An eye for eye only ends up making the whole world blind. — Mahatma Gandhi
Revenge is often like biting a dog because the dog bit you. — Austin O’Malley
God has a Big Eraser. — Billy Zeoli
Forgiveness is the final form of love.– Reinhold Niebuhr
Budaya-Tionghoa.Net| Ada sebuah kisah klasik tentang Abe Lincoln yang dengan jelas membuktikan, bahwa kasih itu praktis, bahwa rekonsiliasi itu mungkin, dan bahwa pengampunan adalah obat penawar luka kemanusiaan yang paling mujarab.
Kisahnya adalah ketika Abe melakukan kampanye kepresidenan. Saingannya yang paling utama adalah seorang yang bernama Stanton. Stanton ini sangat membenci Lincoln. Ia memakai setiap kesempatan sekecil apa pun untuk menjatuhkan musuhnya, kalau perlu dengan fitnah. Tapi akhirnya Abe yang terpilih.
Ketika tiba saatnya presiden terpilih tersebut menentukan susunan kabinetnya, ia membuat pembantu – pembantu terdekatnya terhenyak, terutama tatkala ia memilih Stanton sebagai menteri yang memegang posisi terpenting waktu itu, yaitu menteri peperangan. Penasihat demi penasihat bergantian mengingatkan Lincoln, memprotes pilihan sang presiden. Tapi Lincoln tetap pada pendiriannya.
Sikap kenegarawanannya nampak sekali ketika ia berkata, “Ya, saya tentu mengenal Tuan Stanton, serta menyadari semua hal buruk yang pernah ia katakan mengenai saya. Tapi setelah mempertimbangkan kebaikan seluruh negara, saya tiba pada kesimpulan bahwa ialah orang yang paling baik untuk jabatan tersebut.”
Pilihan Lincoln terbukti tidak meleset. Stanton menjadi menteri yang paling baik, dan pembantu Lincoln yang paling setia. Ketika beberapa tahun kemudian, Abe mati terbunuh, dari semua komentar terbaik tentang Lincoln, komentar Stanton adalah yang terbaik. Ia berkata, “Lincoln akan tetap hidup dari masa ke masa,” “He now belongs to the ages.”
Kehebatan kuasa kasih juga diperlihatkan oleh Lincoln, dengan kata-katanya yang tetap lembut kepada lawan-lawannya, juga sewaktu permusuhan antara Utara dan Selatan sedang keras-kerasnya. Ketika seorang wanita bertanya,
bagaimana ia dapat melakukannya, Abe menjawab, “Nyonya, bukankah aku justru menghancurkan musuh-musuhku, ketika aku mampu mengubah mereka menjadi teman?”
Budaya-Tionghoa.Net|8501