Budaya-Tionghoa.Net | Upacara Chio Thau adalah upacara pernikahan tradisional Peranakan lengkap dengan segala pernak-pernik upacara yang menyertainya. Disebut Chio Thau 上頭―artinya ‘mendandani rambut/kepala’ (to dress the hair), bukan ‘naik ke kepala’―karena, dalam bagian terpenting upacara ini, di atas sebuah tetampah besar warna merah terlukis yin-yang 陰陽 dan menghadap sebuah gantang (dou 斗, tempat menakar beras), pengantin (laki-laki dan perempuan) disisiri oleh ibunya sebanyak tiga kali; setiap sisiran dibarengi dengan doa-doa tertentu: misalnya: sisiran pertama agar si pengantin diberi jodoh yang panjang, sisiran kedua: banyak rejekinya, sisiran ketiga: anak-anaknya semua menjadi orang yang membanggakan, dan sebagainya.
|
ADAT PERNIKAHAN
Upacara Chio Thau ini berasal dari daerah Fujian Selatan (Minnan) semasa periode dinasti Qing (1644-1911), dan mungkin sudah tidak diketemukan lagi di Tiongkok, setelah terjadinya dua revolusi besar di sana. Revolusi itu Revolusi Xin Hai 辛亥革�`� 1911, yang menyingkirkan semua produk budaya zaman Qing, dan Revolusi Kebudayaan 文化革�`� 1966-1976, yang menghancurkan semua produk budaya yang dinilai feodalistik dan kapitalistik. Di kalangan Peranakan di Indonesia (Tangerang, Padang dan Makassar) dan juga di Malaysia (Melaka, Pulau Pinang)-Singapura, upacara perkawinan tradisional Chio Thau terselamatkan dari kepunahan, karena kaum Peranakan tidak terlalu terpengaruh oleh segala pergolakan politik yang terjadi di Tiongkok, dan hanya memandang upacara
pernikahan tradisional Chio Thau sebagai pusaka budaya warisan kakek-moyang mereka yang harus mereka pertahankan mati-matian sebagai identitas budaya mereka. Sedemikian pentingnya Chio Thau dalam pandangan kaum tradisionalis Peranakan, sehingga kaum Peranakan di beberapa daerah tertentu di Tangerang, misalnya, bahkan sampai memandang pernikahan yang tidak disertai Chio Thau bukan pernikahan yang sah, dan anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan ini pun bukan anak yang sah!!!
Pakaian yang dikenakan saat Chio Thau―yakni baju putih-celana putih bagi laki-laki dan baju putih-kain batik warna dasar merah bermotif bulat-bulat putih, sehingga dikenal dengan nama Kain Onde―akan disimpan baik-baik dan dikenakan kembali pada waktu yang bersangkutan meninggal kelak sebagai pakaian mati.
Kembang goyang adalah beberapa aksesori rambut semacam tusuk konde terbuat dari perak berwarna keemasan bermotif flora dan fauna yang dianggap membawa keberuntungan. Di bagian tertentu kembang goyang diberi per (pegas) hingga bergoyang-goyang saat si pemakai bergerak. Kembang goyang yang khas Jabotabek ini merupakan bukti alulturasi Tionghoa-non Tionghoa, karena di Tiongkok tidak dikenal; pengantin di sana mengenakan hongknua 鳳冠 (ph�”nix bonnet) saat menikah.
Kiongchiu 拱手,
David Kwa
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 56385