Budaya-Tionghoa.Net | Walaupun Dunia sudah tidak mampu melacak asal mula sejarah komik. Tetapi kita patut berbangga, Indonesia masih mencatat komik (strip) pertama di Indonesia. Seperti yang sudah khalayak ramai ketahui, Sejarah Indonesia atau tepatnya sejarah Komik Indonesia mencatat nama Kho Wan Gie, dan kita pun mengenal tokoh seperti : si “Put On” Nona A Gogo, agen rahasia 013 sampai tokoh Pengky (di majalah Ria Film) yang masih eksis di taon 90an.Lalu medio 60an, muncul lah tokoh si Apiao karya Gouw Kwat Siong Maka pada medio 70an, sejarah melirik kota Medan, Sumatera Utara. Kita-kita yang di kota Medan, atau minimal yang pernah mengunjungi Medan yang tidak sekedar asal lewat saja, pasti mengenal Komik Strip Pak Tuntung.
Artikel Terkait:
{module [201]}
|
|
|
Yang ingin saya bahas disini adalah Pak TunTung yang boleh dibilang belum pernah diulas oleh milis, Budaya Tionghoa. Tentu tulisan ini bukan penelitian menyeluruh terhadap Pak TunTung dan hanya bersifat “menurut pendapat saya sendiri”.
Pak TunTung muncul di Harian Analisa pada 23 Maret 1973 dan terbit setiap hari sejak itu. Sampai sekarang masih sangat dinantikan masyarakat baik tua maupun muda. Pada masa saya kecil, Pak TunTung yang biasanya terletak di pojok kiri bawah halaman 3, merupakan yang pertama dicari saya.
Pak Tuntung merupakan gambaran dari tokoh Tionghoa pekerja kantoran yang memiliki seorang putra dan seorang istri.
Tokoh-tokoh selain TunTung dan keluarganya, juga sering muncul bos nya pak TunTung, serta Kakek(bapaknya/mertuanya pak TunTung). Pak TunTung berwujud seorang pria berumur sekitar 30-40an, berambut berombak, dan mata bulat (belo).
Dengan baju berkerah lengan panjang yang digulung. Dan celana garis-garis vertikal bergaya “cut brai”. Mungkin gaya yang lagi trend pada masa kemunculannya. Komik Pak Tuntung merupakan komik strip pantomim (tanpa kata-kata), mirip si Apiao, tetapi memiliki gaya yang berbeda dengan Apiao.
Tokoh Pak TunTung lebih kepada “kritik sosial”. Semacam penyampaian kritik atau satire terhadap situasi yang lagi berlangsung di kota Medan. Misalnya sehari sebelumnya, kota Medan mati lampu. Maka niscaya, esok harinya Pak TunTung akan menyindir dengan adegan mati lampu.
Dilain waktu, ketika perampokan bersenjata sedang ramai di Medan, maka tema Pak TunTung akan seputar pak TunTung dirampok. Tetapi, tokoh Pak TunTung anti politik.
Pak TunTung tidak pernah berafiliasi dengan partai politik apapun. Pak TunTung juga bukan penggerak massa untuk menggulingkan rezim tertentu baik Nasional maupun Internasional. Singkatnya, pak TunTung tidak pernah melakukan manufer politik praktis.
Pak TunTung itu juga tidak pernah SARA, serta menghargai Bhinneka Tunggal Ika (pada event seperti hari Raya Idul Fitri atau Natal, pak TunTung akan meramaikan dengan mengunjungi rekan-rekannya yang ber-agama lain).
Pak TunTung suka memperhatikan lingkungan (kalau kota Medan banjir, pak TunTung maka esoknya, pak TunTung pasti menyindir kebanjiran karena penebangan hutan misalnya). Satu lagi yang khas dari pak TunTung, pak TunTung itu takut istri.
Yang menarik (menurut saya) adalah masa ketika SDSB/Porkas sedang marak. Pak TunTung di”manfaatkan” oleh mayoritas orang Medan sebagai sebuah “petunjuk” nomor yang akan keluar. Misalnya apabila Pak TunTung pada hari Rabu (atau Selasa, kalau tidak salah) menggambarkan Kura-Kura, maka akan ditafsirkan angkanya melalui buku penafsiran mimpi. Jadi apapun yang digambarkan pak TunTung pada masa-masa penjualan kupon SDSB, masyarakat akan sibuk menafsirkan arti dari “kartun” di Harian Analisa tersebut.
Walaupun tidak berorientasi politik, menurut Basuki, sering juga pak TunTung “ditegor” oleh penguasa OrBa. Pak TunTung diperingatkan agar tidak menyentil penguasa.
Pak TunTung Merupakan tokoh komik strip ciptaan Basuki (Hu Wei Tian). Tetapi nama TunTung bukan lah nama yang diciptakan Basuki. Nama Pak TunTung merupakan nama yang dipilih oleh pihak Harian Analisa. Asalnya adalah sebuah wilayah bernama Tuntungan, yang di Medan terkenal sebagai kawasan yang memiliki RSJ (Rumah Sakit Jiwa).
Basuki yang sudah berkarya lebih dari 33 tahun dengan Pak TunTungnya, anggap saja setiap tahun terdapat 300 hari kerja (potong hari libur dimana koran tidak terbit) maka sepanjang 33 tahun itu paling tidak telah diciptakan 9900 komik strip pak Tuntung. Sebuah karya luar biasa (kalau sampai ter-endus MURI ya).
Sampai saat ini pak TunTung masih muncul di harian Analisa. Tetapi Basuki sudah pindah dari Harian Analisa ke Harian Global. Pak TunTung tetap dilanjutkan oleh “komikus penerus” yang berusia muda, juga seorang keturunan Tionghoa. Sedangkan di harian Global, Basuki, melahirkan tokoh pak Bas. Penampakan tokoh pak Bas ini menurut saya “bagai pinang dibelah dua” dengan tokoh pak TunTung. Hanya beda gaya rambut, dan warna pakaian saja.
Siapakah pak Basuki / Hu Wie Tian tersebut?
Walaupun lahir di Simalungun (SUMUT) tahun 1952, Basuki adalah warga kota Medan, yang mengaku hobi melukis walaupun bukan keturunan pelukis. Basuki adalah alumni SMA Sutomo 1, Medan, ketika Harian Analisa akan terbit pada 1973, dia dipanggil untuk mengisi posisi kartunis. Sejak 1973 – 2006 (33 tahun) Basuki menggambar pak Tuntung tanpa henti, kecuali libur dan hari Minggu.
Bila ingin cutipun, Basuki harus menggambar beberapa gambar untuk stok, agar pak TunTung tidak pernah absen menyapa masyarakat. Sampai saat ini Pak Basuki masih tinggal di Medan dan berkarya menggambar komik,Pak Basuki memiliki seorang istri dan 3 anak (1 putri, 2 putra) Selain menekunin komik, Basuki juga berbisnis 2 kafe di Sun Plaza dan Merdeka Walk yang bernama Warung Pak TunTung yang kemudian berganti nama menjadi Warung Pak Bas.
Pada 2006, pak Basuki pindah ke harian Global dan menciptakan tokoh Pak Bas. Pada tahun 2000, pak TunTung muncul dalam seri perangko “Seri Kartun Indonesia”, sejajar dengan tokoh2 lain seperti : yaitu Panji Koming (Kompas), Mang Ohle (Pikiran Rakyat), I Brewok (Bali Pos), dan Pak Bei (Suara Merdeka).Basuki ingin terus berkarya sampai kapan pun.
Dia ingin bisa tetap menyegarkan dan menyentil, membuat warga Medan tersenyum.
Nama seperti Kho Wan Gie, Gouw Kwat Siong, Hu Wie Tian adalah seniman komik yang berketurunan Tionghoa yang namanya telah mengukir sejarah di kancah Nasional (dan mungkin ada lagi tokoh lain yang belum terpublikasi) .
Komik tentu masih dipandang dengan sebelah mata terpicing dibandingkan sastra, sehingga komik sering luput dari bahasan komunitas yang bersifat budaya. Komik tentu mungkin tidak pernah akan diulas sebagai sastra (High Art) oleh hasil riset, seperti riset orang Perancis dalam buku tebal-tebal yang marak belakangan ini.
Tetapi inilah salah satu sumbangsih utama, dari Tionghoa untuk sejarah, sebagai pionir komik di Indonesia dan juga sejarah praktisi dunia kartun yang mungkin bagi sebagian besar orang tidak ada gunanya. Tetapi, menurut saya dinamika kehidupan juga terdepiksi dalam sebuah komik strip. Beda dengan sastra yang memerlukan bahasa mendayu-dayu dan berestetika tinggi, komik yang hanya 3 – 4 kotak tersebut, tanpa kata-kata, ternyata komunikasi dapat berpindah dengan tepat dan manis. Bagi saya, secara tidak langsung komik menggambarkan perjalanan budaya.
Marilah membudayakan komik
Salam SUPER.