Sikap Egaliter Masa Sukarno
Sikap egalitar dalam pemakaian istilah ini berlangsung hingga akhir masa pemerintahan presiden Republik Indonesia pertama almarhum Soekarno. Ketika tahun 1965 terjadi perubahan suasana politik di tanah air, muncul sebagai penguasa baru Soeharto dari TNI. Gencar di tonjolkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) telah mencoba memberontak pada Republik, pada masa itu PKI sangat dekat dengan presiden Soekarno dan kedua pihak juga dekat dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang berpaham komunis. Timbul kecurigaan bahwa RRT telah mendukung pemberontakan ini, suasana ini menimbulkan hysteria masa sikap anti komunis, anti PKI, dan anti RRT.
Kampanye yang berimbas juga pada sikap anti etnik Tionghoa di tanah air, sesama warga Negara di republik ini.
Dalam suasana demikian ketika diadakan Seminar Angkatan Darat II di Seskoad, Lembang, pada 25-31 Agustus 1966. Muncul pada risalah akhir seminar kesimpulan : “… untuk menghilangkan perasaan inferior pada orang kita dan di lain pihak menghapus perasaan superior pada golongan yang bersangkutan dalam negara kita, maka adalah tepat untuk melapor bahwa seminar memutuskan untuk menggunakan lagi sebagai sebutan untuk Republik Rakyat Tiongkok dan warganya, Republik Rakyat Cina dan warga Negara Cina. Hal ini dapat dibenarkan dari segi historis dan sosiologi.” Laporan ini dipersiapkan oleh wakil panglima angkatan darat Panggabean.
Pernyataan ini kemudian diterapkan dalam lingkup kenegaraan berupa Keputusan Presidium Kabinet no.: 127/kep/12/1966 Ketua Presidium Kabinet tentang Peraturan ganti nama bagi warga negara Indonesia jang memakai nama Cina, Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967, dan surat edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967. Intinya berupa larangan pelaksanaan dimuka umum segala hal yang bertautan dengan budaya dan kepercayaan etnik Tionghoa serta penggunaan istilah resmi kata Cina mengganti kata Tionghoa dan Tiongkok. Sikap politik dan peraturan yang didasari oleh pemikiran permusuhan dan pembedaan rasialis etnik; sesuai suasana politik nasional ketika itu.
Ketika tahun 1998 suasana politik bergulir kearah perubahan demokrasi, pada masa pemerintahan presiden almarhum Gus Dur ( Abdurrahman Wahid) dengan Keppres 6 Tahun 2000 dicabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967. Tetapi tidak turut disebut mengenai keppres dan surat edaran lainnya. Setelahnya kembali masyarakat Indonesia dapat melaksanakan dan bersama-sama melihat kegiatan budaya yang berhubungan dengan etnik Tionghoa.
Dalam suasana baru ini media masa kembali menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa tercampur aduk dengan istilah China, Chinese, dan Cina. Sebagian masyarakat yang mengetahui mengenai sejarah dan nuansa gonta-ganti istilah ini lebih memilih memakai kembali istilah Tiongkok dan Tionghoa.