Pengantar Dari Admin : Seorang member mailing-list kami memfoward tulisan dibawah ini ke mailing list kami [http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/56762] berkaitan dengan musibah yang sedang melanda Jepang , Gempa Bumi dan Tsunami yang terjadi di bulan ini , Maret 2011. Biasanya kami akan menampilkan langsung tulisan member, bukan forward dari email berantai ini. Tetapi memandang informasi ini sangat penting untuk memberikan INSPIRASI bagi bangsa Indonesia yang juga sering tertimpa musibah. Maka kami admin mohon maaf terlebih dahulu dengan membuat semacam pengecualian dengan mempublish ulang di website ini dan memodifikasi dengan bahasa yang lebih sesuai untuk tampilan web tanpa mengurangi esensi tulisan aslinya. Salam , Admin.
***
Say YeS to GAMBARU!
Terus terang aja, satu kata yang benar-benar membuat muak jiwa raga setelah tiba di Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan. Saya muak sepenuhnya, sumpah, karena setiap kali mendapat bimbingan dari profesor, kata-kata penutup selalu saja motto , gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama) , motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan lebih lagi). Sampai saya rasanya ingin berbicara , apa tidak ada kosa kata lain selain GAMBARU? Adakah kata yang lain selain gambaru ? Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang hanya begitu-begitu saja yang kala rasa malas sudah memuncak atau ada banyak rintangan, ya sudahlah ,berhenti saja.
Menurut kamus bahasa Jepang sih, gambaru itu artinya : “doko made mo nintai shite doryoku suru” (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha abis-abisan) Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter “keras” dan “mengencangkan” . Jadi imaji yang bisa didapat dari paduan karakter ini adalah “mau sesusah apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu” (maksudnya janganlah bersikap manja, tapi anggaplah semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup, namanya hidup memang pada dasarnya tidak terhindar dari masalah, jadi jangan mengharap yang gampangnya saja, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.).
Terus terang aja, dua tahun saya di jepang, dua tahun juga saya tidak mengerti, kenapa masyarakat Jepang ini menjadikan Gambaru sebagai falsafah hidupnya. Bahkan anak berumur tiga tahun seperti Joanna pun sudah disuruh gambaru di sekolahnya, mulai dari memakai baju di musim dingin harus yang tipis biar tidak manja terhadap cuaca dingin. Didalam sekolah tidak boleh memakai kaos kaki karena kalau telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan. Jika kena penyakit ringan hanya berupa ingus yang meler-meler atau demam 37 derajat sebaiknya tidak perlu bolos sekolah dan tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri.
Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil membonceng Joanna, dan saya ngos-ngosan kelelahan, otomatis Joanna akan berbicara : Mama, gambare! mama faitoooo! (mama ayo berjuang, mama ayo fight!). Pokoknya jangan manja terhadap masalah, gambaru sampe titik darah penghabisan. It’s a must!
Saya benar-benar baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan 9.0 di Jepang bagian timur. Saya tahu, bencana alam di indonesia seperti tsunami di Aceh, Nias dan sekitarnya, gempa bumi di Padang , letusan gunung Merapi….juga bukanlah hal yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di jepang kali ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu.
Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan terbesar di dunia. Menjadi sangat wajar kalau kemudian pemerintah dan masyarakat Jepang menjadi panik kebingungan karena bencana ini. WAJAR juga kalau mereka kemudian mulai merasa galau, menangis dan tidak tahu harus melakukan apa.
Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa “dimaafkan” jika stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet dan membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan.
Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya harapan.
Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini? Dari hari pertama sejak terjadi bencana, saya menyalakan TV dan menunggu lagu-lagu ala ebiet diputar di stasiun TV. Mencari-cari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video klip tangisan anak negeri juga saya tunggu-tunggu. Tiga unsur itu (lagu ala ebiet, rekening dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali tidak disiarkan di TV. Jadi apa saja yang ada? Ini yang saya lihat di stasiun2 TV :
- Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada.
- Himbauan pemerintah agar seluruh warga Jepang bahu membahu menghadapi bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah Tokyo dan Tohoku tidak berlama-lama terkena pemadaman listrik)
- Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman listrik terencana.
- Tips-tips menghadapi bencana alam
- Nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam
- Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang terkena bencana.
- Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang terkena bencana (saya bersumpah bahwa mereka sigap dalam menghadapi bencana ini , sebuah nyawa di jepang benar-benar bernilai harganya)
- Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita hadapi (Pemerintah menggunakan kata NORIKOERU, yang kalo diterjemahkan secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati.
- Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati :
Ada seorang pria yang mencari istrinya, belum juga berhasil ditemukan. Dan wajahnya menampakkan ekspresi galau yang teramat sangat. Tapi tetap tenang dan tidak emosional . Kemudian seorang nenek menyemangati , Gambatte Sagasoo ! Kitoo Mitsukaru Kara. Akiramenai de (Ayo kita berjuang mencari istrimu. Pasti ketemu. Jangan menyerah).
Sebuah tulisan di twitter : Ini gempa terbesa sepanjang sejarah. karena itu kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini. Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang yang terlihat terang. Itu adalah bintang yang sangat indah. Warga Sendai , lihatlah keatas.
Saya sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana ala GAMBARU seperti ini , benar benar merasa malu dan disaat yang bersamaan muncul rasa kagum dan hormat terhadap warga dan pemerintah Jepang. Ini adalah negeri yang luar biasa , negeri yang sumber daya alamnya terbatas, negeri yang alamnya keras . Tetapi mereka bisa mencapai kemajuan yang luar biasa dan punya mental sekuat baja. Karena , falsafath GAMBARU-nya itu .
Bisa dikatakan orang Jepang tidak memiliki apa-apa selain Gambaru. Dan Gambaru sudah lebih dari cukup menghadapi segala persoalan dalam hidup. Benar sekali , bahwa kita musti berdoa. Kita mesti parah terhadap Tuhan. Hanya mental yang segala sesuatu menyalahkan Tuhan, dan bilang ini semua adalah kehendak-Nya, Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui bencana alam maka tanyalah kepada rumput yang bergoyang. Saya memberikan garansi terhadap anda 100 persen selama mentalitas seperti ini berdiam pada diri kita, sampai kiamatpun saya rasa bangsa Indonesia tidak akan maju.
Kalau ditilik lebih jauh , “menyalahkan” Tuhan atas semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya dengan kata lain dapat dikatakan tidak berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup. Jika diperjelas lagi , tidak berani bertanggungjawab itu maksudnya , melarikan diri dari masalah , tidak mau menghadapi masalah , dan saling mempersalahkan , tidak mau berjuang dan bersikap manja jika bertemu dengan sedikit rintangan.
Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk apa saya menuntut ilmu di Jepang. Untuk apa ke Jepang? Dan apa gunanya? . Lanjut dia lagi , kalau mau menempuh pendidikan S2 atau S3 lebih baik ke Eropa atau Amerika Serikat sekalian. Kalau menempuh pendidikan di Jepang dirasa tanggung. Begitulah kata beliau.
Saya sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya. Kalau mau “go international” seharusnya ke AS atau Eropa sekalian, bukannya ke Jepang. Toh sama-sama negara Asia dan saya tidak bisa berbahasa Jepang. Saya tidak akan bertahan di Jepang. Saya sempat menyesal juga, kenapa saya mendalami sastra Jepang dan bukannya sastra Inggris atau sastra Barat lainnya. Tetapi saya sekarang bisa yakin sama sanak keluarga yang pernah mengatakan hal seperti itu . Bahwa pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya. Mentalitas Gambaru yang paling melaksanakan adalah Jepang. Dan menjadikan Gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga daripada go international dan semacamnya.
Benar sastra Jepang , gender dan sejenisnya itu , bisa dipelajari dimana saja. Tapi semangat juang dan mental untuk tetap berjuang habis-habisan walau dikata mengalami jalan buntu , adalah Jepang , tempat yang yang paling tepat memahami semua itu. Dan saya bersyukur ada disini, saat ini. Maka mulai hari ini , joka saya mendengar kata Gambaru , entah di kampus , di mall , di iklan TV , supermarket , disekolahnya Joanna dan dimanapun itu, saya tidak akan muak lagi.
Sebaliknya, saya akan berucap dengan rendah hati : Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu. (Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia . Saya akan berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang).
Say YES to GAMBARU!
Sumber :
- Original Text , http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/56762 [by Hera Budiman]