Budaya-Tionghoa.Net | Memang benar bahwa kata ganti orang pertama tunggal “owe” itu kata ganti yang sangat sopan. Kata ganti ini khas Peranakan, yakni mereka yang telah beberapa generasi di negeri ini. Kata “owe” sebagai kata ganti, melainkan “gua” (Hokkian), “ngai” (Hakka/Kheh), “ngou” (Konghu), “wa” (Tiociu) dll, tergantung kelompok dialek mana seseorang termasuk. Di masa kini banyak orang totok menggunakan kata “wo” sebagai kata ganti orang pertama.
Patut diketahui, kata ganti “owe” (“oweh” di Priangan) hanya boleh digunakan oleh laki-laki saja (perempuan tidak boleh) dan dapat digunakan:
- Oleh anak (laki-laki) terhadap orangtua dan orang-orang yang segenerasi dengan orangtuanya, baik kerabat maupun bukan kerabat;
- Adik (laki-laki) terhadap kakak laki-laki dan istrinya, kakak perempuan dan suaminya dsb
- Seorang laki-laki terhadap seseorang yang baru dikenalnya, baik laki-laki maupun perempuan.
- Seorang teman terhadap seorang temannya yang lain namun berbeda usia atau (untuk menghormati).
|
Orangtua atau kakak laki-laki maupun perempuan tidak memakai kata “owe” terhadap anak atau adik mereka. Mereka menggunakan kata ganti “gua” yang sama artinya, namun lebih kasar/akrab.
Mengenai asal-usul kata “owe” ini, kata ini tidak berasal dari “dialek” Mandarin, yang di Jawa pemakaiannya relatif masih “muda” ketimbang dialek-dialek Tionghoa lainnya, “baru” sekitar 100 tahunan, sehingga masih terasa “asing”, apalagi di kalangan Peranakan. Maka, asal-usulnya harus dicari dalam salah satu dialek Tionghoa yang umum dikenal kaum Peranakan, yakni Hokkian selatan.
Setahu saya berasal dari kata “oe/ue” (Mandarin “wei,” yang sekarang artinya “hallo”) dalam dialek Hokkian selatan (Banlam/Minnan)yang maksudnya mengiyakan panggilan orangtua, mirip dengan “kulan/kah” dalam dialek Sunda atau “dalem” dalam dialek Jawa. Dengan bergulirnya waktu, di kalangan Peranakan yang berbahasa Melayu atau dialek Indonesia lainnya, maka jawaban mengiyakan tadi berubah menjadi kata ganti orang pertama khas Peranakan, utamanya di Jawa.
Karena merupakan kata ganti orang pertama yang sangat-sangat sopan, maka, jika seorang Peranakan marah besar, bukan owe lagi yang dipakainya, melainkan “gua”! Kata “gua” yang aslinya dalam dialek Hokkian selatan bermakna netral, di kalangan Peranakan terasa kasar, sehingga kata “owe” biasanya langsung berubah menjadi “gua.” Sebaliknya perempuan tidak memakai kata “owe”. Sebagai gantinya, perempuan menggunakan kata “saya” (“sayah” atau “yayah” di Priangan).
Maka dari itu, tayangan-tayangan yang bertujuan mengolok-olok kaum Tionghoa tertentu di TV salah besar dalam pemakaian kata “owe” tersebut. Sebab, tidak lazim seorang Totok (macam tokoh Babah Ho Liang-nya Suryana Patah) yang masih pelo itu menggunakan kata “owe” dalam berbicara Melayu-Sunda. Yang memakai kata “owe” hanya kaum Peranakan.
Akibat tayangan yang bertubi-tubi selama masa penindasan rejim Orde Baru itu, pemakaian kata “owe” yang sangat-sangat sopan itu menjadi melenceng jauh. Meskipun masih lazim di kalangan tua Peranakan, kaum muda Peranakan (utamanya yang di kota-kota besar) merasa “gerah” memakai kata ganti yang dianggapnya hanya pantas dipakai seorang laki-laki Totok berthaucang macam Babah Ho Liang yang licik itu. Sebaliknya kaum muda Totok juga tidak mengakui kata itu sebagai kata ganti yang lazim dipakai di kalangan mereka.
Demikianlah sekadar penjelasan saya mengenai asal-usul dan penggunaan kata ganti orang pertama “owe”.
Kiongchiu
David Kwa , 15579
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua