Budaya-Tionghoa.Net| Pemain-pemain ini sekarang jarang nongol baik saat upacara pernikahan maupun kematian. Mungkin sudah nasibnya, bila tradisi ini kini tergerus oleh arus globalisasi. Pemain terompet Ciotaw ataupun Pat In ini, memang sungguh malang nasibnya.
|
Meski demikian, tetap masih ada orang yang begitu setia terus menggelutinya. Salah seorangnya adalah Un Sin Yong. Nama yang satu ini tidak setenar artis dunia Kenny G,tapi bagi orang Tionghoa yang sudah terbiasa memakai terompet Ciotaw, pastilah dirinya yang ditanggap. Apalagi jika menelisik latar belakang orang tuanya yaitu Un Un Hok dan Masnah, pastilah sudah hafal betul.
Jika saat pernikahan memakai terompet Ciotaw maka orang tersebut harus menggunakan terompet Pat In ketika meninggal dunia. Sinergi , 2005 |
Goyong, demikian sapaan akrabnya, sudah menekuni profesi ini lebih dari tiga dekade.¡¨Saya bermain terompet Ciotwa/Pat In sejak tahun 1970-an,¡¨cerita Goyong
Walaupun telah lama bergelut, tapi pria berusia setengah abad ini ternyata tidak pernah belajar secara khusus. Meniup terompet dan membawa lagu mandarin kuno yang tidak tahu judul lagunya saat nanggap, dilakukan secara otodidak semata. Semua itu terjadi secara alamiah saja, dan kebetulan juga karena orang tuanya yang punya kelompok gambang kromong.
Setelah sekian lama terjun, tentunya banyak kisah duka dan suka yang didapat oleh Goyong yang selalu tampil bersama Lie Bin Yong dan Amsa. Menurutnya, sukanya adalah kalau ada panggilan lagi ramai, rejeki lumayan banyak. Sementara dukanya, kalau lagi sepi order, terpaksa tidak ada pemasukan.
Ini juga dirasakan oleh Lie Bin Yong dan Amsa. Lie yang akrab disapa Goes, menuturkan bahwa dirinya suka sedih bila sepi order. Meski demikian, goes yang ikut Goyong sejak masih bujangan dan sekarang telah punya 8 anak ini, patut bersyukur karena selalu diajak bermain.
¡§Saya juga sedih kalau lagi sepi order. Penghasilannya yang didapat pun tidak besar hanya cukup untuuk makan,¡¨ungkap Amsa yang sebelumnya terjun ke lenong, gambang dan akhirnya tahun 2001 ikut Goyong.
Kalau boleh tahu, berapa sih biaya untuk sekali manggil? Dengan bahasa udik Tangerang yang masih kental, Goyong secara terus terang menuturkan bahwa biasanya biaya tergantung tempat dan moment. Untuk pernikahan, bisanyanya sekali jalan di seputar kota Jakarta kita minta bayaran Rp 1,5 juta. Sedangkan untuk kematian, karena bisanya ada kali prosesi maka satu kali jalan bayarannya satu juta.
Memang tidak semua orang Tionghoa yang berminat menggunakan terompet Ciotaw/Pat In dalam acara-acara khusus. Mereka yang memakai biasanya hanya orang tertentu saja yang memang sudah tradisi. Jika saat pernikahan memakai terompet Ciotaw maka orang tersebut harus menggunakan terompet Pat In ketika meninggal dunia. Jika saat meninggal dunia tidak pakai terompet Pat In, menurut pengakuan Gotong yang sering main di Bangka ini, akan terjadi satu kesialan dalam satu keluarga tersebut.
Satu hal yang mengusik hati dan bathin Goyong yang bersama keduanya temannya selalu bermain terompet, Teh Yan, tambur, Ning-ning, adalah kurangnya perhatian dan minat dari generasi muda etnis Tionghoa terhadap kesenian ini. Sebab dirinya yang sudah tua khawatir kalau tidak ada lagi dirinya, siapa yang akan meneruskan. Haruskah tradisi ini hilang begitu saja dan hanya akan catatan budaya Tionghoa belaka. Betul juga pak¡K!
(Yudi Mahardi – Wartawan Majalah SINERGI INDONESIA)
Dipostkan oleh HKSIS ke Mailing-List Budaya Tionghua , Arsip No 15106 , 20 Oktober 2005
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa