Budaya-Tionghoa.Net | Berapa harga celana? Bergaul dengan petani ternyata cukup menyenangkan. Banyak kejutan. Misalnya, dugaan semula bahwa orang Cina menikah pada akhir usia 20-an demi program keluarga berencana, ternyata salah. Mereka terkejut ketika tahu saya masih lajang pada usia 27. Malang bagi teman saya Rose, karenatunangannya yang ditinggal di Inggris berumur 37 tahun. “Bagaimana mungkin kamu mencintai laki-laki setua itu?” tanya petani di komunitas rakyat Sijiqing.
|
Hampir setiap saat kami membicarakan harga. Mereka bertanya berapa harga celana, berapa harga televisi, dan ketika saya jawab angkanya dalam hitungan yuan, mereka berseru sambil menahan napas. Ketika saya katakan harga rumah di Inggris jika dihitung dalam yuan, mereka berteriak.
Rupanya, keingintahuan orang Cina soal harga tidak hanya pada waktu itu. Dalam kisah pengalaman seorang dokter Spanyol yang menyertai diplomat Inggris di masa awal pembangunan gedung Kedubes Inggris di Beijing, tahun 1866, juga diceritakan, para tukang setempat banyak bertanya tentang harga celana.
Permohonan membeli sepeda
Institut Bahasa terletak di pinggiran Beijing. Jarak antartempat di kampus juga cukup jauh. Sehingga saya dan beberapa teman memutuskan untuk membeli sepeda.
Setiap hari jutaan sepeda berlalu-lalang di kota, namun hampir tak ada sepeda baru. Kebanyakan sepeda laki-laki dengan palang melintang, warnanya pun hitam. Rupanya, itu akibat prosedur yang cukup berbelit untuk memiliki sepeda, selain memang mahal harganya.
Sebuah keluarga, misalnya, bisa menabung sepanjang satu tahun untuk membeli sepeda. Ketika uang sudah terkumpul, ternyata mereka hanya bisa mendaftar untuk beli satu.
Sepeda dikenai pajak tahunan. Ada pelat nomor yang dipasang pada penahan lumpur di ujung spatbor belakang. Jika nomor ini tak ada ketika diperiksa polisi, pengendara didenda 20 yuan (sepertiga gaji rata-rata pekerja di Cina). Denda yang sama diterapkan bagi setiap pelanggaran. Misalnya, bersepeda sambil membawa payung terbuka, memboncengkan orang, dsb.
Orang asing hanya bisa membeli sepeda di Friendship Store. Saya memilih sepeda perempuan tanpa palang yang ternyata malah merepotkan karena kelewat ringan. Perjalanan 9 km dari toko ke kampus harus saya tempuh dengan jumlah kayuhan berlipat kali dibandingkan dengan teman yang membeli sepeda laki-laki.
Sesampai di asrama, kami masih dihadapkan pada keruwetan untuk memperoleh pelat nomor. Pertama, kami harus memiliki kartu mahasiswa. Bentuknya seperti dompet plastik berisi foto pemilik, dilengkapi beberapa cap dan tanda tangan para administrator. Masalahnya, saat itu belum ada jasa foto kilat di Beijing. Kami harus pergi ke studio foto Wudaokou, difoto, kemudian menunggu seminggu sampai foto jadi.
Di pusat kota, lalu lintas padat oleh sepeda yang berbaur dengan bus dan lori. Serunya, semua bersaingan membunyikan bel dan klakson. Saking ributnya, bel jadi kehilangan makna. Tertabrak atau terserempet adalah hal biasa.
Di masa Revolusi Kebudayaan lampu tidaklah penting. Maka bersepeda di malam hari menjadi kesulitan tersendiri. Apalagi di atas pukul 21.00, saat lampu lalu-lintas tidak berfungsi karena petugasnya pulang.
Di tempat parkir yang bertarif seragam dua yuan, penjaga yang kebanyakan perempuan memberikan sepotong karton bernomor yang digapit bambu, sementara potongan lain dengan nomor yang sama diikatkan di setang.
Tak Ada Pembalut
Menjelang musim dingin, pembimbing asrama membagikan kupon untuk ditukarkan mantel. Walau sebelumnya telah siap menghadapi cuaca dingin, saya tetap kaget dengan suhu yang sesekali -5oC. Mengikuti cara berpakaian orang Cina di musim dingin, sampai enam lapis baju, memang perlu.
Para penduduk juga memperoleh kupon, tapi untuk ditukarkan dengan gandum, minyak, telur, kain, dan komoditas lain yang di musim dingin pasokannya berkurang. Kupon hanya berlaku lokal. Jika akan pergi jauh, orang harus meminta kupon yang berlaku secara nasional. Kalau tidak, ya,
membawa bekal sendiri.
Di toko, pada awal bulan roti yang tersedia berwarna putih, yang disebut mantou. Pada akhir bulan, ketika tepung putih makin langka, yang dijual
roti warna coklat.
Tapi makanan bukan masalah, yang memprihatinkan adalah kebersihan. Ya, bagi perempuan asing, satu tahun tinggal di Cina saat itu adalah perjuangan. Pembersih paling sederhana, misalnya handuk untuk sanitari, tidak ada. Apalagi pembalut kala menstruasi. Perempuan Cina mengatasinya
dengan cara primitif yakni membuat sendiri pembalut dari kertas WC, robekan kain, atau koran bekas.
Di kelompok kami, para perempuan telah siap dengan pil penunda menstruasi. Tapi saya hanya bisa melakukannya sekali pada bulan pertama, itu pun setelah berkonsultasi lewat surat dengan ibu saya. Selebihnya, untuk sebelas bulan sisa masa tinggal di Cina, di kamar tidur saya menumpuk stok pembalut.
Catatan Rinto : Ini artikel lama yang pernah saya forward ke milis tahun lalu. Tentara Merah di sini adalah Pengawal Merah (Red Guards) bukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Satu sudut pandang Revolusi Kebudayaan dari seorang mahasiswi Barat di Tiongkok. Semoga dapat mencerahkan.
Catatan Admin : Tulisan ini dipecah menjadi beberapa bagian dengan Judul yang sama
Budaya-Tionghoa.Net | [Bagian 1] [Bagian 2] [Bagian 3] [Bagian 4 ] [Bagian 5]