Budaya-Tionghoa.Net | Dua minggu belakangan, terutama beberapa hari ini, Kompas – media nasional terbesar – gencar memberitakan mengenai negatifnya CAFTA (Kompas menulis ACFTA) terhadap neraca perdagangan Indonesia – China. Karena mengalirnya produk China ke Indonesia sudah tak terbendung lagi.
Segala macam pengamatan, analisa dari jurnalis, pakar ekonomi sampai dengan menteri, serentak sepakat bahwa yang “salah” adalah China! Salahnya di mana? Salahnya kenapa China jual barang bisa begitu murah, salahnya kenapa China bisa export barang-barang dengan harga yang hampir tak masuk akal, sempat dituduh juga adanya praktek dumping, dan masih panjang lagi dosa dan kesalahan China.
Praktek dumping artinya adalah barang yang sama dijual di dalam negeri lebih mahal daripada dijual ke luar negeri/export. Intinya tuduhannya seperti itu.
Sekitar satu tahun yang lalu, saya pernah menulis satu artikel berjudul CAFTA Phobia di sini: http://baltyra.com/2010/01/15/cafta-phobia/. Artikel tsb ditayangkan di Baltyra pada tanggal 15 Januari 2010 yang isinya kurang lebih menyorot ketakutan dan kekuatiran Indonesia jika CAFTA diterapkan secara penuh, akan terjadi ketimpangan neraca perdagangan dengan China. Dalam artikel tsb juga dijabarkan UNCOMPETITIVENESS Indonesia – bukan hanya dengan China, tapi secara rata-rata dengan negara ASEAN lain juga masih terhitung di bawah.
Sedikit menyegarkan kembali ingatan apakah CAFTA itu:
|
CAFTA adalah China ASEAN Free Trade Agreement. Mulai berlaku tanggal 01 January 2010 dan secara bertahap akan ditetapkan komoditas mana saja, dan negara-negara mana saja secara bertahap akan efektif menjalankan CAFTA.
Latar belakang CAFTA adalah tak lain tak bukan adalah pengembangan market yang lebih luas. Dengan jumlah total penduduk mencapai 1.7-1.8 miliar jiwa, pasar China – ASEAN merupakan pasar yang luar biasa luas dan potensial untuk seluruh anggota ASEAN dan China sendiri. Dengan total penduduk sekian banyak – mencapai sekitar 30% total penduduk dunia, adalah kekuatan ekonomi yang tidak main-main.
Apalagi jika nantinya FTA (Free Trade Area) makin terbuka bukan semata CAFTA, tapi ditambah dengan India, Taiwan, Jepang, dan kemungkinan Australia, bukan tak mungkin akan menjadi kekuatan ekonomi (dan politis, mungkin) terbesar di dunia. Jumlah penduduk akan mencapai 50% total penduduk dunia dan bisa dibayangkan berapa besar kekuatan ekonominya.
Masih di media yang sama yaitu Kompas, kalau tahun lalu yang diributkan adalah segala macam istilah dan jargon, mulai dari nasionalisme, mematikan pedagang kecil, mematikan UKM (Usaha Kecil Menengah = Small Medium Enterprise), neolib, ancaman imperialisme, dan masih banyak lagi, sekarang yang diributkan adalah dumping dan segala hiruk pikuk himbauan untuk negosiasi ulang perjanjian perdagangan.
Sungguh mengherankan bahwa sekelas menteri sebagai pengambil kebijakan baik dari segi industri dan perdagangannya kenapa justru terbawa arus kehebohan tidak jelas, padahal inti pokok permasalahannya bukanlah masalah perjanjian perdagangan yang tidak fair ataupun praktek dumping atau apapun juga namanya oleh China. Inti pokok permasalahannya adalah KETIDAKMAMPUAN Indonesia bersaing, masih sama dengan tulisan setahun yang lalu, saya menekankan bahwa UNCOMPETITIVENESS Indonesia sendirilah yang menjadi masalah terbesar.
Apa saja UNCOMPETITIVENESS Indonesia? Mari kita lihat satu per satu:
INFRASTRUCTURE
Duapuluh tahun yang lalu permasalahan perekonomian Indonesia salah satu masalah paling kritis adalah infrastruktur, duapuluh tahun kemudian masih sama berputar-putar tidak beres masalah infrastruktur.
Jalan adalah merupakan urat nadi UTAMA dalam pembangunan ekonomi. Dengan adanya jalan, ekonomi akan bergulir dan berjalan. Transportasi barang dan jasa dengan mudah dijalankan, kegiatan ekonomi berjalan dan perekonomianpun bergerak. Pemahaman ini sangat sederhana, tidak diperlukan seorang doktor ekonomi untuk mengerti pentingnya jalan untuk pembangunan ekonomi. Bukan hanya jalan biasa, lebih terutama lagi adalah pembangunan jalan tol yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain, satu daerah ke daerah lain atau satu kota ke kota lainnya.
Indonesia sangat tertinggal dalam pembangunan jalan tol ini. Tahun 1978, Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN yang memiliki jalan tol canggih, yaitu Jagorawi. Sampai hari ini, Indonesia memiliki jaringan jalan tol sepanjang 738 km. Yang berarti pembangunan jalan tol di Indonesia adalah sekitar 22 km PER TAHUN!Malaysia yang di sekitar tahun 80’an belajar bikin jalan tol dari Indonesia, sekarang mengoperasikan lebih dari 3.000 km jaringan jalan tol!
Tahun 1988 jalan tol pertama China dibangun menghubungkan Senyang dan Dalian sepanjang 400 km, sekarang China memiliki jaringan jalan tol sepanjang kurang lebih 60.000 km yang berarti pembangunan jalan tol di China adalah sekitar 2.600 km PER TAHUN. Jaringan jalan tol di China sekarang adalah terpanjang di dunia, bahkan pemerintah China menargetkan 85.000 km pada 2020.
Perbandingannya jelas sekali: Indonesia: 22 km jalan tol per tahun China: 2.600 km jalan tol per tahun
Tidak kalah pentingnya dengan jalan tol, jembatan merupakan salah satu urat nadi utama penggerak ekonomi suatu bangsa. Apalagi seperti Indonesia yang negara kepulauan, infrastruktur jembatan adalah mutlak.
Jembatan tercanggih yang pernah dibangun di Indonesia adalah Jembatan Suramadu, jembatan yang menghubungkan kota Surabaya dengan Pulau Madura. Tapi jembatan penghubung 2 pulau terpenting dalam kegiatan ekonomi Indonesia, yaitu Jawa dan Sumatera masih jauh panggang dari api.
Mengutip dari Kompas tahun 2008:
BANDAR LAMPUNG, SENIN – Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menyebutkan, pembangunan fisik Jembatan Selat Sunda (JSS) yang menghubungkan Jawa-Sumatera di Lampung ke Banten ditargetkan dimulai pada Januari 2009, dan pembangunannya rencananya akan diresmikan oleh Presiden RI.“Semula banyak yang meragukan rencana pembangunan JSS itu, padahal gagasan itu sudah berkembang sejak dulu. Mudah-mudahan awal Januari 2009 bisa dilaksanakan pembangunan tahap awalnya,” kata Sjachroedin, dalam acara “Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia” di Bandar Lampung, Minggu (18/5) malam. Ia menyebutkan, hampir 3.500 unit kendaraan melalui penyeberangan Bakauheni-Merak setiap hari, sedangkan jumlah penumpang mencapai 25.000 orang. “Selain itu, 22.000 ton batu bara dikirim setiap hari dari Tarahan ke PLTU Suryalaya. Belum lagi berapa banyak hasil bumi yang dikirim ke Pulau Jawa, demikian juga berbagai jenis barang dari Jawa ke Sumatera,” katanya. [1 ]
Ternyata Jembatan Selat Sunda ini masih merupakan keniscayaan dan sahibul hikayat belaka, yang entah kapan direalisasikannya. Sementara itu China saat ini sudah memiliki jembatan-jembatan terpanjang di dunia.Dan yang menembus record dunia adalah jembatan sepanjang 42,5 kilometer, Qingdao Haiwan Bridge, menghubungkan kota Qingdao di Provinsi Shandong China Timur dengan Kabupaten Huangdao pinggiran kota di seluruh perairan bagian utara Jiaozhou Bay, adalah jembatan terpanjang di atas air. Jembatan enam-jalur jalan hampir 5 kilometer lebih panjang dari pemegang rekor sebelumnya – Danau Pontchartrain Causeway di negara Amerika Louisiana.
Jembatan ini dibangun hanya dalam waktu 4 tahun dengan biaya US$ 8,6 miliar. Terdiri dari 450.000 ton struktur baja didukung oleh 5.200 kolom dan cukup kuat untuk menahan gempa berkekuatan 8, topan atau dampak dari kapal 300.000 ton.Qingdao Haiwan Bridge tidak akan menjadi jembatan laut terpanjang di dunia untuk waktu yang lama. Pada bulan Desember 2009, pekerjaan awal sudah dimulai untuk jembatan baru sepanjang 50 km yang akan menghubungkan Zhuhai di Provinsi Guangdong selatan, jantung manufaktur China, dengan pusat keuangan Hong Kong. Multi million dollar proyek ini diharapkan akan selesai pada tahun 2016.
Sementara itu Indonesia masih disibukkan dengan urusan penyeberangan Merak – Bakauheni yang berulang terus permasalahannya. Kemacetan demi kemacetan sepanjang hampir 20 km yang meluas sampai ke tol Jakarta – Merak, penantian para pengemudi truk/angkutan selama berhari-hari, pemborosan dan pembengkakan biaya yang luar biasa terjadi dari waktu ke waktu.
Kereta Api merupakan salah satu moda transportasi yang sangat efisien dan memiliki efek menggerakkan perekonomian secara masif. Transportasi masyarakat banyak dari satu tempat ke tempat lain merupakan salah satu komponen penting perekonomian.
Transportasi masyarakat luas dari tempat tinggalnya ke tempat kerja secara nyaman dan lancar, secara langsung memiliki dampak produktivitas yang luar biasa. Bandingkan saja jika setiap hari harus dikepung dan dihadang kemacetan dari tempat tinggal ke kantor, dan dari kantor untuk beraktivitas sehari-hari.
Sejak 1997 sampai hari ini, presiden negeri ini sudah berganti empat kali, rencana dibangunnya MRT (Mass Rapid Transport) untuk Jakarta hanyalah tinggal senandung utopia, berbarengan dengan senandung utopia satu lagi yaitu monorail.
Masih berkutat dengan matinya tanda listrik kereta api ataupun KRL, sementara China sudah meluncurkan bullet-train tercepat di dunia yang bernama CRH-380-A, membukukan record kecepatan 486.1 km/jam pada uji coba dan rata-rata 348 km/jam operasional.
LISTRIK
Menurut data dari World Bank tahun 2007, konsumsi listrik per capita Indonesia adalah 566 kWH, sementara China di angka 2.332 kWH. Konsumsi daya listrik sebesar itu tentu saja bukan semata-mata kebutuhan rumah tangga, tapi juga kebutuhan industri. Tingginya konsumsi listrik adalah salah satu penanda menggeliatnya industri.Beberapa tahun ke depan, China akan memimpin di Asia untuk kapasitas terpasang yang sudah berbilang GigaWH.
Hanya melihat dua aspek paling utama perekonomian tsb, dengan jelas dapat dilihat bahwa jika Indonesia tidak melakukan perbaikan, sampai kapanpun tidak akan bisa bersaing dengan China, dan besar kemungkinan bahkan akan makin jauh tertinggal dengan tetangga-tetangganya sesama negara ASEAN.
Belum lagi jika dilihat mengenai pungutan liar di setiap jembatan timbang di seluruh Indonesia, buruknya kualitas jalan yang ada, rendahnya disiplin dan kesadaran masyarakat akan hukum dan aturan lalu lintas, dan tentu saja masalah utama yang sedari dulu sampai sekarang tidak pernah bisa disentuh, yaitu KORUPSI.Semakin hari semakin luar biasa aksi-aksi korupsi ini, sebut saja 2 kasus belakangan yang sampai sekarang tidak ada kejelasan sama sekali, yaitu kasus Gayus dan kasus Melinda Dee. Belum lagi kasus kejahatan luar biasa terhadap umat manusia Lumpur Lapindo, makin menambah panjang daftar ketidak-kompetitifnya Indonesia dengan di kawasan kandang sendiri ASEAN.
Masalahnya bukan ada pada China dengan segala kebijakan ekonomi strategisnya, ataupun para perundingan dan perjanjian perdagangan regional ASEAN – China. Masalahnya ada pada Indonesia sendiri yang sangat tidak kompetitif dalam era perdagangan bebas yang makin berkembang sekarang ini. Sayang sekali, bahkan media nasional sekelas Kompas sekalipun, analisa dan pembahasannya begitu dangkal berkutat di perjanjian perdagangan dan peraturan menteri ini dan menteri itu. Tidak satupun di media nasional terbesar itu membahas atau mengupas permasalahan inti dan krusial yang sebenarnya.
Anggap saja semua perjanjian perdagangan dan semua peraturan memihak dan memberikan kemudahan 100% kepada dunia usaha Indonesia, tapi jika masalah-masalah krusial di atas tidak tersentuh, yakinlah akan tetap sama tidak mampu bersaing. Entahlah apa yang ingin disampaikan Kompas kepada pembacanya? CAFTA phobia kah? Sinophobia[2] kah? Pendangkalan masalah kah?
Pranala Luar : http://baltyra.com/2011/04/18/cafta-phobia-atau-sinophobia/
kamsia,
Aji
Catatan Kaki :
[1] Kompas , “Jembatan Selat Sunda Bakal Terpanjang Di Dunia” , 2008.
[2]Sinophobia (from Ancient Greek Sinae “the Chinese” + Ancient Greek φόβος, phobos, “fear”) or anti-Chinese sentiment is the fear of or dislike of China, its people, or its culture. It often targets Chinese minorities living outside of China and is complicated by the dilemma of immigration, development of national identity in neighbouring countries, disparity of wealth, fall of the past central tribute system and majority-minority relations. In countries with small Chinese minorities, the economic disparity can be remarkable. For example, in 1998, ethnic Chinese made up just 1% of the population of the Philippines and 3% of the population in Indonesia, but controlled 40% of the Philippines’ private economy and 70% of the Indonesian private economy (Indonesian analysts believe this is a false claim since most of Indonesia’s wealth was controlled by the military.) In Malaysia the low birth rate of Chinese decreased its relative population from one half to one third. One study of the Chinese as a “market-dominant minority” notes that “Chinese market dominance and intense resentment amongst the indigenous majority is characteristic of virtually every country in Southeast Asia”.
Appendix:
Global Competitiveness Index 2010:
Indonesia 44
Malaysia 26
Brunei 28
Thailand 38
Logistics Performance Index 2010:
Singapore 2
Malaysia 29
Thailand 35
Philippines 44
Vietnam 53
Indonesia 76
Referensi:
http://www.jasamarga.com/sekilas-jasa-marga.html
http://info.worldbank.org/etools/tradesurvey/mode1b.asp
http://www3.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessReport_2010-11.pdf
http://www.apnadesi.net/2010/12/worlds-fastest-train-crh380a-china.html
http://www.jpmorgan.com/cm/BlobServer?blobcol=urldata&blobtable=MungoBlobs&blobkey=id&blobwhere=1158623171450&blobheader=application%2Fpdf
http://www.eia.doe.gov/oiaf/ieo/ieoecg.html
http://www.djlpe.esdm.go.id/modules.php?mod=6&sub=1049
http://www.google.com/publicdata?ds=wb-wdi&met=eg_use_elec_kh_pc&idim=country:IDN&dl=en&hl=en&q=electricity+consumption+per+capita