Budaya-Tionghoa.Net | Kubrawiyya , Kuburunye , Kubulinye adalah salah satu cabang Sufisme yang berasal dari Persia dan didirikan oleh Najmuddin-e Kubra di abad ke 13 dan masuk ke Tiongkok di masa Dinasti Ming [1368-1644] yang dibawa masuk dari Bukhara. Tradisi mengatakan bahwa yang membawa masuk Sufisme Kubrawiyya di Tiongkok adalah keturunan Nabi Muhammad yang disebut Muhuyindeni. Dikatakan bahwa dia mengunjungi Tiongkok tiga kali.
|
Kunjungan pertama dilakukan dikawasan Guangdong dan Guangxi. Kunjungan kedua ke Hunan dan Hubei. Dan dalam kunjungan terakhirnya Muhuyindeni mengunjungi Xinjiang , Qinghai , Gansu dan Henan. Dia kemudian tinggal kawasan Dongxian dalam sebuah desa yang bernama Dawantou.
Pada saat Muhuyindeni mencapai Linxia dia sangat miskin. Kemudian dia berubah dari semula sebagai misionaris menjadi bagian dari masyarakat Dongxiang*. Dia merubah marganya menjadi Zhang sebagaimana seluruh penduduk di Dawantou juga bermarga Zhang. Dan akhirnya namanya menjadi Zhang Yuhuang.
Nama ordo yang dia bentuk bernama Zhang menhuan* [Zhangmen]. Zhang di Dawantou terbagi kedalam dua desa. Zhang dari Yinwa kemudian memeluk agama Islam. Sementara Zhang di Yangwa tetap memegang tradisi Han , dan kemudian banyak dari mereka migrasi ke Tangwan. Sesudah Republik Rakyat Tiongkok berdiri di tahun 1949., meskipun ada perbedaan masalah religi diantara dua grup–Han dan Hui — menyalakan api unggun dan merayakan tahun baru Imlek bersama. Marga Zhang di Tangwan mengetahui bahwa marga Zhang di Dawantou masih serumpun.
Dalam kunjungan Muhuyindeni yang ketiga ke Tiongkok , dia juga membawa dua orang anaknya. Satu anaknya kemudian pulang ketempat asalnya . Sementara anak satunya lagi Aihenaiti Kebiruo Baihedaji tetap tinggal di Tiongkok bersama ayahnya di Dawantou. Muhuyindeni kemudian menjadi Ahong [Imam] di masjidnya yang sudah berdiri. Dikatakan bahwa Muhuyindeni fasih berbahasa Chinese , dan juga bahasa setempat , dialek Dongxiang yang masih dalam rumpun bahasa Turkic.
Muhuyindeni menghabiskan sisa hidupnya di Dongxiang dan dimakamkan di Dawantou. Anaknya , Aiheinati Kebiruo Baihedaji melanjutkan rintisan ayahnya dengan menjadi Ahong di masjid Dawantou. Usaha Aihenati untuk mengembangkan ajaran Islam didaerahnya mendapat tentangan dari masyarakat setempat mengadukannya ke pihak pemerintah. Pejabat terkait kemudian mengirimnya ke penjara dan tak lama kemudian Aihenati meninggal.Pengikutnya di Dawantou membangun sebuah “gongbei”拱北* untuknya . Pada tahun 1928 , tentara Guomindang membakarnya.
Aibenati memiliki lima anak. Setelah wafatnya , lima anaknya diusir . Dua anak tertua kemudian pergi ke Kangle Caotan. Anak ketiga pergi ke Shuimochuan dan menjadi seorang Lama , dimakamkan di Huanghewan. Anak keempat di tahan di Chang’an dan kemudian dibebaskan dan diperbolehkan kembali kerumah. Dia adalah Aibu Wusimanai yang menjadi Ahong generasi ketiga sesudah kakeknya dan ayahnya.
Kisah sejarah ini berlangsung dari tradisi oral dikalangan masyarakat Muslim setempat.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Catatan Kaki :
*Menhuan , 門宦 , adalah istilah yang digunakan untuk ordo Sufi di Tiongkok.
*Dongxiang adalah salah satu dari 56 grup etnis di Tiongkok yang mayoritas tinggal di daerah otonomi Linxia – Hui
*Gongbei 拱北 adalah sebuah istilah yang digunakan etnis Hui untuk tempat pemakaman yang berpusat di makam seorang master Sufi.
Referensi:
Dillon , Michael , “China’s Muslim Hui Community , Migration , Settlement , Sects” , 1999, Curzon Press, p127-128
Olson , James , ” An Ethnohistorical Dictionary of China” , Greenwood Press , 1998 , Connecticut , p65