HIPOTESIS (KESIMPULAN SEMENTARA)
(Karena kesimpulan akhir harus didukung oleh data hasil penelitian di lapangan, sedangkan penelitian seperti ini hampir mustahil dilakukan di Indonesia saat ini.)
1. Merebaknya sentimen anti Cina dewasa ini berkaitan erat dengan pemerintahan yang tidak demokratis, yang tidak dapat menerima adanya perbedaan pendapat. Untuk mengamankan kekuasaannya, pihak penguasa hanya mengutamakan orang-orang yang berasal dari sukunya sendiri. Pejabat-pejabat yang jujur dan berprestasi selalu dipensiun lebih awal atau disingkirkan sebagai Dubes kalau tidak mau menuruti kemauan penguasa.
Untuk menutupi segala tindakannya, penguasa merekayasa keadaan sedemikian rupa seolah-olah keadaan negara masih memerlukan penanganan khusus, salah satunya adalah rekayasa kerusuhan rasial terhadap warga keturunan Cina. Cara ini untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap tindakan diktator dan korupsi para penguasa, padahal beberapa puluh (ratus) orang Cina dimanfaatkan untuk mengelola uang hasil korupsinya.
2. Orang-orang sekelas Edy Tanzil yang hanya berpendidikan SD diajak kolusi oleh para penguasa dan diberi rekomendasi untuk memperoleh kredit yang sangat besar. Setelah berhasil saham kosongnya ditarik dan Edy Tanzil dijerumuskan sebagai subversi sambil diexpose ke-Cina-annya. Boss boneka yang mengelola uang hasil korupsi mereka dengan sengaja diexpose melalui berbagai media massa (milik mereka juga) bahwa business-nya kurang etis, diskriminatif, dan segudang predikat jelek lainnya. Dengan demikian orang awam akan beranggapan bahwa semua keturunan Cina pasti kaya dari hasil business curangnya, padahal mayoritas warga keturunan Cina hidupnya juga melarat. Hal yang sama dengan versi yang berbeda-beda diterapkan pula terhadap orang-orang keturunan Cina dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan dunia hitam seperti Hong Lie dan Hartono, di mana pelindung mereka sebenarnya adalah para penguasa juga. Dengan cara ini maka “musuh bersama” dapat dipelihara terus menerus.
3. Krisis moneter yang terjadi saat ini, dalam waktu singkat telah merontokkan business kelompok tertentu dari warga keturunan Cina, yang menjadi boneka penguasa atau kolusi dengan penguasa. Perusahaan demikian umumnya cenderung mencari utang sebesar- besarnya sehingga dalam waktu singkat berkembang menjadi perusahaan raksasa, padahal perkembangan tersebut bukan karena prestasi para pengelolanya.
Pada saat krisis moneter mereka tidak mampu lagi menanggung utang dan beban bunga yang tinggi.
Sebaliknya kelompok lain yang berusaha atas keringatnya sendiri; yang umumnya berskala kecil atau menengah, meskipun sangat terpukul dengan krisis moneter ini tidak sampai membuat mereka bangkrut karena mereka menggunakan kredit bank dalam jumlah yang wajar. Ini suatu bukti bahwa tidak semua warga keturunan Cina tukang kolusi, masih banyak di antara mereka yang memiliki business yang bersih.
4. Sebagian organisasi massa Islam dan Pesantren disusupi oleh agen-agen pemerintah yang bertujuan menggiring mereka mengikuti rencana pemerintah, di antaranya tindakan brutal terhadap warga keturunan Cina dan non Islam sehingga tampaknya seolah-olah dimotori oleh organisasi massa Islam. Mereka memanfaatkan orang-orang extrim (yang pasti ada dalam agama apapun) dibantu para pencoleng dan kaum preman yang telah dibina secara intensif melalui Pemuda Pancasila yang pimpinannya beberapa hari yang lalu (Yoris, Jan.98 – pen) tertangkap basah berjudi. Para pemimpin ormas Islam sekelas Gus Dur atau Amien Rais, tidak mungkin merestui tindakan seperti ini, bahkan tantangan Gus Dur untuk menunjukkan dalang sebenarnya dalam kerusuhan Tasikmalaya, ternyata tidak ditanggapi.
Kalau kita telusuri waktunya, ternyata tindakan radikal tersebut muncul setelah terbentuknya ICMI di bawah pimpinan Habibie, yang notabene adalah organnyaGolkar. Tidak berlebihan jika ada yang berasumsi bahwa semua ini taktik adu domba ormas Islam dengan warga keturunan Cina dan non Islam. Dilarangnya koalisi Mega-Bintang memperkuat asumsi di atas.
5. Keadaan negara kita saat ini sudah demikian parahnya, krisis moneter yang terjadi diyakini berbagai kalangan sebagai penjabaran dari krisis politik. Tetapi pemerintah tetap ngotot bahwa krisis moneter akibat US$ diborong pihak swasta (dalam arti perusahaan milik warga keturunan Cina) untuk membayar utangnya, dan tidak ada sedikitpun pengakuan bahwa ini adalah akibat krisis politik. Kalau rupiah melemah dari Rp.2.450 menjadi sekitar Rp.3.500, bisa diterima bahwa ini adalah krisis moneter dan bisa dijelaskan dengan berbagai teori.
Secara teoritis, tanpa ulah spekulan di kawasan Asean pun suatu saat Indonesia akan dilanda krisis moneter akibat program yang kacau balau dalam impor barang modal untuk keperluan investasi, yang campur aduk dengan kepentingan pribadi para penguasa. Dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun setiap tahun investasi selalu lebih besar dari tabungan, sehingga neraca pembayaran kita selalu defisit – di mana sebagian besar pinjaman luar negeri dan investasi untuk kepentingan “Soeharto Incorporations”.
6. Peranan media massa sangat dominan untuk menyebarkan isu bahwa kredit macet adalah ulah pengusaha keturunan Cina, dan sekaligus menutupi kredit macet yang dibuat “Soeharto Inc”. Taktik tarik ulur dari Soeharto sebagai presiden RI dengan IMF, diduga untuk memberi kesempatan “Soeharto Inc” menarik keuntungan dari fluktuasi dolar yang sangat tajam sampai terkumpul dana yang cukup untuk menutupi kredit macet yang dulu uangnya sudah disimpan di bank-bank luar negeri. Sebagai orang yang sangat “nasionalis”, beliau merasa bertanggung jawab untuk menjaga agar dalam permainan ini rupiah tidak terlalu ambruk, sehingga dipertahankan pada level Rp.6.000 – Rp.7.500 (akhir 97 s/d Jan.98 – pen).
Oleh karena itu nilai tukar tersebut bertahan cukup lama. Sayangnya ide cemerlang ini tercium pihak lain (atau mungkin juga kerja sama) yang meniru taktik yang sama dalam rangka investasinya di Indonesia.
7. Krisis moneter yang melanda kawasan Asean dan sekitarnya, diduga dimotori oleh kekuatan asing yang dalam rangka globalisasi bermaksud memindahkan (relocation) industrinya ke kawasan Asean yang biaya produksinya murah. Apabila mata uang di negara Asean – khususnya Indonesia menjadi sangat rendah, maka harga beli pabrik di Indonesia dalam US$ menjadi sangat murah. Diaturlah suatu kerja sama antara IMF, para kreditor, dan calon investor di Indonesia, untuk menekan perusahaan-perusahaan debitor di Indonesia yang tidak bisa membayar utangnya, agar mau mengconversikan utangnya sebagai penyertaan modal (saham).
Langkah pertama adalah penguasaan sektor perbankan sebagai faktor kunci, sehingga dalam persyaratan yang diajukan IMF Indonesia harus menghapus pembatasan penyertaan modal asing sebesar 49% di dalam perbankan Indonesia. Tahap berikutnya baru memasuki sektor riel (industri) yang menguntungkan, dan sasarannya adalah perusahaan milik warga keturunan Cina yang sebelumnya sudah dipojokkan lebih dahulu (untuk tujuan lain). Ironis sekali, pemerintah lebih rela ekonomi Indonesia dikuasai oleh orang luar daripada oleh “anak tirinya”, karena anak kandungnya sendiri tidak mampu mengelola. Kalau rencana ini sudah terlaksana, saya yakin nilai tukar US$ terhadap rupiah akan turun kembali ke level yang wajar, dan sentimen anti Cina otomatis akan mereda.
8. Segala tindakan negatif dari orang-orang keturunan Cina selalu dikaitkan dengan a-nasionalisme, padahal tindakan para penguasa korup sekarang ini jelas-jelas a-nasionalisme. Cukup banyak orang-orang keturunan Cina (yang tidak terkenal) yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi yang tidak kalah dengan pribumi. Terlalu absurd jika nasionalisme warga keturunan Cina seolah-olah hanya diwakili oleh para pengusaha terkenal, yang karena tingkat pendidikannya belum tentu mengerti arti kata nasionalisme.
Walaupun mereka kaya dan tinggal di daerah elite, tidak berarti bahwa mereka kaum elite warga keturunan Cina. Apakah gambaran nasionalisme dari kalangan pribumi dapat diwakili oleh keluarga Soeharto, peragawati, artis terkenal, atau oleh para pedagang di pasar dan orang-orang yang setiap hari berkeliaran di tempat ramai tanpa tujuan jelas?
9. Apabila hukum dapat ditegakkan, tindakan-tindakan brutal terhadap warga keturunan Cina akan mereda dengan sendirinya, dan sekaligus kolusi antara penguasa dengan kelompok tertentu warga keturunan Cina juga akan berhenti. Dalam pemerintahan yang bersifat anarkhis, para penguasa berusaha mempertahankan kekuasaannya selama mungkin sambil menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Hukum akhirnya ditegakkan hanya untuk membenarkan dan melindungi penguasa semata-mata. Setelah pemerintah yang bersih pasca Soeharto (dan Habibie – pen) terbentuk di Indonesia, diharapkan hukum akan dapat ditegakkan dengan adil dan hak azasi manusia dihormati dengan baik, termasuk persamaan hak warga pribumi dan non pribumi dalam segala bidang.
10. Keturunan Cina di Indonesia meskipun ciri-ciri pisiknya hampir sama, kalau diteliti lebih lanjut ternyata terbagi dalam 2 kelompok besar (semula ada 3 kelompok besar, tetapi 2 kelompok pertama telah melebur menjadi satu), yang mudah dibedakan dari budaya, bahasa, agama, pekerjaan, makanan, pendidikan, dan lain-lain. Kelompok pertama sangat dipengaruhi oleh budaya setempat, bahkan sebagian besar diyakini sebagai keturunan pribumi dari garis ibu sedangkan kelompok kedua masih kuat dipengaruhi tradisi negara asalnya.
Tidak adil kalau kedua kelompok ini disama ratakan karena dalam banyak hal mereka seringkali bersimpangan jalan, bahkan banyak anggota kelompok pertama yang enggan bermenantukan anggota kelompok kedua atau sebaliknya.
Kalau pemerintah sungguh-sungguh berniat mengadakan asimilasi antara warga pribumi dan keturunan Cina demi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa (nasionalisme Indonesia), program yang akan diterapkan harus memperhatikan perbedaan kedua kelompok tersebut dengan tetap berpedoman pada hak azasi manusia – bukan dengan program untuk meng-Islam-kan warga keturunan Cina melalui kawin campur yang cenderung dipaksakan. Kawin campur akan otomatis terjadi dengan sendirinya dalam lingkungan pergaulan masing-masing, jika kedua belah pihak – pribumi dan keturunan Cina- dapat hidup rukun dan damai.