Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Tentang Masalah Cina
Baru setelah pemerintahan almarhum presiden Abdurrachman Wahid mencabut Instruksi Presiden (Inpres) nomor 14 tahun 1967, sebagian masyarakat kembali menggunakan kata Tionghoa dan Tiongkok. Bagi mereka yang selama 33 tahun tidak pernah mengalami masa sekitar 1965 dan sebelumnya, kurang dapat memahami perbedaan makna dan nuansa pemakaian kedua kata tersebut dibandingkan dengan kata Cina.
SURAT EDARAN PRESIDIUM KABINET AMPERA TENTANG MASALAH CINA
NO. SE-06/Pres.Kab/6/1967
1. Pada waktu kini masih sering terdengar pemakaian istilah “Tionghoa/Tiongkok” di samping istilah “Cina”
yang secara berangsur-angsur telah mulai menjadi istilah umum dan resmi.
2. Dilihat dari sudut nilai-nilai ethologis-politis dan etimologis-historis, maka istilah “Tionghoa/Tiongkok” mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, sedang istilah “Cina” tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dynasti dari mana ras Cina tersebut datang, dan bagi kita umumnya kedua istilah itupun tidak lepas dari aspek-aspek psykologis dan emosionil.
3. Berdasarkan sejarah, maka istilah “Cina-lah yang sesungguhnya memang sejak dahulu dipakai dan kiranya istilah itu pulalah yang memang dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.
4. Lepas dari aspek emosi dan tujuan politik, maka sudah sewajarnya kalau kita pergunakan pula istilah “Cina” yang sudah dipilih oleh Rakyat Indonesia umumnya.
5. Maka untuk mencapai uniformitas dari efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat Pusat maupun Daerah kami harap agar istilah “Cina” tetap dipergunakan terus, sedang istilah “Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan.
6. Demikian, untuk mendapat perhatian seperlunya.
Jakarta, 28 Juni 1967
PRESIDIUM KABINET AMPERA
SEKRETARIS
Ttd.
SUDHARMONO, SH
BRIG.JEN TNI
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1967
TENTANG
AGAMA KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT CINA
KAMI, PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar.
Mengingat:
1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat 1 dan pasal 29.
2. Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 Bab III Pasal 7 dan Penjelasan pasal 1 ayat (a).
3. Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967.
4. Keputusan Presiden Nomor 171 Tahun 1967. jo. 163 Tahun 1966.
Menginstruksi kepada:
1. Menteri Agama
2. Menteri Dalam Negeri
3. Segenap Badan dan Alat pemerintah di Pusat dan Daerah.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina sebagai berikut:
PERTAMA:
Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.
KEDUA:
Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.
KETIGA:
Penentuan katagori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina diatur oleh menteri Agama setelah mendengar pertimbangan JaksaAgung (PAKEM).
KEEMPAT:
Pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri bersama-sama Jaksa Agung.
KELIMA:
Instruksi ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal, 6 Desember 1967
PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Jenderal TNI
Catatan Kaki :
1 Eddie Lembong, Istilah Cina, China dan Tionghoa. Nabil news. Juni 2010. Halaman 27.
1. 2 Kautilya was the key adviser to the Indian king Chandragupta Maurya (c. 317-293 B.C.E.), who first united the Indian subcontinent in empire. Written about 300 B.C.E., Kautilya’sArthasastra was a science of politics intended to teach a wise king how to govern. KAUTILYA’s Arthasastra was one of the greatest political books of the ancient world. Max Weber recognized this. “Truly radical ‘Machiavellianism,’ in the popular sense of that word,” Weber said in his famous lecture “Politics as a Vocation,” “is classically expressed in Indian literature in the Arthasastra of Kautilya (written long before the birth of Christ, ostensibly in the time of Chandragupta Maurya: compared to it, Machiavelli’s The Prince is harmless.”
Although Kautilya proposed an elaborate welfare state in domestic politics, something that has been called a socialized monarchy, he proved willing to defend the general good of this monarchy with harsh measures. His analyses are fascinating and far-reaching, such as his wish to have his king become a world conqueror, his evaluation of which kingdoms are natural allies and which are inevitable enemies, his willingness to make treaties that he knew he would break, his doctrine of silent war or a war of assassination and contrived revolt against an unsuspecting king, his approval of secret agents who killed enemy leaders and sowed discord among them, his view of women as weapons of war, his use of religion and superstition to bolster his troops and demoralize enemy soldiers, his employment of the spread of disinformation, and his humane treatment of conquered soldiers and subjects. Roger Boesche. Kautilya’s Arthasastra on War and Diplomacy in Ancient India. The Journal of Military History 67.1 (2003) 9-37