Budaya-Tionghoa.Net | Suara bokhie itu mengalun, sayup terbawa angin. Mengundang orang datang, membawasatu rasa kedamaian. Ternyata masih harus lewat tiga hall barulah tiba di hall paling atas Baoguuo Si, EMeiShan, Sichuan. Disanalah, sekitar 25 orang sedang membaca liamkheng dipimpin oleh ketukan bokhie sang nikoh berjubah kuning. Ada 25 orang, dari pakaiannya jelas sudah mereka bukanlah nikoh atau hwesio, tetapi orang biasa. Dari rambut dan tubuhnya, bisa ditebak umur mereka sudah lebih dari 50 tahun.
Di teras, tertulis jelas, harap tenang, sedang ada doa dan dilarang memotret. Teras sunyi, suara perlahan langkah penulis, membuat mata seseorang tua, satu2nya yang sedang berada di teras terbuka, menoleh selintas dan memejamkan mata lagi. Sepertinya sedang menikmati alunan liamkheng dan suara bokhie. Tak kuasa tak menelaah contoh tindakannya, ternyata dengan memejamkan mata, liamkheng dan ketukan bokhie terasa makin damai. Entah berapa waktu kemudian sudah lewat.
Suara hiruk pikuk datang dari hall di bawah menyentak dan membuyarkan keheningan. Serombongan turis lokal dengan dipimpin oleh seorang guide yang membawa bendera tiba2 datang meluruk. Sang guide dengan tenang dan suara lantang tetap memberi penjelasan ini dan itu. Tidakkah dia membaca tulisan besar yang ada di teras itu, harap tenang? Suara klik kamera terdengar banyak sekali. Tidak kuasa tidak menegur, dengan mengucap ssststst dan menaruh telunjuk di depan mulut. Mereka menoleh dan seperti melihat makhluk aneh dari luar angkasa, kemudian tetap saja sang guide melanjutkan bicaranya.
Waktu menuju keluar di beberapa hall berpapasan dengan beberapa anak muda yang dengan khusuk bersembahyang dengan dipandu oleh seorang guide. Sampai jauh sayup sayup suara bokhie tetap terdengar. Apakah karena terbawa angin atau karena menempel di hati?
Sepulang dari KwanKongMiao di LokYang, HeNan, iseng iseng bertanya ke sopir taksi, apakah dia senang menonton film SamKok? Apakah dia pernah membaca cerita itu? Diluar dugaan jawabnya tidak, dia bilang lebih senang cerita yang modern.
Maksud hati bertanya apakah dia tahu DiaoChan, si anak gadis yang berani berkorban, terpaksa di telan lagi. Sudah pasti akan dijawab tidak. Menurut koran TienLungBaBu versi yang dibuat oleh produser di Tiongkok cukup sukses. Apakah dia pernah melihat di tv? Jawabnya juga tidak, sekali lagi dia bilang dia tidak suka cerita yang khayal begitu, dia lebih senang cerita yang realistis. Tetapi bukankah cerita SamKok pun mempunyai rating juga, dan beberapa kali diproduksi dengan berbagai versi?
Waktu turun dari taxi di BaiYunGuan, Beijing, ada orang datang menghampiri menawarkan segebung hio dan bertanya mau sembahyang ya? Oh jadi yang datang kesini rupanya cukup banyak yang sembahyang di kuil Tao yang termasyhur ini. Memang betul juga di dalam banyak sekali yang bersembahyang. Mereka laki perempuan, muda dan tua. Banyak orang bergelung rambutnya berjubah biru muda dengan pelipir biru tua berlalu lalang. Seramai inikah dulunya kelenteng ini? Siapakah yang lalu lalang di hall dan lapangan dalam ini? Apakah hanya tosu saja? Apakah orang biasa boleh masuk sampai sejauh ini?
Mendengar di TV CCTV9, seseorang perempuan, akademisi, yang cukup ahli tentang KhongHuCu di wawancara dan ditanya ini dan itu pendapatnya. Siapakah yang mendengarkan wawancara ini? Kenapa masih ada orang yang ingin belajar tentang KhongHuCu lagi? Apakah ini bukan hanya euphoria di masyarakat akademisi saja? Karena terprovokasi oleh pendapat ahli di barat sana? Jadi teringat tatkala melihat tempat sembahyang dan KwanKong, dan kemudian bertanya kepada pemilik restoran di KayHong, apakah engkau selalu sembahyang ke KwanKong? Jawabnya iya.
Di perjalanan selanjutnya sambil melamun memandang keluar jendela taxi dan merenung, masihkah semua rumah di luar sana mempunyai meja sembahyang abu leluhur? Dimanakah terlihat toko atau pertokoan yang besar yang dengan lengkap memperjualkan segala pernik untuk perlengkapan sembahyang abu leluhur, seperti yang ada di dekat SimLim Square di Singapura?
Anak muda yang bersama sama satu compartment di kereta dari ShenYang ke BeiJing menjawab lain. Dia bilang dia tidak ikut Budha atau Tao lagi atau juga KhongHuCu, atau agama yang lain. Dia seorang insinyur elektro, bekerja menjadi sales representative untuk perusahaan yang menjual trafo.
Baru datang dari Shenyang utk tugas perusahaan. Beristri dan beranak satu dan tinggal di apartemen berkamar dua dengan luas kurang lebih 100 m2. Di waktu SinCia apakah kamu datang ke orang tua dan memberi hormat ke orang tua? Jawabnya oh iya pasti. Kami sekeluarga datang dulu ke rumah orang tua saya dan kemudian ke rumah orang tua isteri. Cukup sering kita kemudian bersama sama makan di restoran merayakan SinCia.
Terbayang kembali waktu sedang mengawasi serombongan orang yang sedang berdoa di YongHeGong di Beijing. Di antara mereka ada beberapa orang bule yang ikut sembahyang dengan khusuk menggunakan hio. Apakah mereka bule2 itu hanya sekedar saja?
Tampaknya tidak, karena terlihat sangat khidmat. Begitu ramai suasana di ‘lama palace’, banyak sekali hwesio berjubah merah. Turis lokal, turis manca negara datang dalam jumlah banyak ditumpahkan oleh bus2. Apakah mereka datang mengagumi arsitektur bangunan ini saja? Apakah mereka datang untuk nostalgia?
Nostalgia waktu kapankah? Apakah mereka datang karena ingin tahu suasana di jaman dahulu? Apakah ada suasana seperti ini di jaman dahulu? Apakah ada begini banyak orang biasa di kelenteng ini, bahkan sampai ke hall utama? Bukankah mereka datang hanya karena digiring oleh operator wisata saja? Apakah agama Budha telah hidup kembali?
Memandang ke sekelompok orang, baik yang abg maupun yang tua, yang sedang asyik melihat lihat buku di WangFuJing Bookstore, buku apakah yang mereka lihat2? Bukankah mereka sedang berdiri di pojok tulisan2 yang populer saja? Tidak banyak yang berdiri di pojok yang menjual cetak ulang komik cerita2 SamKok, SeeYou dll. Tidak banyak yang berdiri di lorong lorong yang penuh dengan cetak ulang cerita silat. Bagaimanapun bukankah lebih banyak mereka yang berdiri di pojok yang menjual buku buku komputer.
Mereka yang melintas di WangFuJing, berapa banyak yang memakai pakaian tradisionil? Bukankah hampir semuanya memakai pakaian barat? Juga pakaian2 yang digantung di etalase di toko2 sekitar sini? Bukankah pakaian tradisi itu lebih banyak dipakai waitress di restoran2 atau di hotel2 saja? Mereka yang berada di WangFuJing, yang berpakaian barat ini, berapa persenkah yang sudah pernah pergi ke kelenteng tradisionil dan bersembahyang khusuk disana? Sampai jauh di pelosok desa di Sichuan sana, pernahkah kau temui pakaian tradisionil dipakai lagi, kecuali untuk nostalgia tujuan wisata saja? Berapa banyakkah keluarga yang masih mempunyai meja sembahyang abu leluhur keluarga?
Anak2 muda yang lalu lalang, yang memenuhi toko2 yang berjualan segala pernik komputer dan telepon genggam baik di Beijing, Xian, Chengdu dan Urumqi, masihkah mereka mendatangi kelenteng di hari hari tertentu? Mereka yang membeli pernak pernik hiasan SinCia, sebetulnya perayaan SinCia sudah tereduksi menjadi seperti apa? Apakah sebetulnya esensi ke’Tionghoa’an yang dipertahankan dan tidak luntur oleh jaman yang ada di Tiongkok ini?
Apa sebenarnya yang sedang terjadi di Tiongkok?
Tidakkah engkau teringat dengan cerita teman di Jakarta sana, yang selama bertahun tahun setiap tahun selalu pulang ke kota kecil di Jawa Timur di waktu lebaran untuk sungkem ke orang tuanya. Dia melakukan itu bertahun tahun sampai kedua orangtuanya meninggal semua. Untuk apakah engkau melakukan itu semua?
Bukankah engkau ingin menunjukkan kepada orang tua, engkau sekarang sudah dewasa dan sudah bisa mandiri dan punya keluarga? Bukankah engkau datang untuk menyenangkan hati mereka? Dimanakah anak2mu sekarang? Apakah engkau juga mengharapkan anakmu yang di Amerika juga pulang dengan keluarganya seperti engkau pulang dulu setiap kali lebaran? Apa yang sebetulnya engkau ingin ketahui dari anakmu? Apakah mereka sudah bisa mandiri dan menghidupi keluarganya? Apakah mereka bahagia?
Bukankah Ini Semua Hanya Persoalan Yang Manusiawi Belaka?
Kembali ke Jakarta, membaca milis budaya yang penuh dengan debat, yang satu membela ini dan yang lain menyerang, menghujat sana sini. Ditengah cercaan dan celaan. Silang pendapat. Juga mereka yang diam seribu bahasa. Sebetulnya apakah yang mereka cari? Apakah yang mereka pertahankan? Apakah yang mereka serang? Apakah mereka sedang membela budaya? Ataukah mereka sedang membela “keakuannya” (egonya) sendiri? Mereka yang sedang mencerca, benarkah mereka sedang mencerca budaya? Bukankah mereka sedang mengumbar batas batas keluasan cakrawala pandangnya?
Tentu saja akan banyak yang beragumen, bahwa dia tidak sedang membela budaya. Dia sedang berusaha mencatat kesalahan orang, agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi di masa depan. Benarkah motif yang disampaikan? Bukankah egonya yang lebih dikedepankan, karena ingin diakui kebenarannya?
Memandang seribu bunga yang mekar dan menghias lapangan TianAnMen di musim semi,
bukan kah ini semua bagaikan bunga yang mekar di musim semi?
Apakah budaya akan tersisa hanya karena dibela dengan kata2? Bukankah budaya
adalah melakukan? Apakah budaya akan hilang hanya karena dicerca? Bukankah budaya adalah manifestasi dari kebajikan? Benarkah budaya akan terkikis oleh waktu? Bukankah budaya adalah sejarah pemahaman manusia akan dirinya sendiri?
Bukankah semua budaya akhirnya seperti semua sungai yang akhirnya bermuara di satu samudra yang sama? Bukankah satu waktu akhirnya air sungaipun tiba dan tumpah di samudra. Bukankah cuma soal waktu akan terbentuk satu budaya dunia? Budaya dunia yang didukung oleh mosaik sub-budaya sub-budaya sebelumnya? Bagaikan mosaik yang memberi warna dan pola kepada kehidupan.
KhongHuCu ada karena buah pikirannya. Buah pikirannya bisa dirasakan oleh orang lain karena tindakan yang dilakukan oleh orang yang menginterpretasikan apa yang dihayatinya.
Tentu saja budaya adalah hanya sebuah konsesus sekelompok orang yang melakukannya. Selama ada sekelompok orang yang melakukan, budaya itu masih ada.
Selama budaya itu tercatat dengan rapi, masih bisa direkonstruksi kembali, selama kemudian muncul pendukungnya yang mau melakukan budaya itu, budaya akan tetap ada. Dan segala sesuatu didunia ini bukankah tergantung bagaimana seseorang menginterpretasikannya bukan karena orang lain menginterpretasikannya. Bukankah hanya sia sia belaka bersilang pendapat?
Sampai lama dan sampai jauh sekali sayup sayup suara bokhie tetap terdengar. Apakah karena terbawa angin atau karena menempel di hati?
salam,
Harry Alim