Budaya-Tionghoa.Net | Di bawah ini beberapa paragraf yang menunjukkan bagaimana Jin Yong menggambarkan “cantik” dan “buruk rupa”, yang merupakan contoh paragraf-paragraf paling indah pada cerita Jin Yong.
Kutipan berikut menggambarkan kecantikan Xi Shi (See Sie), salah satu dari 4 wanita cantik pada budaya Tiongkok (Si Da Mei Nu) dikutip dari:
|
Wat Lie Kiam (Yue Nu Jian/ Pedang Gadis Yueh)
Cerita Bulanan Silat, Cersil, Nomor 2, April 2006
Penerbit: CV Integrita
Penerjemah: Zhou Fuyuan
Halaman 18:
Saat itu Hoan Lee sedang duduk di atas rumput di lereng bukit, mendongengkan sebuah cerita dari negeri Tjhouw, yang berkisah tentang pertempuran antara Puteri Siang dengan hantu gunung. Ah Tjeng duduk di sampingnya mendengarkan dengan penuh perhatian, sepasang matanya yang bening berbinar tak berkedip menatapnya.
Mendadak dia bertanya. “Puteri Siang itu apakah benar-benar secantik itu?”
Pelan Hoan Lee menyahut, “Matanya lebih bening dari air sungai ini, lebih jernih…”
“Di dalam matanya apakah ada ikan berenang?” Ah Tjeng menyela tiba-tiba.
Tanpa senyum, Hoan Lee melanjutkan. “Kulitnya lebih lembut dari awan putih yang ada di atas langit, lebih halus…”
Kembali Ah Tjeng menyela: “Masakan ada burung kecil yang terbang di kulitnya?”
“Bibirnya lebih ranum dari pada bunga merah kecil ini, lebih menyala, bibirnya membasah, lebih berkilau dibandingkan embun di atas kelopak bunga ini. Puteri Siang berdiri di tepi air, bayangannya memantul di tengah sungai Siang yang jernih. Bunga-bunga di tepi sungai jatuh malu hingga layu seluruhnya, ikan-ikan pun tak berani berenang di dalam sungai, takut merusak bayangannya yang cantik. Tangannya yang seputih salju dijulurkan ke dalam sungai Siang, begitu lembut seakan hendak larut ke dalam air…”
Tak tahan lagi Ah Tjeng memotong. “Hoan Lee, kau pernah melihatnya sendiri bukan? Kalau tidak, kenapa ceritamu bisa sangat jelas dan rinci seperti ini?”
Hoan Lee menghembuskan pelan nafasnya. “Aku memang pernah melihat dia, melihat dengan amat sangat seksama.” Yang ia bicarakan See Sie, bukannya Puteri Siang!
***
Pada kutipan di atas, Ah Tjeng menanyakan tentang kecantikan putri Siang, tetapi yang dibayangkan dan diceritakan oleh Hoan Lee adalah kecantikan kekasihnya, See Sie. Jawaban yang tidak sesuai dengan yang ditanyakan menggiring kecantikan See Sie menjadi suatu “misteri” yang tidak diungkapan langsung kepada pendengarnya (Ah Tjeng).
Kecantikan See Sie dideskripsikan dengan metafora benda-benda alam yang satu di air, yang satu di udara menjadi sebuah gambaran yang utuh tentang keindahan alam. Pertanyaan-pertanyaan Ah Tjeng melipatgandakan deskripsi tentang kecantikan See Sie, membuat deskripsi kecantikan See Sie menjadi lebih hidup dan kelihatan bergerak (ikan berenang, burung terbang) bahkan lebih dari pernyataan Hoan Lee sendiri. Pengulangan 2 kali pernyataan dan pertanyaan ini membuat percakapan ini menjadi sebentuk puisi.
Kecantikan See Sie dideskripsikan bukan hanya pada bagaimana See Sie “terlihat”, tapi juga bagaimana sekelilingnya “bereaksi” terhadap kecantikan See Sie (bunga malu hingga layu, ikan tak berani berenang). Menceritakan “reaksi” sekitar (pihak ketiga) menambah tingkat kepercayaan akan kecantikan See Sie dibandingkan hanya diceritakan oleh pihak yang melihat (pihak kedua).
Deskripsi pada bagian ini diakhiri dengan mewakili kecantikan See Sie yang begitu halus oleh tangannya yang seputih salju, kemudian Jin Yong membuat deskripsi hiperbola yang hidup dan bergerak dengan mengatakan “larut ke dalam air”.
Di bawah ini kutipan dari sumber yang sama :
Ia berlari melintasi sebuah selasar yang panjang, langkah kakinya menerbitkan gema yang nyaring karena di bawah selasar ini adalah ruang kosong. Langkah kaki See Sie sangat ringan mengambang, setiap langkahnya menyerupai petikan khim dan ketukan piepee, langkahnya punya irama yang indah yang mirip musik itu sendiri. Adalah Hoe Tjhee sendiri yang sudah membangun selasar panjang ini, dengan harapan agar dapat sering mendengar suara tindakan kaki See Sie yang seperti irama musik mengalun.
Di ujung selasar yang panjang ini, suara langkah kaki yang mirip irama musik kembali berkumandang, seperti suara piepee yang riang gembira, seperti suara yangkhim yang bening dan damai. Dari ujung sana, sebuah suara yang lemah-lembut terdengar lembut, “Siauw Pek, Siauw Pek, sungguhkah engkau, sungguhkah dirimu?” ……(halaman 28)
Sesudah pada bagian sebelumnya Jin Yong menggambarkan bagaimana kecantikan See Sie “bergerak” pada paragraf di atas Jin Yong menggambarkan bagaimana kecantikan See Sie “berbunyi”.
Lebih lanjut dari itu pada bagian akhir cerita , digambarkan sbb:
Dan, sejak hari itu, sepanjang dua ribu tahun lebih, semua orang memahami dan meyakini, ‘Putri See yang mencengkeram ulu hati’ atau ‘See Tjoa Hong Sim’ adalah wujud pemandangan yang paling indah di alam semesta ini. (halaman 28)
Dengan kalimat di atas, sebagai kalimat terakhir pada cerita Wat Lie Kiam ini, Jin Yong seolah-olah ingin meninggalkan “cap” di benak pembaca bahwa dalam “gerak” dan “bunyi”-nya, kecantikan See Sie “hidup selamanya”.
Wat Lie Kiam (Yue Nu Jian) adalah satu-satunya cerita silat pendek Jin Yong dan ditulis terakhir sesudah Kaki Tiga Menjangan (Lu Ding Ji). Kebanyakan orang tidak terlalu menyukai cerita pendek ini karena mungkin membandingkannya dengan cerita Jin Yong lain yang panjang seperti Sia Tiauw Eng Hiong yang karena jangkauan cerita-nya akan lebih unggul pada plot-nya. Tetapi sebenarnya cerita
pendek ini salah satu masterpiece Jin Yong.
Si Buruk Rupa
Di bawah ini paragraf yang menggambarkan “buruk rupa” yang dikutip dari:
Hoei Ho Gwa Toan (Fei Hu Wai Zhuan/ Kisah Tambahan si Rase Terbang)
Penerjemah: OKT
Penerbit Sanjaya, Jakarta, 1994
Jilid 10, halaman 37:
“Wan Kouwnio adalah wanita yang sangat cantik, bukan?” tanya Leng So.
Muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. “Lumayan,” jawabnya.
“Bukankah ia jauh lebih cantik, jika dibandingkan dengan aku, si wanita jelek?” tanya Leng So pula.
Mendengar pertanyaan yang tak diduga-duga itu, Ouw Hui jadi termangu-mangu. Sesudah bengong sejenak, barulah ia berkata: “Siapa mengatakan, bahwa kau wanita jelek? Dia berusia beberapa tahun lebih tua daripada kau. Tentu saja, tubuhnya lebih tinggi dan besar.”
Leng So tertawa. “Ketika berusia empat tahun, aku pernah bercermin dengan menggunakan kaca ibu,” katanya. “Ketika itu ciciku berkata: “Muka jelek, tak perlu kau mengaca. Mengaca atau tidak, jelek tetap jelek.” Hm! Aku tak memperdulikan kata-katanya. Apakah bisa menebak kejadian selanjutnya?”
“Asal kau jangan meracuni kakakmu,” kata Ouw Hui di dalam hatinya. Ia mengawasi si nona dan berkata: “Mana aku tahu?”
Leng So, yang rupa-rupanya dapat menebak jalan pikiran Ouw Hui, segera berkata sembari tersenyum: “Kau takut aku meracuni cici? Waktu itu aku baru berusia empat tahun. Hm! Besoknya semua cermin di rumahku hilang.”
“Heran benar,” kata Ouw Hui.
“Tak heran,” kata si nona sembari tertawa. “Aku membuang semua cermin itu ke dalam sumur.” Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: “Tapi sesudah itu, aku mengerti, bahwa aku beroman jelek. Walaupun tak ada kaca, jelek tetap jelek. Permukaan air sumur masih merupakan sebuah kaca besar yang setiap waktu bisa mencerminkan rupaku yang jelek. Waktu itu, benar-benar aku ingin membuang diri ke dalam sumur!” Sehabis berkata begitu, mendadak ia mencambuk tunggangannya yang lantas saja lari seperti terbang.
***
Pada kutipan di atas Jin Yong menggambarkan perasaan seorang anak kecil yang tentunya mengharapkan wajahnya cantik tetapi kenyataannya tidak sesuai yang diharapkan. Leng So kecil kemudian mem-“proyeksi”-kan keburukan rupanya kepada benda nyata yaitu cermin dan mengambil semua cermin di rumahnya dan membuangnya ke sumur, berharap bahwa jika tidak ada cermin, maka ia tidak lagi buruk rupa. Tetapi secara ironis, permukaan air sumur, tempat dia membuang cermin-cermin itu “masih merupakan sebuah kaca besar yang setiap waktu bisa mencerminkan rupaku yang jelek”.
Pada paragraf ini juga Jin Yong menceritakan balik masa kecil Thia Leng So, sang ahli racun, yang sangat tepat menggambarkan sifat dasar tokoh ini yang melankolis. Pada cerita-ceritanya, paling tidak Jin Yong 3 kali menggunakan penceritaan masa kecil yang diceritakan oleh tokohnya sendiri, yang menguatkan “sifat dasar” tokoh tersebut. Selain tokoh Thia Leng So, juga dikisahkan balik masa kecil tokoh Siau Hong dan Kang Min (Be-hujin) pada kisah Pendekar Negeri Tayli (Tian Long Ba Bu).
Diceritakan bahwa tokoh Siau Hong kecil membunuh tabib yang menolak mengobati ayahnya dan Kang Min kecil ketika tidak mendapatkan baju baru yang diinginkannya ia merobek baju indah tetangganya dan menurut kata-katanya, “Selesai kuhancurkan baju dan celana baru itu, rasa hatiku senang tak terkatakan, jauh lebih menyenangkan daripada aku memakai baju baru.” Sepanjang cerita ketiga tokoh ini bertingkah laku sesuai dengan “sifat dasar”-nya ini.
(Kurniawan ,35362)
***
Updated :
(ZFy)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua