Photo Ilustrasi : Wulingyuan , Zhangjiajie , Hunan ,by John Philip
Budaya-Tionghoa.Net | Ketika mobil berbelok mulai tampak puncak puncak bebatuan berbentuk aneh di Zhangjiajie. Tetapi hanya setelah memasuki gerbang taman, setelah melewati gerumbul gerumbul pohon, tiba tiba terbentang dihadapan, pemandangan yang masyhur dari Zhangjiajie. Kemanapun menoleh rasanya setiap bentuk bebatuan punya keunikan sendiri dan kelebihan dibanding yang lain.
Dalam kunjungan ke Zhangjiajie lebaran tahun lalu, yang kedua setelah sekian tahun lalu, segala sesuatunya menjadi lebih mudah. Pergi ke Zhangjiajie menjadi mudah, tentunya dari ibukota propinsi Hunan di ChangSha, ini terutama dengan munculnya kereta cepat GuangZhou WuHan dan jalan bebas hambatan yang menghubungkan ChangSha dan Zhangjiajie. Pilihan menjadi banyak, tinggal disesuaikan dengan kantong, mau yang private dan eksklusif atau pakai bus umum yang murah meriah.
Dan tulisan ini adalah kenangan perjalanan terutama karena melihat film Avatar yang beberapa episode utamanya di ambil di sana.
Zhangjiajie yang terletak di pojok barat daya propinsi Hunan Tiongkok sudah lama terkenal mempunyai pemandangan yang aneh. Pemandangan yang diciptakan oleh tanah Karst yang tergerus oleh Jaman. Bebatuan karst yang kuat berdiri tegak lebih dari 200 atau 300 meter, bertahan oleh gerusan air dan angin selama beberapa ribu tahun, bahkan lebih dari sepuluh ribu tahun.
Mungkin akan beginilah budaya Tionghua nantinya, juga akan tergerus oleh jaman. Unsur budaya yang kuat akan menjadi puncak puncak budaya yang indah yang membentuk pemandangan budaya dunia yang indah.
Tidak hanya budaya Tionghua yang tergerus jaman, semua budaya akan tergerus jaman, hanya unsur yang kuat dari masing2 budaya yang akan bertahan, seperti sudah terlihat saat ini jika orang membandingkan masing2 budaya, sekarang dan masa yang lalu. Biasanya yang usang dan yang tidak praktis per lahan lahan akan ditinggalkan oleh pelaku budaya masing-masing.
Budaya Tionghua di Indonesia juga berubah. Karena pelaku budayanya juga berubah. Mungkin akan ada yang akan menyanggah pendapat ini dan mengatakan bahwa budaya Tionghua tidak berubah, hanya saja mereka yang tidak melakukan budaya Tionghua seperti apa aslinya sudah dianggap mereka bukan Tionghua lagi.
Sebagian lagi mungkin berpendapat bahwa budaya Tionghua adalah budaya yang dilakukan oleh mereka yang menganggap bahwa mereka adalah tetap keturunan Tionghua, walaupun ciri fisiknya terkadang sudah susah untuk dikatakan sebagai orang Tionghua lagi. Itu bisa saja adalah dua ekstrim pendapat di penghujung rentang definisi. Dan tentu saja masih ada kelompok yang punya pendapat dan definisi lain.
Akan rumit untuk membandingkan siapakah yang lebih Tionghua atau tidak. Misalnya membandingkan seorang encek-encek peranakan di satu desa kecil di pesisir Jawa Timur dekat Tuban yang masih melakukan boleh dibilang 100 persen adat istiadat orang Tionghua yang seperti diwarisinya dari generasi ke generasi, yang mungkin bahkan sudah tidak dilakukan lagi oleh mereka yang Tionghua bahkan di Tiongkok sana, ataukah mereka yang baru generasi kedua yang baru datang dari Tiongkok. Apakah arti dan definisi ke-Tionghua-an ?
Tetapi tulisan ini tidak bermaksud untuk berdebat di dalam definisi itu, di dalam tulisan ini budaya Tionghua di Indonesia adalah budaya Tionghua yang dilakukan oleh mereka yang dikelompokkan sebagai etnis Tionghua oleh masyarakat sekitarnya.
Masyarakat Tionghua di Indonesia sudah berubah dari jaman dulu sebelum ada Indonesia dan sekarang setelah ada Republik Indonesia. Baik dari jumlah maupun dari karakter nya. Banyak kejadian yang merubah masyarakat Tionghua. Ibarat pohon, musim panas yang panjang dan musim hujan yang panjang akan terekam dalam tebal dan tipisnya lapisan penampang pohon, seperti yang terlihat jelas di penampang potongan kayu jati.
Masyarakat Tionghua sudah mengalami masa pasang surut, sejumlah kejadian, selama beberapa ratus tahun kehadiran masyrakat Tionghua di Indonesia, baik yang mmenyenangkan ataupun yang menyakitkan , yang kemudian telah membentuk masyarakat Tionghua seperti sekarang ini. Kejadian di tahun 1740 di Jakarta adalah kekerasan fisik yang pertama yang terorganisir terhadap masyarakat Tionghua.
Suka atau tidak, kemudian salah satu yang terpenting di jaman modern ini, adalah peristiwa di tahun 1965 dan ikutannya, telah merubah masyarakat Tionghua Indonesia sedemikian rupa, sehingga mungkin tidak akan pernah kembali ke dalam karakter yang sama sebelum tahun 1965.
BANYAK YANG BERUBAH DAN TERKIKIS
Seperti bebatuan di Zhangjiajie yang tergerus oleh hujan dan angin, tergerus oleh jaman, tetapi justru menyisakan pemandangan yang indah.
Budaya Tionghua di Indonesia sudah pasti juga akan mengalami hal yang serupa, dan tidak hanya budaya Tionghua, tetapi juga semua jenis budaya, akan tergerus oleh jaman. Dan puncak puncak budaya itu akan meninggalkan pemandangan yang indah.
Yang manakah yang kan menjadi puncak budaya, hanya waktu yang akan tahu, sama halnya dengan puncak puncak yang kita lihat di ZhangJiajie apakah akan tetap bertahan seribu tahun lagi? Hanya waktu yang tahu. Beberapa puncak roboh juga, tergerus juga, walaupun demikian toh selalu melahirkan pemandangan indah yang baru.
Diluar dugaan peristiwa tahun 1965 telah melahirkan semacam `homogenisasi’ di kalangan orang Tionghua, dikotomi dikotomi dengan alasan primordial perlahan lahan menghilang. Walaupun tidak dilakukan semacam survey di kalangan anak muda Tionghua di saat ini, 46 tahun setelah tahun 1985, , agaknya cukup kasat mata dikotomi itu menghilang, misalnya di pergaulan anak muda yang sekolah di luar negeri, terutama jika dilihat dari jumlah perkawinan antara mereka yang tadinya terpisah oleh dikotomi primordial itu seperti antara totok dan bukan totok, antara jawa dan luar jawa, antara mereka yang disebut hokkian dan khek,atau hokcia, atau tiociu dsb.
Tentu saja perlu survey lebih jauh, apa sebabnya terjadi demikian, apakah karena situasi terpaksa (forced situation) atau apakah karena kehilangan ciri identitas kelompok atau karena sebab yang lain, dan tentu saja survey semacam ini bukan maksud dari tulisan ini,
Melihat kembali foto-foto kenangan pemandangan di Zhangjiajie, rasanya masih terdengar celoteh mereka yang datang dari Indonesia, yang datang dengan rombongan lewat biro biro travel. Entah itu perjalanan nya yang pertama ke Tiongkok atau perjalanan yang ke sekian kali ke Tiongkok.
Rasanya memang jadi sedikit aneh melihat mereka yang entah atas dasar apa merasa mewakili peranakan Tionghua atau mewakili yang totok. Rasanya jadi sedikit aneh membaca komentar mereka yang baru sekali ke Tiongkok dan tanpa hasil survey sudah merasa berhak bicara mewakili Tiongkok dalam hal ini dan itu. Rasanya terlebih aneh membaca komentar yang belum belum sudah begitu memojokkan dengan mengatakan gua mabok dan tobat kalau harus ikut adat istiadat mereka yang peranakan.
Sama anehnya dengan pemandangan di Zhangjiajie ini, tetapi akankah semua bebatuan berbentuk aneh yang tergerus oleh jaman, akankah mereka masih ada lagi jika nanti datang kesini lagi ? Apakah mereka termasuk yang akan kuat bertahan dengan gerusan jaman atau akan hilang di gerus air di musim hujan yang akan datang ? Tetapi itulah, merasa aneh atau tidak, semua itulah bagian dari orang Tionghua yang ada di Indonesia yang menjadi warna itu sendiri.
Semua keanehan mendatangkan keindahan. Menunggu digerus oleh jaman.
Salam,
Harry Alim , 56835
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua