komunisme Tiongkok perlu dianggap sebagai kekuatan yang positif yang dapat menghambat persebaran etnik Tionghoa yang memang sudah sangat bombastis itu.
Mengenai gelombang wisatawan Tiongkok, harus pula digaris-bawahi bahwa angka-angka di atas tidak seluruhnya merupakan wisatawan yang “baik-baik” saja. Di antara sekian banyak yang dikutip di atas ada kira-kira 1500 orang pekerja seks komersial (PSK) per hari yang masuk ke Hongkong, Taiwan, Thailand atau Jepang dengan visa turis.
Kurang lebih angka yang sama untuk para kriminal atau imigran gelap. Orang-orang ini sering menimbulkan sederetan kejahatan, terutama di Jepang dan Hongkong, atau malah menjadi objek pemerasan gangster setempat. Di Taiwan bahkan menyatakan perang terhadap wisatawan “jadi-jadian” model ini. Yang paling dikhawatirkan dari orang-orang ini adalah kalau mereka berubah menjadi imigran gelap, atau setidaknya bekerja tanpa ijin yang berarti menyedot devisa, bukannya menyetor pendapatan.
Masalah yang paling utama adalah bagaimana menyetop arus prostitusi, kriminal atau imigran gelap dari Tiongkok itu tanpa harus mengganggu membanjirnya wisatawan Tiongkok yang betul-betul ingin belanja ke luar negeri. 10 juta orang tahun 2001 atau 100 juta orang tahun 2020 hanya merupakan kurang dari 8% jumlah penduduk mereka yang 1,4 miliar jiwa. Mudah-mudahan jumlah persentase yang sedikit itu benar- benar orang yang menguntungkan kita, sedangkan sisanya yang lebih banyak biarlah diurusi oleh komunisme nenek moyang mereka. Kalau kita boleh memilih, lebih baik mendapatkan produk mereka yang murah tanpa harus menampung limpahan migrasi mereka. Kalau bisa!
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
Catatan :
- Artikel diatas dikutip dari makalah yang ditulis oleh DR. H. Tulus Warsito, M. Si (Kepala Sinologi Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta / UMY) dan dipresentasikan Beliau sebagai salah satu pembicara dalam Seminar Nasional Sinologi dengan tema : ¡§Kebudayaan Tionghoa, Pemahaman Lintas Budaya dan Upaya Memperkokoh KesatuanNasional dan Kebudayaan Indonesia sebagai Masyarakat Multi Kultural¡¨ pada tanggal 3-4 Maret 2006 yang diselenggarakan di UMM Dome oleh Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Acara seminar juga sempat dihadiri oleh Sekretaris Ke-2 Bidang Politik Kedubes Tiongkok di Indonesia Yin Haihong yang juga membawakan makalah dalam bahasa Inggris berjudul “The Relationship Between China And Indonesia”.
- Artikel dan catatan (1) dikirim ke Mailing-List Budaya Tionghua oleh Xiaolongni , Arsip no 17709 , 4 Maret 2006