Budaya-Tionghoa.Net | Tempat kuliah saya berada di sebuah bangunan abu-abu. Di depan terdapat patung Mao Zedong sebesar dua kali ukuran manusia. Sangat gagah dalam mantel khasnya, mengacungkan satu tangan ke depan. Itu memang pose standar Ketua. Tapi karena di seberang jalan terdapat Institute for Petroleum Studies dengan patung Mao yang sama besar dan sama posenya, jadinya kedua patung itu terkesan saling menghormat.
|
Kami diajar dua orang guru, Hu Laoshi (Guru Hu) dan Tian Laoshi. Hu lebih tua, santun, dan tenang, sedangkan Tian lebih muda namun berwibawa. Yang menyamakan keduanya adalah pakaian khas setelan abu-abu kedodoran.
Setiap hari, kecuali Minggu, kami belajar bahasa mulai pukul 08.00 – 12.00, diselingi istirahat 20 menit. Pukul 10.00 selama delapan menit seluruh penghuni kampus bersenam diiringi musik. Lompat-lompat, membungkuk sampai jari tangan menyentuh jempol kaki, dsb. Tak ada minum kecuali di kantin.
Selasa sore kami melakukan laodong atau “pekerjaan tangan”. Bagi pelajar dan kaum intelektual Cina, kerja tangan paling membanggakan adalah mencangkul. Namun di Institut hal itu tidak diwajibkan, mungkin dianggap kelewat keras sehingga bisa menimbulkan protes di tingkat pejabat pemerintahan. Tapi beberapa mahasiswa Kanada yang getol mendalami Marxisme dan Leninisme tetap semangat mencangkul di sawah.
Kami juga ditugasi memecah batu bata untuk campuran semen. Heran, batu bata di Cina sangat rapuh. Saya jadi takut menyandarkan badan di tembok.
Kami juga diberi tugas membersihkan rumput. Bagi orang Cina masa itu, rumput adalah sarang nyamuk dan serangga lain, makhluk yang pada 1958 diperintahkan Mao untuk dibasmi. Ketika saya katakan, habitat nyamuk adalah genangan air dan bukan rumput, para pembimbing tidak mau tahu. Pantas, di banyak tempat yang saya kunjungi tidak banyak warna hijau.
Setiap Rabu sore kami wajib mengikuti pelajaran olahraga. Lari keliling lapangan, anggar menggunakan bambu, juga melakukan taijijian, versi lain dari taijiquan yang artinya pukulan pedang. Kami juga melakukan tolak peluru. Malah ada mahasiswi Spanyol yang kakinya kejatuhan peluru besi bulat.
Hanya sedikit mahasiswa yang bersemangat ikut. Kebanyakan ogah-ogahan. Padahal para instruktur tetap semangat mengulang-ulang seruan Ketua Mao, “Kembangkan kekuatan fisikmu agar mampu membela Tanah Air!”
Ada juga latihan lempar granat. Yang kami genggam adalah granat kuno yang sudah tak bisa meledak, tidak ada pen pencabutnya. Tapi kami harus melakukannya penuh semangat, pura-pura menggigit pen kemudian melemparkannya. Kegiatan itu jelas tidak diketahui pihak British Council. Saya berpikir, apa kata masyarakat Inggris jika tahu uang pajak mereka dipakai untuk membiayai mahasiswanya mengikuti kegiatan yang
mirip latihan gerilya di Cina?
Jumat sore kami belajar bahasa dan analisis aneka peristiwa yang biasa dimuat harian People’s Daily.
Waktu terus berjalan. Hingga pada akhir minggu ketiga yang menjemukan, kami harus melakukan kaimen banxue atau “sekolah di luar ruangan”. Kami dikirim ke kawasan pertanian.
Para petani bekerja di ladang-ladang negara, menggarap tanaman kubis, bawang, gandum dan padi, juga buah-buahan. Semua hasil disetorkan kepada pemerintah melalui unit kerja desa, sementara keluarga petani tinggal memiliki sedikit lahan untuk ditanami sayuran. Setiap hasil panen yang disetor, yang mestinya dibayar tunai oleh pemerintah, pada praktiknya sering diganti dengan minyak, telur, gandum, atau kayu bakar.
Catatan Rinto : Ini artikel lama yang pernah saya forward ke milis tahun lalu. Tentara Merah di sini adalah Pengawal Merah (Red Guards) bukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Satu sudut pandang Revolusi Kebudayaan dari seorang mahasiswi Barat di Tiongkok. Semoga dapat mencerahkan.
Catatan Admin : Tulisan ini dipecah menjadi beberapa bagian dengan Judul yang sama
Budaya-Tionghoa.Net | [Bagian 1] [Bagian 2] [Bagian 3] [Bagian 4 ] [Bagian 5]