Budaya-Tionghoa.Net | Hari Ketiga ….Pagi harinya semua merasa segar setelah tidur cukup panjang. Kami bangun dan menuju ke resto hotel di mana sarapan sudah tersedia. Sarapan model hotel di China walaupun international hotel tapi pilihan hidangannya berbeda dengan biasanya hotel di Indonesia atau Singapore misalnya.
Pilihan makanan ala barat memang sama, roti, pancake, croissant, cereal, dsb. Tapi pilihan ala China yang tersedia sungguh membangkitkan selera. Pilihan makanannya jauh lebih banyak dan bervariasi. Jelas sarapan ala barat tidak kami lirik sama sekali, karena terlalu biasa dan terlalu sering, bahkan kadang di rumah juga sarapan ala barat.
Setelah sarapan, kami segera kembali menelusuri jalanan di kota Hangzhou. Kami sudah merencanakan untuk melihat Xihu (西湖, baca: Si Hu) atau dikenal juga dengan nama West Lake. Xihu dikenal karena kisah klasiknya yaitu Legenda Ular Putih (Ouw Pek Coa).
Yang saya amati dalam berjalan-jalan petang sebelumnya dan pagi itu adalah banyaknya di pinggir jalan jajaran sepeda berwarna oranye dan bermodel sama persis. Menurut keterangan pengemudi taxi yang kami tumpangi, sepeda itu disediakan oleh pemerintah kota Hangzhou gratis untuk dinaiki siapa saja berkeliling kota Hangzhou. Baik penduduk kotanya ataupun turis yang berkunjung.
Aturan mainnya adalah calon pengguna harus mendeposit uang sejumlah RMB 300 untuk mendapatkan satu kartu yang dapat digunakan untuk membuka kunci sepeda. Setelah itu dia bisa mengendarai sepeda ke mana saja seputar kota Hangzhou. Jika dia sudah sampai tujuan, sepeda akan dikembalikan ke counter point terdekat yang ada. Pemakaian di bawah satu jam gratis, lebih dari satu jam hanya membayar RMB 1.
Fasilitas ini benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat luas. Tampak di mana-mana tempat parkir dan kios untuk urusan pinjam meminjam sepeda ini. Tertib, ramah, rapi adalah kesan saya untuk fasilitas ini. Jika sudah tidak memerlukan lagi, deposit RMB 300 bisa diambil di kios sepeda mana saja di seluruh penjuru Hangzhou.
Selain itu, pengendara kendaraan bermotor di Hangzhou – baik motor ataupun mobil – sangat beradab dan santun. Jika ada yang menyeberang, pengemudi akan melambatkan mobilnya dan berhenti memberikan kesempatan lebih dulu pejalan kaki. Hal ini sangat jauh dibandingkan dengan attitude pengemudi di kota-kota kecil berikutnya yang akan kami kunjungi.
Singkat cerita kami sampai di pinggir Xihu, di satu tempat yang terkenal dengan jembatan lengkungnya. Jembatan lengkung itu berusia ratusan tahun dan tidak diperbolehkan lagi kendaraan berat melaluinya. Ada yang dinamakan Jembatan Utara dan Jembatan Selatan. Kalau ditelusuri berjalan kaki ya terasa juga capeknya, sehingga kami memutuskan untuk menelusuri salah satu saja yang terdekat.
Kami berjalan dan asik mengambil foto di sana sini. Tiba-tiba dari kejauhan nampak serombongan turis lokal yang dipandu oleh guide’nya yang menjelaskan ini dan itu. Rombongan tsb menuju satu counter penjualan tiket untuk naik ke kapal menelusuri West Lake. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba terdengar nada tinggi dan marah-marah antara satu wanita dan si guide tsb.
Intinya adalah si wanita marah karena merasa si guide tidak menginformasikan harga paket tur West Lake secara benar, jadi dia menolak untuk membayar tiket kapal tsb, sementara si guide bersikeras bahwa dia sudah menjelaskan sejak dari kantornya di Shanghai. Rupanya rombongan tsb dari Shanghai. Mereka beradu mulut ramai sekali. Kami berjalan terus.
Setelah agak jauh di tikungan depan, masih saja terdengar pertengkaran tadi yang semakin lama semakin seru, suaranya semakin keras dan intensitas saling memaki juga makin sering. Kami berhenti dan menonton. Bahkan salah satu peserta tur juga marah ke si wanita yang dianggap mencari-cari masalah dan mengada-ada. Si guide dan si pria berteriak mengusir si wanita supaya jangan mengganggu acara rombongan. Entah bagaimana kelanjutannya, saya tidak mengikuti lagi…hahaha…
Setelah puas melihat West Lake, kami balik ke tempat di mana kami turun taxi di pagi harinya. Kami bertanya sana sini dan kami mencari kuil mausoleum Jenderal Yue Fei. Cerita lengkap kisah kepahlawanan Jenderal Yue Fei, silakan dibaca di sini. Hanya sebentar saja, kami pun kemudian mencari mobil sewa untuk berkeliling lebih jauh lagi di seputar kota Hangzhou.
Setelah nego harga sewa, kami pun meluncur menuju sisi lain Hangzhou. Kami dibawa pengemudi menyusuri sisi lain West Lake dan kemudian menuju ke arah pegunungan untuk melihat kebun teh dan tempat penjualan teh yang paling top di Hangzhou. Teh tsb bernama 龙 井 茶 (pinyin: long jin ca, baca: lung cing ja), yang arti harafiahnya adalah “teh perigi naga”.
Tak lama kami sampai ke tempat pengolahan dan penjualan teh tsb. Tempatnya di ketinggian pegunungan sekitar Hangzhou. Hawanya lebih dingin dibandingkan Hangzhou dan di lereng-lereng bukit dan gunungnya masih tertutup salju. Rupanya malam sebelumnya turun salju cukup lebat di kawasan tsb.
Kami disambut ramah sales staff di tempat itu dan diseduhkan beberapa jenis “teh naga” tsb. Sambil menjelaskan kualitas masing-masing teh yang diseduh beserta harganya, kami mencecap pelahan satu per satu teh yang disiapkan. Memang berbeda rasa yang satu dengan yang lain, yang tentu saja berhubungan erat dengan harga. Rasa khas “teh naga” ini adalah rasa pahit greentea yang kemudian meninggalkan aftertaste rasa sepat dan manis di ujung lidah. Kesegarannya tidak usah dibilang lagi, di tengah hawa dingin menyeruput teh kelas satu, sungguh nikmat sekali.
Di dinding nampak satu foto hitam putih yang menunjukkan Mao sedang memetik teh di sana. Tulisan di situ berbunyi “Pemimpin Mao sedang memetik teh long jing ca di West Lake”.
Tentu saja tak lupa kami membeli “teh naga” untuk kami minum sendiri di rumah nantinya. Dari sana kami meluncur ke Leifeng Pagoda (雷 峰 塔, pinyin: lei feng ta, baca: lei feng tha). Pagoda ini dibangun pada tahun 975, runtuh tahun 1924 dan direnovasi besar-besaran pada tahun 2002. Pagoda ini “satu paket” dengan West Lake karena disebut dalam kisah Legenda Ular Putih.
Pagoda ini dibakar oleh bajak laut Jepang di masa Ming Dynasty. Walaupun tidak hancur total, tapi pagoda rusak. Karena takhayul masyarakat sekitar yang percaya batu bata pagoda tsb bisa menyembuhkan penyakit dan mencegah keguguran wanita hamil, pelahan tapi pasti selama ratusan tahun, batu bata pagoda diambil dan dihaluskan oleh masyarakat sekitar untuk konsumsi. Akibatnya tepat 25 September 1924 runtuhlah pagoda itu.
Bulan Oktober 1999 pemerintah daerah memutuskan untuk membangun kembali pagoda sesuai aslinya. Konstruksi modern digunakan dalam membangun pagoda yang baru di dekat reruntuhan yang lama. Akhirnya 25 Oktober 2002 pagoda yang baru dibuka untuk umum dengan konstruksi canggih serta fasilitas modern di dalamnya. Reruntuhan lama beserta harta karun yang ditemukan tetap dijaga dengan baik.
Kami tidak sempat masuk dan naik ke dalam pagoda karena keterbatasan waktu siang itu, harus segera kembali ke hotel karena akan dijemput oleh seorang sahabat dan berangkat ke kampung halaman istri. Kami hanya sempat berfoto sebentar di sekitar pagoda.
Dari Leifeng Pagoda, kami kembali ke hotel. Sahabat baik istri sudah berjanji akan menjemput kami dan mengantar kami ke kampung halaman istri. Kami menyusuri jalanan yang apik sekali, di kanan kiri pohon tinggi menjulang. Pepohonan yang tak berdaun karena musim dingin sungguh indah.
Sesampainya di hotel kami berkemas dan check out serta membereskan pembayaran hotel. Kami tak menunggu lama, sahabat istri beserta pasangannya muncul di lobby hotel. Kami berbincang ramai, terutama istri yang sudah bertahun tak berjumpa sahabatnya.
Koper saya angkat ke mobil van besar dan kami pun meluncur menuju kampung halaman istri yang jaraknya sekitar 2.5 jam perjalanan dari Hangzhou. Berakhirlah kunjungan kami ke Hangzhou.
Memang tidak salah ada pepatah kuno: 上 有 天 堂,下 有 苏 杭 (pinyin: Shang You Tian Tang, Xia You Shu Hang), yang artinya adalah: “di atas ada surga, di bumi ada Suzhou dan Hangzhou”, di mana menggambarkan keindahan 2 kota Suzhou dan Hangzhou.
Perjalanan berlangsung lancar dan mulus tak lepas dari jaringan jalan tol yang konon sekarang merupakan jaringan jalan tol terbaik dan terpanjang di dunia. Petunjuk jalan yang jelas dan akurat, ditambah perlengkapan GPS di mobil tsb, membuat perjalanan kami sungguh menyenangkan.
Saya mencoba membuka handheld saya yang dilengkapi build-in Google Map, dan ternyata bisa digunakan, sangat jelas dan detail serta live-view yang menunjukkan posisi kami di mana dan menuju ke arah mana. Tentu saja semua keterangan dalam aksara kanji. Ah, hebatnya teknologi memang sekarang ini…
Sepanjang perjalanan anak-anak tertidur, sementara kami berempat ramai berbincang dan bertukar cerita. Tak terasa sampailah kami ke kota kelahiran istri, di mana petang sudah menjelang.
Sang sahabat istri sudah memesan tempat di salah satu resto di kota itu. Dan lagi-lagi makan lagi, makan lagi. Hidangan yang dipesan sekali lagi merupakan pengalaman kuliner yang baru untuk kami.
Terutama masakan berbahan 山 药 (pinyin: shan yao). Rasa baru untuk lidah saya. Menurut keterangan, shan yao ini berupa umbi di dalam tanah dengan kulit keras. Memang shan yao termasuk jenis masakan yang belum terlalu lama populer, baru beberapa tahun belakangan ada masakan ini. Seingat saya, tahun 2007 pun waktu kami ke China, masakan ini belum ada di meja-meja resto.
Menurut keterangan yang saya peroleh, shan yao ini adalah salah satu bahan TCM (Traditional Chinese Medicine) yang khasiatnya beranekaragam – sayangnya saya tidak mengerti karena istilah bahasa Mandarin yang digunakan, sebab tingkat Mandarin saya belum sampai ke sana. Pendeknya yang saya tangkap khasiatnya bagus untuk kesehatan…haha…dan untuk mulut dan perut tentunya jika dimasak dengan berbagai cara.
Berbagai hidangan memenuhi meja besar. Dari kambing, ayam, bebek, salad udang dan beberapa jenis lainnya. Seperti kebiasaan di China, minuman alkohol tidak lepas dari meja makan. Red wine lokal yang nikmat menemani kami malam itu. Tak terasa 2 jam sudah kami bersantap.
Karena malam mulai larut, sang sahabat dan pasangannya mengantar kami pulang ke rumah. Mereka segera kembali ke Suzhou malam itu juga, tapi yang mengemudi gantian karena si cowok minum red wine ketika makan tadi.
Di depan rumah sudah menunggu orangtua istri, kakak dan ipar serta keponakan menyambut kami beramai-ramai. Sampailah kami di rumah. Semua naik ke lantai 4, di mana apartment kami berada. Dibongkarlah sebagian barang dan oleh-oleh sambil riuh rendah suara obrolan satu sama lain.
Malam semakin larut, kakak ipar saya beserta istri dan anaknya pamit pulang. Kami sekeluarga ditambah orangtua istri tinggal di apartment tsb. Hawa dingin yang menusuk diusir dengan berlapis selimut dan penghangat ruangan. Harus diakui bahwa hawa dingin di kampung halaman istri jauh lebih menusuk dibandingkan dengan di Hangzhou.
bersambung…
Bersambung ……
[AK Bromokusumo]
Sumber dan Tautan :
- http://baltyra.com/2011/03/04/catatan-perjalanan-imlek-2011-2/
- http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/56548 [AK Bromokusumo]