ISTILAH CINA
Dalam bahasa Belanda sebutan geografis bagi Tiongkok adalah: Chi’na, dan warganya Chinees/en. Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Belanda istilah ini di adopsi dalam bahasa setempat masa kolonial: Cina, Cino dst. Pada rumpun bahasa kontinental Eropah terdapat banyak istilah yang mirip, bahasa Inggris: China; Chinese, bahasa Jerman: Chinesische, bahasa Perancis: Chinois. Ada beberapa pendapat mengenai asal akar kata dari istilah ini.
Menurut Prof. Dr. A.M. Cecilia Hermina Sutami, SS., M.Hum [1] , pada naskah pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di Universitas Indonesia, tgl 15 Oktober 2008 hal. 2, tertulis pada catatan kaki bahwa kata “Cina”, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “Daerah yang sangat jauh”. Kata “China” sudah berada di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 th sebelum Masehi. Pada kesempatan itu Prof Agnetia Maria Cecilia Hermina Sutami (kelahiran Palembang 15 Februari 1957), membacakan pidato pengukuhan berjudul “Linguistik Sinika:
Perkembangan Teoretis dan Penerapannya dalam Pengajaran Bahasa Mandarin di Indonesia .” ia ditetapkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Linguistik juga merupakan pengajar tetap Program Studi Cina di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI.
Dalam buku The Cambridge History of China, Volume I, the Ch’in and Han Empires 221 BC to AD 220 . Twitchett Denis, Loewe Michael. Ditulis mengenai naskah kuno India Arthashastra, penulisnya Kautilya; adanya lempeng logam tembaga bertulisan. Prasasti ini menyebut tentang juru cina sebagai orang yang bertugas mengurus pedagang/pemukim yang berasal dari Cina. Diduga, istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta, Cīna ( चीन ), yang sudah dipakai menamai daerah Tiongkok paling tidak sejak 150M.[2]
Seorang misionaris Jesuit Italia; Martin Martino menulis Novus Atlas Sinensis, Vienna 1655. Ia dianggap sebagai pelopor ilmu geografi dan sejarah Tiongkok bagi dunia pengetahuan Eropah. Ketika itu ilmuwan Eropah mengetahui mengenai adanya Cathay dari beragam tulisan cendekiawan Arab dan Persia. Dari penjelasan Martin Martino barulah didapat kesimpulan bahwa Cathay adalah identik dengan Tiongkok. (Dalam bahasa Inggris lama: Cathay, bahasa Portugis: Catai, dan bahasa Spanyol: Catay) . Ia memperkirakan istilah dari bahasa Sanskerta ini dikutip dari nama dinasti Qin (秦 dilafalkan tchin) yang berkuasa (221 – 206 BC) atau salah satu kerajaan pada masa dinasti Zhou yang memiliki nama serupa. Dalam kosa kata asli bahasa Tionghoa sendiri tidak pernah ada istilah Cina atau pun China. Semua istilah yang serupa hanya merupakan kreasi budaya Eropah, berupa penamaan dari pihak asing luar.
Istilah yang awalnya bersifat netral ini, kemudian hari lambat laun di Indonesia berubah maknanya karena pengunaan yang setereotip bernada mengejek dan negatip. Akibat politik kolonial Belanda yang menggunakan pendatang etnik Tinghoa menjadi buffer, alat untuk berhubungan dengan penduduk setempat. Sebab kelompok Tionghoa ini telah lebih lama bercampur, bergaul dengan penduduk asli. Dimanfaatkan sebagai perantara perdagangan, diberi hak memungut pajak, hak monopoli dst, dalam berjalannya sejarah memberi kesan negatip pada masyarakat. Pengunaan kata Cina masa itu sering diasosiasikan dengan segi buruk. (Bandingkan dengan kata yang bermakna dan nuansa sama dalam bahasa Inggris : Chink, chinky )
Pada awal abad 20 oleh warga etnik Tionghoa mulai dikemukakan istilah baru Tionghoa dan Tiongkok (lihat uraian sebelumnya). Pemakaian kata Cina menghilang dari penggunaan bahasa Indonesia yang santun, baik dalam tulisan maupun lisan.
Pada tahun 1965 ketika terjadi peristiwa G-30S, emosi masyarakat dipicu oleh pernyataan dari pihak Angkatan Darat yang menuduh bahwa PKI komunis terlibat dengan gerakan tersebut. Berimbas pada kelompok etnik Tionghoa juga, sebab pada masa itu PKI sangat dekat dengan almarhum presiden Soekarno dan negara RRT.
Setelah seminar AD di Bandung Agustus 1966 menyimpulkan usulan penggantian kata Tionghoa dan Tiongkok dengan kata Cina. Kesimpulan yang didapat dalam suasana bermusuhan dan konteks panasnya suasana politik ketika itu. Lalu dikeluarkan beberapa keputusan oleh pemerintahan Soeharto.
Sejak ini dimulailah pemakaian kata Cina secara resmi dalam kosa kota bahasa Indonesia. Hal ini berlangsung hingga berakhirnya pemerintahan Soeharto. Dengan berjalannya waktu selama pemerintahan Soeharto perlahan – lahan kata Cina ini tidak terasa lagi nuansa perjorasinya (merendahkan). Seiring dengan meredanya emosi anti PKI, anti komunisme dan rasa permusuhan dengan negara RRT.