Tentu saja BengTek tidak pernah mengerti kenapa ayahnya tidak ikut pergi bersama mereka waktu itu. Butuh waktu yang lama untuk mengerti apa yang terjadi.
Tahun 1978, ayah Oei Beng Tek muncul di desa isterinya. Dia datang dari pulau Buru. Dia tidak mau cerita kenapa bisa sampai ke pulau Buru, dia merasa sudah berterimakasih ke Tuhan bisa berkumpul lagi dengan isteri dan anaknya. Apakah dia anggota partai terlarang waktu itu ? Banyak yang tahu dia tidak pernah aktif di kegiatan partai apapun juga. Apa dia anggota Baperki ? Banyak yang tahu dia juga bukan anggota Baperki. Lantas apa sebabnya ? Dia tidak mau cerita, kemudian belum sebulan dia pindah bersama keluarganya. Beberapa tahun yang lalu dia meninggal. Dan cerita kenapa ia sampai ke pulau Buru juga ikut terkubur bersamanya. Mungkin ia sendiri juga tidak pernah paham kenapa bisa sampai kesana.
Somat adalah teman anak anak muda komunitas Tionghua lokal di desa itu, di tahun 80’an dia sering cerita ikut memancung beberapa orang di hutan di luar desa sana. Dia benci karena ada keluarganya yang turut jadi korban di daerah Kediri sebelum tahun 1965. Apakah ceritanya benar atau tidak, tidak ada yang bisa dan tidak ada yang ingin membuktikan. Dia baru berumur sekitar 16 tahun waktu tahun 1966. Dia cerita kadang2 suka mimpi teringat kepala yang menggelinding. Akhirnya dia meninggal di usia sekitar 40 tahun.
Hong Hwat tidak pernah melihat ayahnya lagi. Terakhir dia cuma ingat satu malam selesai makan lagi bermain di depan di suruh masuk ayahnya, dan kemudian ayahnya berpamitan ke ibunya. Sejak itu ayahnya tidak pernah kembali. Dia masih kelas 5.
Cerita itu kalau di tulis bisa jadi panjang sekali, dengan variasi yang banyak sekali. Dan banyak juga yang mungkin sudah lupa detailnya. Mereka yang berumur 10 tahun di tahun 1966, hari ini berumur 55 tahun. Mereka yang sudah 20 tahun sudah 65 tahun sekarang.
Cukup banyak korban orang Tionghua di tahun 1966, mungkin sekitar 5 persen dari seluruh korban sebanding dengan persentasi orang Tionghua dari seluruh penduduk.
Di awal tahun 1966, 45 tahun yang lalu, kehidupan terasa mencekam, bahkan untuk seoarng anak kecil pun yang belum berumur 8 tahun pun sudah dapat merasakan. Itu adalah hari hari tidak boleh banyak bermain di luar. Itulah hari hari di sungai sana banyak mayat hanyut bersama air sungai yang sedang meluap.
Banjir yang kemudian datang seakan akan mencuci bersih sisa sisa keganasan yang baru saja terjadi. Sampai beberapa tahun kemudian orang tidak mau makan ikan dari sungai.
Kejadian di penghujung tahun 1965 dan di awal tahun 1966 begitu menggiriskan. Mungkin dalam rentang waktu yang cuma 3 bulan, entah berapa banyak jiwa yang melayang. Trauma yang ditimbulkan di jiwa pemuda Tionghua begitu dalam, tidak aneh waktu itu kalau banyak yang bilang jangan terjun ke dunia politik.
Apa sebenarnya yang terjadi di tahun 1965 1966 ? Pantaskah kita sebut saja permainan politik di atas yang mengakibatkan tewasnya begitu banyak orang. Mungkin ada yang setuju ada yang tidak. Tergantung anda ada di pihak mana, pihak kurban atau pihak satunya Mungkin ada lebih dari 2 pihak. Yang paling konyol kalau anda ada di pihak yang tak tahu apa apa dan menjadi korban juga, seperti ayah Oei Beng Tek.
Siapa yang harus disalahkan di tahun 1965 1966 ?
Ini adalah akumulasi dari semua cerita yang belum berakhir dengan selesainya perang dunia ke 2, jatuhnya Tiongkok ke komunis, memicu ketakutan Amerika bagwa Asia Tenggara akan jadi komunis semua dan orang Tionghua yang tersebar di Asia Tenggara menjadi agennya. Perwira perwira AD yang belajar di Amerika mendapat suntikan ketakutan ini. Kondisi kesehatan Presiden Sukarno menimbulkan pertanyaan siapa yang akan jadi penggantinya ?
Maneuver politik akibat hasil pemilu 1955 mengkhawatirkan banyak pihak yang merasa terancam.
Mungkin narasi di atas bisa ada yang tidak setuju, tetapi bukan itu maksud tulisan ini, bukan untuk berdiskusi atau berdebat tentang narasi yang menggambarkan apa yang terjadi di sekitar tahun tahun itu.
Yang menjadi pertanyaan tulisan ini adalah apakah kejadian yang dialami oleh orang Tionghua waktu itu bisa dihindari ? Bagaimana seharusnya pemimpin kalangan orang Tionghua mengayuh biduknya di saat penuh gejolak seperti itu sehingga bisa menghindari jatuhnya korban? Apa kewajiban pemimpin2 kalangan Tionghua ?
Disamping tentunya sebuah pertanyaan yang lebih besar apa yang harus dipelajari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?
Apa sebetulnya yang harus dipelajari dari pengalaman pahit tahun 1965 1966 ?
Salam,
Harry Alim.