I. Perkenalan dan keakraban dengan Presiden Soekarno.
Szetu Mei Sen lahir di Sukabumi dari keluarga Tionghoa revolusioner. Ayahnya Szetu Tjan aktivis yang bergerak dibidang Pendidikan, Kepala Sekolah Menengah Tionghoa Guang Ren dan Pa Zhong, juga ibu-nya seorang guru. Disaat Jepang masuk menyerbu Indonesia, ayah-ibu Mei Sen terlibat dalam gerakan melawan Jepang. Sedang Mei Sen kecil sekalipun baru berusia 14 tahun, bersama abangnya, Pa Sen juga sudah ikut membantu gerakan, bersama ibunya tertangkap dan dijebloskan penjara Jepang selama 8-9 bulan. Setelah Mei Sen dan abangnya lebih dahulu dilepas, mereka berdua dimasa masih kanak-kanan sudah harus memikul tanggungjawab melanjutkan kehidupan keluarga yang ditinggal ayah-ibunya, meneruskan hidup 5 bersaudara, bersama 3 adik-nya yang lebih kecil, … sampai ayah-ibunya keluar dari penjara setelah Jepang menyerah 15 Agustus 1945.
Ditahun 1946 Szetu Mei Sen baru usia 19 tahun, sudah bekerja sebagai wartawan “Tian Sheng Ri-bao”《天声日报》(Baca: Harian Thian Sheng di Jakarta), mendapat tugas ke Jogya untuk mengikuti sidang KNIP yang ternyata dilangsungkan di Kota Malang. Dalam perjalanan Kereta Api dari Jogya ke Malang terjadi pertemuan Mei Sen dengan Presiden RI Soekarno, yang kebetulan satu Gerbong. Pertemuan pertama dengan Presiden Soekarno itulah, menentukan jalan hidup diri Mei Sen kemudian, menjadi seorang yang luar biasa.
Rupanya Presiden Soekarno berkesan baik dengan pemuda Mei Sheng yang berani, jujur dan nampak cerdas itu. Presiden sangat mengharapkan Mei Sen bisa tetap berhubungan dan mencari beliau bila berkunjung ke Jogya. Nampak seperti ketemu jodoh, pertemuan dengan Presiden Soekarno berlanjut dan hubungan menjadi lebih akrab setelah Ibukota pindah ke Jakarta. Bulan Juli tahun 1950, Szetu Mei Sen untuk pertama kali diundang menghadiri Penyerahan Surat Kuasa Duta Besar Pertama RRT untuk Indonesia, Wang Ren Shu. Sejak itulah Mei Sen menjadi pendamping Bung Karno dalam setiap pertemuan dengan pejabat RRT, sebagai penterjemah bahasa Tionghoa Bung Karno.
Keakraban hubungan Mei Sen dan Bung Karno bukan saja membuat Mei Sen mudah keluar-masuk istana seperti rumah sendiri, bahkan bebas keluar-masuk ruang kerja bung Karno. Padahal tidak semua menteri Kabinet diperbolehkan masuk ruang kerja Bung Karno. Mei Sen seringkali dipanggil khusus untuk jalan pagi bersama di halaman Istana atau disore hari diminta datang ke Istana hanya untuk ngorbrol dan diajak berbincang persoalan-persoalan yang dihadapi dalam Pemerintah atau kalau diperlukan memberi informasi kejadian dan situasi kehidupan rakyat dari wartawan muda ini. Begitulah secara tidak disengaja, Mei Sen yang sejak tahun 1949 sudah menjadi wartawan Sin Po itu bukan saja menjadi sahabat-akrab Bung Karno untuk berbincang-bincang, dengan demikian sadar atau tidak Mei Sen menjadi murid baik Soekarno! Hati-nya melekat menjadi satu dengan Rakyat Indonesia! Menjadi seorang yang tidak terpisahkan dengan Perjuangan Rakyat Indonesia sekalipun lebih separoh dari hidupnya harus dilewati dalam pengasingan di Macau sampai nafas terakhir.