Budaya-Tionghoa.Net | Sebutan Dewa Judi menjadi sangat popular tak bisa terlepas dari suksesnya film-film Mandarin yang dipelopori sutradara Wong Jing (Wang Ching) yang bertajuk God of Gamblers dengan aktor simpatik Chow Yun-fat. Sejak film perdananya dirilis pada tahun 1989 beruntun diproduksi sequel-sequelnya, epigon-epigonnya yang melahirkan gelar-gelar Malaikat Judi, Pendekar Judi, Setan Judi, Iblis Judi dan seterusnya. Para bintang penerusnya pun kebagian rezeki seperti; Andy Lau, Stephen Chow, Alan Tam, Wu Meng-ta (Ng Man-tat), Cheng Kuei-an (Sing Fui-on), dan seterusnya. Lebih dari 300 film yang mencuatkan genre baru, action dipadu perjudian.
|
Padahal dalam khazanah film Mandarin, genre perjudian sudah dirintis sejak era 1970-an oleh sutradara Chu Yuan untuk Shaw Brothers dengan film-film King of Gamblers yang dibintangi aktor-aktor top pada zamannya seperti Patrick Hsieh Hsien, Chen Kuan-tai, Liu Yung, Melvin Wong, dan kawan-kawan.
Semua film berlatar aksi perjudian itu terbukti box-office, laris manis dalam peredarannya, bukan saja di Hong Kong sendiri, tapi juga di Indonesia sampai yang terbaru, Kung Fu Mahyong (2005), yang dibintangi Yen Hua (Yuen Wah). Padahal kebanyakan penonton di Indonesia mana mengerti mengenai permainan mahyong (?!)
Kembali pada masalah judi, hakekatnya judi adalah permainan, rekreasi untuk adu otak, ketangkasan, kecerdasan, mental, spiritual, yang merupakan salah satu naluri dasar manusia.
Kalau prostitusi disebut sebagai ‘the oldest profession in the world’ maka judi adalah ‘the oldest game in the world’. Jadi takkan mungkin diberantas tuntas selama masa ada minimal dua manusia di muka bumi ini yang mau memainkannya!
Sangat ironis melihat polisi Indonesia dengan bangga memamerkan di berita-berita teve-teve swasta, “Telah ditangkap seorang ibu yang menjual togel seharga Rp. 1000,- (seribu perak)!” atau kisah nyata dari Aceh, “Telah dihukum cambuk dengan rotan orang-orang yang ketangkap basah berjudi Rp 5000,- (goceng-tun)!”
Daripada mengurus orang-orang yang terpaksa menjual togel seribu perak bukankah ada misi-misi luar biasa seperti: memburu para pelaku dan dalang Bom Bali, mencegah penutupan rumah-rumah ibadah, atau menangkap para pemenggal kepala siswi-siswi di Poso (?!)
Yang namanya perjudian di mana pun ada. Lihat di sudut-sudut pasar, pasti ada beberapa lelaki yang lagi asyik main ceki, domino, gaple. Di pinggir jalan ada yang menantang main problem catur, kalau bisa me-mat-kan raja dalam tiga langkah. Tentu saja taruhannya uang yang berkisar paling tinggi Rp 10.000,- (ceban).
Apa pun bisa diperjudikan dari permainan tradisionil seperti sabung ayam, adu domba, karapan sapi, sampai ke pertandingan sepak bola, bahkan yang paling ringan, tebak-tebakan isi manggis atau nomor pelat mobil yang akan lewat, genap atau ganjil.
Lihat semua quiz dan sms yang marak di teve swasta. Sesungguhnya itu pun merupakan perjudian terselubung yang justru beromzet miliaran rupiah. Coba saja hitung kalau untuk satu sms biayanya Rp. 2000,-, pesertanya membludag mencapai ratusan riibu orang, padahal hadiahnya hanya bernilai jutaan rupiah!
Sejak kecil tanpa sadar kita sudah dilatih untuk berjudi lewat beragam permainan anak-anak, main gundu, main umbul (melambungkan gambar wayang ke atas lalu melihat jatuhnya tengkurap atau telentang), main monopoli, adu jangkrik, ular-tangga, dadu, kartu, dan sebagainya. Kita selalu menghadapi pilihan antara a atau b.
Perjudian bukan monopoli orang Tionghoa atau orang Eropa, tengok Maha Bharata, kisah agung dari India. Ribuan tahuh lalu, Raja Yudhistira alias Prabu Samiaji alias Dharmaputra atau Dharmawangsa, tersohor sebagai raja paling jujur dan bijaksana, namun gemar berjudi sejak kecil. Raja Kerajaan Indraprasta atau Amartapura ini ditantang berjudi oleh saudara-saudara sepupunya, Kurawa dari Astinapura. Semula Yudhistira menang sampai pihak Kurawa mengajukan jagoannya, Paman Sengkuni. Dengan kelicikan luar biasa Sengkuni memainkan dadu dan meraih kemenangan demi kemenangan. Yudhistira sampai menaruhkan kerajaan, empat saudaranya (Bima, Arjuna, dan si kembar Nakula-Sadewa), bahkan istrinya sendiri, Drupadi, dipertaruhkan! Kalah total sampai mereka semua diperbudak Kurawa!
Kisah di atas mengungkapkan keburukan perjudian dengan siratan moral, janganlah berjudi sampai lupa daratan, menuruti hawa nafsu habis-habisan, kalau tidak raja seagung Yudhistira pun bakal rudin jadi gembel!
Jadi, boleh saja berjudi, tapi tahu batas, tahu diri, tahu di mana harus stop. Aku pribadi tidak mengharamkan judi, pernah masuk ke kasino-kasino termasuk ke Las Vegas, dan bermain ala kadarnya beberapa dollar saja, karena maklum aku bukan penjudi profesional dan mustahil mencari kekayaan lewat kartu atau jackpot, hanya sekadar iseng-iseng belaka …
Yan Widjaja, 15240
Budaya-Tionghoa.Net |Mailing-List Budaya Tionghua