KETURUNAN CINA DI INDONESIA
Pada masa lalu, warga keturunan Cina di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kelompok besar, namun saat ini ketiga kelompok tersebut sudah berbaur menjadi satu sehingga sulit dibedakan oleh „orang luar”. Walaupun demikian, sisa-sisa ex masing-masing kelompok kalau iteliti lebih jauh masih dapat dilihat perbedaannya.
Kelompok pertama adalah yang disebut Cina Peranakan, yaitu keturunan dari nenek moyang yang datang ke Indonesia sejak ratusan tahun yang lampau sampai dengan akhir abad ke 19. Semua anggota keluarga kelompok ini sehari-hari berbicara bahasa Indonesia atau bahasa daerah, dan jarang sekali yang bisa berbahasa Cina. Pada masa pra kemerdekaan, sebagian besar dari mereka tinggal di daerah-daerah dan mereka diyakini sebagai keturunan dari nenek moyang yang kawin campur dengan pribumi. Pada masa lampau cara berpakaian mereka, terutama kaum wanitanya lebih meniru pribumi, yaitu berkebaya atau menggunakan pakaian yang mirip dengan pakaian adat setempat.
Setelah kemerdekaan, anak-anak mereka sekolah di sekolah-sekolah negeri berbaur dengan pribumi setempat, sehingga walaupun bukan pemeluk agama Islam mereka cukup akrab dengan agama Islam. Pekerjaan mereka sebagian besar pegawai atau pedagang kecil kebutuhan sehari-hari. Sejalan dengan kemajuan yang dicapai dalam masa Orde baru, generasi mudanya banyak yang melanjutkan sekolah ke kota-kota besar, dan setelah menyelesaikan sekolah mereka berkeluarga di kota besar sampai sekarang. Sebagian dari mereka yang berhasil banyak yang bekerja sebagai profesional, dosen, dan pejabat perusahaan swasta. Sebagian kecil berhasil menjadi pengusaha menengah tetapi jarang sekali yang berhasil menjadi pengusaha besar, kecuali William Surjadjaja (pendiri Astra).
Kelompok kedua adalah orang-orang Cina Peranakan yang pada masa pra kemerdekaan tinggal di kota-kota besar dan sekolah di sekolah-sekolah Belanda. Sehari-hari mereka berbahasa Belanda campur Indonesia, dan jarang yang bisa berbahasa dearah sehingga mereka sering diejek sebagai Cina Belandis. Pekerjaan mereka umumnya sebagai profesional atau pekerja pada perusahaan Belanda, hampir tidak ada yang berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai kelompok elite nya kaum Cina Peranakan saat itu, tetapi sekarang sudah hampir tidak ada lagi, kecuali orang-orang tua yang berumur di atas 60 tahun. Sejalan dengan menyusutnya orang-orang yang bisa berbahasa Belanda, mereka berbaur dengan kelompok pertama sebagai Cina Peranakan. Pada jaman pemerintahan Bung Karno, sebagian anggota kelompok ini dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan di pemerintahan, bahkan adapula yang diangkat sebagai Menteri Negara seperti Tan Po Gwan, Ong Eng Die, Siaw Giok Tjan, Oeij Tjoe Tat, dll. Kalau tidak salah, Yap Thiam Hien yang terkenal karena kegigihannya menegakkan hukum di Indonesia berasal dari kelompok ini.
Kelompok ketiga adalah yang sering disebut sebagai Cina Totok, yaitu orang-orang Cina yang datang ke Indonesia sekitar PD I dan II, ketika timbul revolusi di negeri Cina sampai berkuasanya pemerintahan komunis di bawah Mao Ze Dong. Anggota kelompok ini sekarang jumlahnya tinggal sedikit dan umumnya sudah berumur lebih dari 60 tahun. Pekerjaan mereka sebagian besar adalah pedagang / pengusaha atau pegawai pada perusahaan milik kerabatnya sendiri. Banyak di antara mereka yang sukses sebagai pengusaha besar saat ini, terutama dari suku Hok Chi‘a seperti : Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Mochtar Riyadi, dan beberapa konglomerat non pri lainnya dari kelompok Tapos. Anak cucu mereka merupakan generasi peralihan antara Cina Totok dan Cina Peranakan. Dalam komunikasi dengan orang tuanya mereka umumnya masih menggunakan bahasa Cina, sedangkan dalam pergaulan sehari-hari generasi mudanya menggunakan bahasa campuran, Cina, Indonesia dan bahasa dearah kasar. Mereka juga banyak yang berhasil sebagai pengusaha besar mengikuti jejak orang tuanya, tetapi jarang sekali yang bekerja sebagai profesional. Bagi pihak yang sering berhubungan dengan warga keturunan Cina, tidak sulit membedakan Cina Peranakan dengan Cina Totok melalui bahasa dan kebiasaannya dalam pergaulan sehari-hari, meskipun secara fisik mereka tidak dapat dibedakan. Dalam masalah agama, sebagian besar dari kelompok ini penganut agama Kong Hu Cu dan Budha, hanya sebagian kecil yang menganut agama Kristen, terbalik dengan kaum Cina Peranakan yang sebagian besar menganut agama Krsiten terutama generasi mudanya, dan hanya sebagian kecil yang memeluk agama Kong Hu Cu dan Budha.
Perbedaan-perbedaan di atas tidak lepas dari peraturan pemerintah dalam bidang kewarganegaraan, di mana kelompok pertama yang orang tuanya lahir di Indonesia, berdasarkan PP.10 / 1959, secara otomatis dapat mengajukan Kewarganegaraan Indonesia, dan konsekwensinya tidak boleh sekolah di sekolah yang berbahasa Cina. Sedang kelompok kedua yang orang tuanya lahir di luar Indonesia, jika ingin mendapatkan kewarganegaraan Indonesia harus melalui naturalisasi yang dalam prakteknya sangat sulit. Konsekwensinya mereka tidak boleh sekolah di sekolah Indonesia, kecuali ada ijin khusus dari PDK, jadi mereka hanya bisa sekolah di sekolah khusus untuk orang Cina yang bukan warga negara Indonesia.
Ketika tahun 1966 sekolah Cina ditutup, otomatis mereka yang pada tahun 1966 berada pada usia sekolah antara 5 sampai dengan 20 tahun tidak bisa sekolah lagi. Yang kaya dapat melanjutkan sekolah ke Singapore, Hongkong, atau Taiwan. Beberapa tahun kemudian, ketika pemerintah mulai melonggarkan ijin untuk masuk sekolah Indonesia, yang masih anak-anak banyak yang masuk sekolah Indonesia, tapi yang saat itu sudah remaja dan sudah bisa membantu orang tuanya berdagang kebanyakan tidak melanjutkan sekolah tetapi meneruskan berdagang.
Karena pengalamannya dalam berdagang sejak usia dini, otomatis mereka lebih piawai dalam mencari peluang-peluang business dibandingkan yang lain, sehingga mereka banyak yang sukses sebagai pengusaha besar. Segi-segi lain yang perlu mendapat perhatian adalah pandangan mereka yang cenderung agak sulit dimengerti, mungkin akibat trauma yang dihadapi ketika mereka harus drop-out dari sekolahnya. Beberapa orang “tokoh” dari kelompok ini yang pernah populer sampai ke tingkat nasional di antaranya adalah: Endang Wijaya (kasus Pluit), Edy Tanzil, Hong Lie (boss judi yang kabur ke Singapura dan diduga ada kaitannya dengan pembunuhan Njoo Beng Seng yang sama-sama boss judi), dll.