Budaya.Tionghoa.Net| Berawal dari Bandung, kota bentukan Belanda, disanalah ilmu arsitektur berkiblat. Pemerintah kolonial tidak setengah – setengah, mereka perlu pula untuk mendatangkan tenaga – tenaga ahli dari Belanda. Perlu pula untuk membuat sebuah gedung bergaya Eclectic, pencampuran antara gaya pribumi dengan kolonial. Pemerintah perlu untuk menterjemahkan kolonialisme dalam bahasa pribumi. Megah, super dan besar untuk jaman itu, dengan ruang – ruang kelas yang sama misinya dengan ruang – ruang kantor gedung yang lain : kekuasaan kolonial di Hindia Belanda yang tidak terbatas melalui ilmu pengetahuan yang berpihak.
Tidak pernah ada Indonesian Architecture saat itu. Tidak ada proses penciptaan dan perumusan arsitektur yang berpihak bagi pribumi, baik ideologi, gaya, ekonomi dan kepentingan. Semua ilmu arsitektur diimpor langsung dari barat, saat semua sedang tergila – gila dengan beton, kaca, Klasisisme, De Stijl dan Meneer Berlage. Orientasi pada fungsi menjadi acuan yang penting dalam arsitektur. Merubah pola spasial masyarakat tradisional yang masih memelihara kehidupan tradisi. Ideology arsitektur modern dibawa ke Hindia Belanda melalui proyek – proyek perkotaan. Menjadi modern ialah mengikuti trend saat itu.
Kota dan Ras
Dalam sebuah fungsi tentunya mengandung sebuah atau beberapa buah kepentingan. Ketika spasial kota dirancang dengan modern, mensyaratkan penafsiran kebutuhan menurut penguasa kota. Le Corbusier dengan semangat revolusionernya untuk kesamaan hak, berganti rupa dengan semangat kolonialisme untuk kelanggengan penjajahan di Hindia Belanda. Lebih merupakan Fasisme yang serupa pada rejim Nazi di Jerman daripada Art Deco. Semua persepsi yang buruk tentang kolonialisme dibungkus rapi dengan gaya – gaya teknis spektakular : garis, massa dan ruang, menjadikan bangunan colonial sebagai salah satu sasaran amuk massa pribumi saat revolusi kemerdekaan. Memori kolektif yang menyiksa dan mendendam tertumpahkan
Dari pengetahuan yang mendalam tentang pribumi, pemerintah colonial menjadi paham pluralitas dari masyarakat pribumi, sehingga perlu untuk membedakannya dan menjadikan perbedaan. Berangkat dari kebijakan rasis yang mempermasalahkan perbedaan, penetrasi kolonial pada tata kota dirancanakan dan diimplementasikan. Fungsi – fungsi yang membagi masyarakat pada ras tertentu dengan hak dan kewajiban yang timpang diperagakan. Pembentukan ruang – ruang kota baru menjadi salah satu perang yang tidak berdarah, tetapi secara kontinyu dan sistematis oleh pemerintah colonial untuk menguasai.
Pemerintah Kolonial, Timur Jauh dan Pribumi adalah ras – ras pada negara colonial beserta kemampuannya masing – masing untuk berperan dalam kota yang telah dikontrol dengan ketat. Ada parameter sepihak oleh ras yang mendominasi untuk menentukan bagaimana – dengan cara apa bisa berperan. Lebih jauh lagi dimana ras itu bisa tinggal. Pada beberapa kota, selalu saja kelas pemerintah colonial menempati ruang yang legal dan tercantum dalam peta, Timur Jauh pada terkonsentrasi pada fungsi perdagangan dan pribumi berserakan illegal, tidak terdefinisikan dengan sebaran kampung – kampung kota.
Keadilan yang berangkat pada warna kulit ini meninggalkan memori kolektif mendalam. Banyak cerita lisan, bagaimana seseorang harus melewati sebuah jalan ke jalan yang lain dikenakan cukai jalan hanya karena dia sipit, hitam atau beraksen melayu ataupun keluarga dengan ras tertentu harus membangun pada wilayah yang dialokasikan pada ras itu pula. Kebijakan politik pemerintah kolonial menciptakan sebuah ruang yang asing dan tertekan. Asing karena bukan merupakan kearifan lokalitas pribumi yang menekankan pada pluralitas dan tertekan karena penetrasinya melalui berbagai macam instrument ( cukai, sekolah, baju, rambut, perdagangan, dll ) yang sepertinya cukup remeh temeh, tapi terkondisikan tanpa sadar dan sistematik.
Instrument yang tercipta merupakan alat yang mengendalikan dan mengontrol perkembangan ruang berdasarkan ras secara ketat. Dipilih pemimpin pada tiap – tiap kantong kelas yang mengabdi pada kepentingan pemerintahan colonial sebagai agen colonial yang berada pada tingkatan grass root. Berpengaruh, beruang dan bersenjata, sebuah kombinasi sempurna. Terciptanya kantong – kantong ras merupakan kemunduran kehidupan kota yang menguntungkan bagi pemerintah colonial.. Setiap individu yang berpindah dari ruang kota ke ruang lainnya menjadi sosok yang tidak sama dan dikucilkan karena identitas yang berbeda. Suatu hal yang aneh jika seorang Gujarat tinggak di kawasan Pecinan.
Diskriminasi menjadi perbincangan umum yang tidak terjawab. Tanpa sadar, para pribumi harus berhitung – hitung tentang masalah cukai ketika hendak berpergian ataupun mata pemerintah colonial yang selalu melotot melihat siapa saja dan apa saja yang berdagang dan diperdagangkan pada pasar tradisonal. Individu berkulit tertentu haruslah bertingkah laku dan berwatak menurut kulit tersebut. Sekian lama berhadapan dengan peraturan yang membatasi antar ras, terjebaklah individu tersebut dalam kantong – kantong ras.
Orientasi pada dalam diri saja memunculkan kenangan memori pada identitas masa lalu. Bayang – bayang kejayaan masa lalu adalah obat manjur bagi penderitaan diskriminasi. Muncullah duplikasi arsitektur pada kantong – kantong etnis : Pecinan, Kampung Arab, Bugis, dll yang diwujudkan semirip mungkin dengan fantasi kejayaan dan kesejahteraan masa lalu. Ketidakberdayaan diungkapkan dengan symbol – symbol pahlawan rakyat yang kuat dan implisit dengan bermacam – macam mitos dan cerita lisan. Meneguhkan sekaligus menghibur.
Kantong Ras Kota
Ruang kota yang terkotak – kotak dalam fungsi yang rigid terpaku terhadap perkembangan kota secara spatial. Antara dimensi kota dengan perilaku para kantong ras tidak sebanding. Pemerintah kolonial melihat hal tersebut merupakan suatu anomali dari fungsi yang telah ditetapkan dan perlu untuk diperbaiki. Bahwa telah ada tatanan yang rusak dan dikembalikan seperti fungsi yang semula. Pijakan pada fungsi ruang – ruang kota memudahkan pemerintah kolonial untuk menterjemahkan keinginannya, sekaligus mengontrol ras.
Kantong – kantong diskriminasi ras akan menimbulkan konflik horisontal, akibat dari persepsi terkondisikan tentang hak dan kewajiban antar kelas yang timpang. Persoalan sistem kota yang tidak adil bergesar menjadi persoalan antar ras. Usaha – usaha frustasi dimulai baik secara individu maupun berkelompok untuk merebut haknya masing – masing. Sejarah mencatat beberapa kerusuhan besar akibat diskriminasi ras ini yang terjadi dalam ruang kota. Cina, Arab, Gujarat, Jawa, Bugis, Batak, dan puluhan etnis lain dalam kota berjibaku memperebutkan fungsi – fungsi yang telah disetting oleh pemerintahan kolonial. Tidak pernah ada pencerahan dari setiap konflik horisontal.
Sekali lagi, pemerintah kolonial selalu menjadi akhir pemenang dari semua konflik itu. Selalu ada penataan ulang antar ruang antar etnis dalam kota, tetapi konflik masih saja terjadi. Akar permasalahan berupa diskriminasi ras tidak pernah diselesaikan, tetapi dipelihara untuk memelihara kolonialisme. Definisi antar ruang kota tidak terjadi bebarengan pada tiap ras, tetapi masih ditangan penguasa kolonial.
Danu Primanto
Jejakota 2004
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/8434