Budaya-Tionghoa.Net | Lama sudah! Lama sekali. Tahunnya pun aku sudah lupa. Yang masih jelas teringat adalah kejadiannya, seperti ia baru saja terjadi seminggu lalu. Terjadi ketika aku masih berancang-ancang untuk bekerja di Indonesia. Hari itu masih musim dingin , matahari pun lambat muncul di langit Paris. Jam delapan pagi tiba-tiba jendelaku yang terletak di lantai dasar diketok dengan bersemangat tanpa keraguan sedikitpun.
Artikel Terkait :
{module [201]}
|
|
|
Ketokan yang seakan-akan memberitahukan bahwa si pengetok mengenal baik diriku dan membuatnya tidak mempunyai keraguan sedikitpun untuk datang tanpa menelpon dan memberitahu sebelumnya .Mendengar ketokan demikian, akupun meninggalkan meja kerjaku, lalu keluar membuka pintu gedung yang hanya bisa dibuka oleh mereka yang mengetahui kode rahasia pintu. Dengan penuh tandatanya pada diri, aku menoleh ke kanan ke kiri mencari siapa gerangan yang datang. Di hadapanku berdiri dua orang lelaki berkulit kuning dibalut oleh mantel musim dingin. Satu di antara mereka tinggi tegap dan seorang lagi berukuran sedang. Sejenak kami bertatapan dan kemudian berpelukan erat dengan penuh kegembiraan.
Dua orang lelaki itu adalah Nahson Taway, walikota Palangka Raya dan yang seorang lagi Lukas Tingkes pejabat penting dari kota yang sama. Antara kami bertiga memang terdapat hubungan keluarga yang cukup dekat. Lukas Tingkes, menurut keterangannya,waktu Sekolah Dasar, bahkan pernah tinggal di rumah ayahku di Kasongan [sekarang ibukota kabupaten Katingan] selama bertahun-tahun .Hal biasa di kalangan keluarga orang Dayak. Sedangkan dengan Nahson, jalinan keluarga itu terjadi melalui perkawinan.
Nahson dan Lukas sengaja datang ke Paris untuk menjengukku sejenak selagi mereka di Eropa. Waktu itu mereka berdua menghadiri kongres walikota sedunia yang berlangsung di Amsterdam. Sadar bahwa jarak Amsterdam dan Paris tidak terlalu jauh, maka mereka manfaatkan waktu, walaupun hanya untuk beberapa jam menemuiku di Paris.
Yang ingin kuceritakan di sini tentulah bukan tentang pertemuan keluarga yang di luar dugaan, karena kuanggap masalah keluarga adalah masalah diri-sendiri, masalah pribadi yang tidak perlu dikisahkan kepada orang banyak, apalagi dari segi kegunaanpun tidak memuat apa-apa yang berarti bagi umum. Nama kedua anggota keluarga ini kusinggung hanya sebagai ilustrasi tentang kongres walikota sedunia yang agaknya berlangsung saban tahun di berbagai kota berbeda di dunia secara bergantian. Bulan Mei , bulan musim bunga yang indah tahun ini, Kongres demikian sedang berlangsung di Paris sejak tanggal 2 sampai 5 Mei .
Dua ribu walikota dan wakil rakyat dari seluruh penjuru dunia hadir disambut dengan upacara pembukaan yang merah oleh Presiden Jacques Chirac dan Walokota Paris Betrand Delanoë. Chirac dan Delanoë nampak sangat bangga menjadi tuanrumah kongres yang disebut Congrès Fondateur Cité et Gouvernement Locaux Unis, CGLU [Kongres Pendiri Kota Dan Pemerintah Lokal Bersatu].
Kongres CGLU yang berlangsung saban tahun ini bertujuan “mendorong peranan kota dalam membantu pembangunan, merekonstruksi apa-apa yang dihancurkan oleh perang atau yang diporak-porandakan oleh hal-hal tak terduga seperti bencana alam” [Harian Le 20 Minutes, Paris, 3 Mei 2004]. Ia merupakan salah satu sarana untuk tukar-menukar pengalaman dalam mengelola kota, dan juga peluang membuka kerjasama bilateral ataupun multilateral dalam usaha pengembangan kota. Dalam hal kerjasama ini, Paris misalnya sejak tiga tahun terakhir saja telah hadir di puluhan negeri di dunia dalam berbagai bidang di mana ibukota Perancis menyumbangkan bantuan keuangan dan tekhnik. Di bidang urbanisme misalnya, sejak Januari 2003, l’Agence Parisienne d’Urbanisme, APUR [Biro Urbanisme Paris] memberikan bantuan kepada Alger, ibukota Aljazair dalam memperbaharui daerah pemukiman, dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Aljazair dalam belajar pengalaman membangun jaringan trem .
Ketika pada bulan Juni 2001, Peru dilanda oleh gempa bumi dahsyat, Paris telah menyumbangkan lebih dari E.76.000 kepada kotapraja Arequipa, kota terbesar kedua di Peru guna membangun kembali monumen-monumen sejara yang rusak. Untuk Kamboja, dalam tahun 2005 nanti penduduk Phnom Penh yang berjumlah 1,2 juta itu diharapkan akan menikmati air leding bermutu yang dibangun dengan bantuan Kota Paris. Demikian pula di jantung kota Amman, Jordania, dengan bantuan Kota Paris pula dibangun sebuah fontaine Wallace, bangku-bangku publik dan daerah hijau yang dinamai “Square de Paris”.
Berlangsungnya kerjasama antar kotapraja ini tidak bisa dilepaskan dari dorongan Kongres CGLU yang berlangsung saban tahun. Kalau diperhatikan kotapraja-kotapraja yang sudah atau sedang dan mengembangkan kerjasama, maka nampak bahwa kerjasama ini lebih berkembang antara negeri-negeri yang mempunyai tautan sejarah. Kamboja dan Aljazair adalah bekas jajahan Perancis, sedangkan Peru menjadi dikenal melalui kegiatan Madame Danielle Mitterrand yang sebelum François Mitterrand menjadi Presiden Perancis adalah aktivis LSM, yang bekerja terutama untuk kawasan Amerika Latin. Madame Mitterrand sangat dekat misalnya dengan Komandan Marcos, pimpinan Zapatis dari Chiapas, Meksiko dan tokoh-tokoh berbagai bidang Amerika Latin. Pusat Studi Amerika Latin di Paris pun sangat kuat, sehingga mempunyai pengaruh di dunia ilmu-ilmu sosial. Gabriel Garcia Marquez mengembangkan karir kepengarangannya juga dari Paris. C.Furtado pernah mengajar di universitas-universitas di Paris. Pablo Neruda merupakan nama akrab di sini. Kedekatan inipun bisa dipahami jika dilihat dari kebudayaan di mana kebudayaan Latin melalui penjajahan mempunyai pengaruh kuat di Amerika Latin. Demikian juga dengan Jordania, Perancis sejak lama mempunyai hubungan dekat. Di samping latarbelakang sejarah ini, tentu faktor prakarsa dan lobbie turut memainkan peranan dalam pengembangan kerjasama antar kotapraja ini. Selain memang mempunyai tujuan kemanusiaan, kiranya akan sangat naif jika kerjasama ini dilepaskan dari usaha mengembangkan pengaruh budaya dan politik serta merebut pasar. Tapi soal-soal inipun terletak dalam lingkup kewajaran pergaulan internasional, apalagi kerjasama begini hasilnya ternyata bisa dinikmat oleh masyarakat luas dan membuka peluang untuk pengembangan di bidang-bidang lain seperti pendidikan dan kebudayaan. Aku tidak tahu, dan tidak sempat kutanyakan kepada Nahson dan Lukas, apakah Kongres CGLU ini telah digunakan secara maksimal oleh para walikota dari Indonesia untuk mengembangkan kerjasama.
Hal lain yang menarik dan mungkin bisa dijadikan renungan adalah permasalahan yang dikemukakan sebagai salah satu tujuan Kongres CGLU, yaitu “mendorong peranan kota” yang tentunya bukan hanya dalam pembangunan dan rekonstruksi, tapi dalam arti lebih luas lagi: perkembangan sebuah bangsa. Dalam sejarah umat manusia nampaknya kota memainkan peranan menentukan wajah sebuah bangsa. Apa yang terjadi dan di kota-kota mempunyai pengaruh langsung pada daerah-daerah lain yang jauh seperti daerah pedalaman. Kota dijadikan patokan nilai idaman. Kota sering juga dijadikan harapan. Apalagi jika memperhatikan angka-angka yang diberikan oleh PBB bahwa 50 sampai 60 persen penduduk di dunia adalah tinggal di kota [Harian Le 20 Minutes, Paris, 03 Mei 2004] maka pengaruh dari 50 sampai 60 persen ini akan nampak lebih kuat lagi terhadap 40 sampai 50 persen selebihnya. Kota merupakan pusat politik, ekonomi, budaya, kesehatan dan pendidikan. Ia mempunyai kemudahan lebih dari desa. Dari kenyataan ini kiranya sangat beralasan kuat jika Kongres CGLU sangat memperhatikan pengelolaan kota, karena kota menentukan keadaaan bangsa secara kesuluhan.
Menghilangkan perbedaan kota dan desa memang suatu keinginan atau cita-cita yang indah tapi untuk bisa mewujudkannya memerlukan waktu bertakaran abad. Mao Zedong, dalam Revolusi Besar Kebudayaan Proletar [RBKP] pada 1966an pernah mencoba memecahkan masalah ini dengan mengirimkan brigade-brigade orang-orang bersekolah ke pedesaan, membangun barisan dokter kaki telanjang, mengembangkan industri di pedesaan melalui Komune-komune Rakyat. Tapi ide baik ini nampaknya tak mulus dalam pelaksanaan, mungkin oleh belum matangya syarat-syarat untuk mewujudkannya. Yang lebih radikal lagi adalah usaha Khmer Merah dengan mengosongkan kota-kota dan mengajak seluruh penduduk Kamboja ke pedesaan. Hasilnya sejak awal bisa diduga: Kegagalan.
Daerah pedesaan adalah daerah luas yang :menunggu penanganan tapi hanya yang penuh dedikasi dan idealisme sajalah yang sanggup terjun dan bekerja di daerah yang penuh kesulitan menantang demikian. Sampai sekarang, berapa banyak LSM-LSM yang benar-benar berbasis dan bergerak di pedesaan. Sangat jarang ada LSM seperti Jerami di daerah Wonogiri dipimpin oleh grup Yahya TP, berangkat dari kemauan dan dengan modal nol dari segi finansil. Tapi apa yang dilakukan oleh grup yang sekarang sangat berkembang ini, barangkali merupakan sebuah contoh yang patut dipertimbangkan karena mereka menunjukkan pemberdayaan dalam arti menyeluruh itu mungkin. Dari apa yang dilakukan oleh Grup Jerami ini, terlintas di kepalaku, apakah tidak sebaiknya kita memberdayakan bangsa dengan berdiri di “dua kaki” yaitu melakukan pekerjaan di kota dan di desa sekaligus. Melancarkan komunikasi antara kota dan desa sehingga sekalipun impian menghilangkan perbedaan kota dan desa masih jauh dari terwujud, tapi paling tidak dengan cara ini kita sudah mulai menyentuh secara nyata daerah pedesaan. Dengan metode “dua kaki” ini kita menempatkan perkembangan pedesaan sebagai alat penakar berhasil tidaknya kita membangun negeri dan bangsa. Akan lebih baik lagi jika memang ada pilihan politik baru untuk betul-betul melakukan “pemberdayaan dari pinggir”.
Sejalan dengan ide “pemberdayaan dari pinggir” ini pula maka kukira sudah pada tempatnya jika kita lebih memperhatikan pemberdayaan pulau-pulau luar Jawa sehingga kesenjangan antar pulau bisa dikurangi. Dalam bidang sastra-seni, ide ini tertuang dalam konsep “sastra-seni kepulauan” di mana budayawan Halim HD banyak memberikan waktu, tenaga dan pikirannya . Dengan cara ini kita mencoba memencarkan pusat-pusat kebudayaan ke seluruh pulau. Perkembangan tekhnologi, terutama komunikasi dewasa ini, nampak membantu pekerjaan mereka yang penuh dedikasi dan idealisme untuk mengembangkan pemberdayaan di daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau lain daripada Jawa. Sedangkan adanya Kongres seperti Kongres CGLU hanya salah satu peluang yang membantu kita dalam pekerjaan ini jika walikota-walikota yang hadir aktif mengembangkan lobbie dan prakarsa. Mimpi? Ya, aku memang selalu memimpikan adanya pemerataan kemajuan di negeri kita karena Indonesia bukan hanya Jawa dan kota-kota.***
Paris, Mei 2004.
—————-
JJ.KUSNI
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 2946
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan link aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.