EVOLUSI BOSS BONEKA
Orang-orang keturunan Cina yang dijadikan boneka tahu, bahwa dia sebenarnya hanya dijadikan boneka saja. Maka mereka juga berusaha agar suatu saat dapat memiliki perusahaan sendiri, dan sekaligus melepaskan diri dari posisinya sebagai boneka. Dari berjalannya waktu, mereka ini akhirnya berhasil menempatkan diri sebagai pemilik perusahaan yang sebenarnya, dan dari status boneka sebagian beralih menjadi partnership.
Dengan berkembangnya perusahaan boneka-boneka tersebut, membuka kesempatan kepada para pengusaha kecil untuk menjadi pemasok. Orang-orang keturunan Cina yang lapangan kerjanya dibatasi oleh pemerintah, melihat hal ini sebagai suatu peluang yang baik. Maka bermunculanlah pengusaha-pengusaha gurem dengan modal seadanya yang memasok barang ke perusahaan-perusahaan boneka tersebut. Mereka hanya bermodalkan kejujuran dan kepercayaan dari pemilik barang serta ditunjang oleh naluri dagang mereka yang cukup kuat, perjalanan business mereka relatif lancar dan akhirnya bisa berkembang menjadi perusahaan-perusahaan baru berskala menengah yang tersebar dimana-mana.
Perlu dicatat, bahwa pada dasarnya warga keturunan Cina yang dijadikan boss boneka adalah orang-orang yang buta politik yang sekedar mencari makan dan tidak pernah memikirkan diskriminasi rasial. Prinsip mereka, barang dari manapun akan dibeli kalau bagus dan harganya murah tanpa melihat pemasoknya pribumi atau non-pribumi. Para pemasok pribumi yang barangnya tidak dapat bersaing, melempar kekesalannya dengan mengatakan bahwa perusahan tersebut diskriminatif. Nalar sehat membuktikan, bahwa hampir semua boss kenyataannya tidak pernah berhubungan langsung dengan para pemasok, yang melakukan transaksi sehari-hari dengan pemasok adalah pegawainya yang sebagian besar adalah pribumi.
|
Sejalan dengan pemerataan yang diartikan secara keliru, pimpinan-pimpinan daerahpun meniru apa yang dilakukan oleh pemimpin pusat. Maka di daerahpun bermunculan pula boss-boss boneka yang sebagian besar warga keturunan Cina yang sudah memiliki dasar kuat dalam business, sekaligus memajukan pula usaha-usaha dari pengusaha-pengusaha gurem yang bertindak sebagai pemasok, baik pribumi maupun non pribumi.
Kalau hanya dilihat dari sudut pandang ini, maka tidak heran kalau banyak warga pribumi khususnya yang kurang memahami akar permasalahan yang sebenarnya beranggapan bahwa para pengusaha Cina tukang kolusi. Dipilihnya warga keturunan Cina untuk menjadi boss boneka oleh para koruptor tentu melalui berbagai pertimbangan, yang utama karena kemampuan businessnya dan yang kedua mereka mudah diatasi serta tidak neko-neko karena tidak punya decking.
Secara manusiawi warga keturunan Cina mau dijadikan boneka, karena mereka butuh hidup sedangkan lapangan pekerjaannya terlalu dibatasi oleh pemerintah. Sebaliknya orang-orang yang mau dijadikan boneka oleh para koruptor, adalah orang-orang yang egois yang tidak pernah memikirkan kepentingan orang banyak, dan otomatis mereka tidak pernah memikirkan kepentingan negara. Mungkin mereka berpendapat, kalau mereka menolak toch akan ada orang lain yang mau, jadi apa salahnya diterima. Orang-orang seperti ini pantas disebut tidak mempunyai rasa nasionalisme, termasuk pula para koruptor penyandang dana yang berada di balik layar.
Namun dalam hal ini perlu diingat, bahwa tidak semua pengusaha keturunan Cina asalnya adalah pengusaha boneka yang mengelola uang pejabat hasil korupsi. Masih banyak pengusaha keturunan Cina yang dari hasil keringatnya sendiri, mampu berkembang menjadi pengusaha besar. Para pemasok terhadap perusahaan boneka juga tidak dapat dituduh telah melakukan kolusi. Sebagai tolok ukur sederhana, dapat dipakai patokan skala perusahaan dan tahun pendirian perusahaan tersebut. Kalau perusahaan yang bersangkutan didirikan sebelum Orde baru, kemungkinan besar perusahaan ini adalah perusahaan yang benar-benar berdiri atas jerih payahnya sendiri. Sebaliknya perusahaan yang didirikan setelah Orde Baru terutama yang dalam waktu singkat berkembang sangat fantastis, kemungkinan adalah hasil kolusi dengan oknum pejabat melalui berbagai cara.
Secara politis pemerintah mengakui bahwa pengusaha non pribumi sengaja diberi fasilitas khusus mengingat kemampuan businessnya yang diharapkan dapat dijadikan pionir untuk memajukan perekonomian negara, yang pada akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja. Memang akhirnya mereka mampu memberikan lapangan kerja yang cukup besar bagi masyarakat luas, namun sebenarnya mereka tidak pernah diberi fasilitas khusus (kecuali yang dijadikan boneka oleh para koruptor).
Fasilitas yang tersedia akan diberikan kepada siapa saja, baik pengusaha asing maupun pengusaha dalam negeri – pribumi ataupun non pribumi – sepanjang mereka mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Untuk pengusaha asing disediakan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan untuk pengusaha dalam negeri disediakan UU No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Beberapa pengusaha besar dari kalangan pribumi yang sukses antara lain Bakrie, Sahid, Jusuf Kalla, dsb. Fasilitas yang diberikan melalui kedua UU tersebut sebenarnya hal-hal yang wajar yang diperlukan dalam investasi, yang di negara lain tidak dianggap sebagai sesuatu yang istimewa (ingat dalam masa Orde Lama Indonesia tertutup untuk investasi asing dan modal besar).
Tanpa fasilitas ini, tidak akan ada investor asing yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Fasilitas khusus yang sering dipublikasikan pemerintah seolah-olah diberikan kepada pengusaha non-pribumi, sebenarnya hanya diberikan secara terbatas kepada pihak keluarga sendiri seperti: Tutut, Tomy, Bambang, Sigit, Titik, Mamiek, Probosutedjo, dan Sudwikatmono. Ingat proyek jalan tol nya Tutut, monopoli cengkehnya Probosutedjo yang kemudian direbut Tomy, Mobnas-nya Tomy, listriknya Bambang, dan lain-lain yang terlalu panjang untuk diuraikan semuanya di sini.