CINA DAN STRATEGI POLITIK
Dari uraian singkat di muka, kiranya dapat diasumsikan bahwa sentimen anti Cina yang cukup hangat belakangan ini (sejak awal 1997 – pen) adalah salah satu strategi dari pemerintah sekarang (rejim Soeharto – pen) yang didominasi Golkar dengan korupsi dan epotismenya. Untuk membersihkan Golkar dari tuduhan anti Cina; yang sampai sejauh ini masih diperlukan untuk mendapat bantuan dari negara lain, dicarilah kambing hitam agar Golkar tetap bersih dan pemerintah Suharto tetap berjaya.
Pilihan yang terbaik adalah fanatisme agama Islam dan PPP. Agama Islam yang secara tradisional selama ratusan tahun hidup berdampingan secara damai dengan agama lain dijadikan alat untuk mempercepat munculnya “musuh bersama”, yang kebetulan kurang pengikutnya dari kalangan warga keturunan Cina. Pesantren-pesantren secara sistematis disusupi agen-agen pemerintah untuk menggiring murid-muridnya yang masih polos, menjadi anti Cina yang di-identik-kan dengan Kristen. Padahal penganut Kristen di Indonesia, sebagian besar adalah warga pribumi dari daerah Indonesia Timur, dan tidak semua warga keturunan Cina penganut Kristen. PPP sebagai wadah aspirasi politik dari kalangan Islam (sebelum reformasi -pen) otomatis memikul dampaknya, sehingga dianggap kurang bersahabat oleh warga keturunan Cina dan non Islam. Tindakan brutal terhadap toko-toko milik warga keturunan Cina, Gereja dan Vihara sekitar Pemilu 1997 yang lalu sering dikaitkan dengan kampanye PPP. Padahal para petinggi PPP bukan orang bodoh untuk melakukan hal-hal seperti itu, yang otomatis tidak akan mendapat simpatik dari kalangan moderat Islam di dalam negeri maupun di luar negeri. Kalau diteliti lebih lanjut, tindakan brutal terhadap warga keturunan Cina yang silih berganti terjadi setelah terbentuknya ICMI di bawah pimpinan Habibie yang kader Golkar, sebelumnya tindakan brutal seperti itu jarang sekali terjadi.
|
Sayangnya PPP dalam usaha meningkatkan pendukungnya kurang tegas memisahkan antara anggota/pendukung yang sebenarnya dengan pendukung palsu” yang ingin mendiskriditkan PPP atau mengail di air keruh. Tantangan Gus Dur untuk membuktikan dalang kerusuhan yang sebenarnya dalam peristiwa Tasikmalaya; yang sebelumnya mengkambing-hitamkan salah satu organisasi sosial Islam yang erat kaitannya dengan ibundanya, tidak pernah mendapat tanggapan dari pihak penguasa. Dihembuskanlah isu bahwa kalau PPP sampai menang Pemilu, maka Indonesia akan dijadikan negara Islam dan semua warga keturunan Cina harus masuk Islam. Oleh karena itu dalam setiap kampanye Pemilu selalu ditekankan (secara tertutup) bahwa warga keturunan Cina dan kalangan non Islam lainnya harus memilih Golkar, kalau tidak posisi Golkar menjadi agak lemah dan mudah disaingi PPP. Kalau hal ini sampai terjadi, tentu akan menjadi bencana besar bagi warga keturunan Cina dan non Islam. Suatu taktik kampanye yang hebat bukan? Padahal secara logika, 3 dari 5 fraksi yang ada di DPR (Golkar, Utusan Daerah dan Wakil ABRI) identik dengan Golkar, sehingga kalaupun perolehan suara untuk ketiga kontestan Pemilu sama besar, Golkar akan tetap unggul di DPR / MPR karena didukung fraksi ABRI dan Utusan Daerah yang ditunjuk langsung oleh presiden tanpa melalui Pemilu.
Dengan demikian, maka aspirasi politik warga keturunan Cina hanya memiliki 2 alternatif, yaitu Golkar dan PDI. Sebaliknya apabila banyak warga keturunan Cina yang menjadi anggota PDI, maka diperkirakan PDI akan menjadi ancaman utama bagi Golkar, karena warga keturunan Cina ini diyakini akan menjadi penyumbang dana yang sangat potensial. Dengan dukungan dana yang kuat, maka PDI akan mampu melaksanakan berbagai program sosial kemasyarakatan yang akan meningkatkan simpati masyarakat luas. Apalagi kalau PDI dipimpin oleh Megawati yang bagaimanapun masih membawa karisma Bung Karno, yang sampai saat ini masih banyak mendapat simpati masyarakat.
Oleh karena itu pemerintah dengan berbagai cara berusaha memecah belah PDI, dan puncaknya adalah kasus Surjadi. Terhadap warga keturunan Cina sendiri, secara sistematis dilakukan intimidasi oleh kalangan intelijen AD dengan disertai ancaman. Pengusaha yang ketahuan menjadi pendukung PDI, diancam ijin usahanya akan dicabut. Perusahaan pendukung Golkar yang mempekerjakan orang-orang PDI juga diancam, sehingga sebagian terpaksa mem PHK nya. Salah satu contoh yang mendapat sorotan luas adalah Laksamana Sukardi yang (dipaksa) mengundurkan diri dari jabatan Direktur Lippo Bank dengan alasan yang tidak masuk akal, sekalipun dia bukan keturunan Cina.
Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi warga keturunan Cina untuk menampung aspirasi politiknya selain Golkar. Dengan dukungan dana dari para pengusaha besar keturunan Cina (sebagian adalah milik pejabat juga, yang bukan milik pejabat dalam prakteknya dipaksa) maka Golkar menjadi tak tertandingi oleh partai-partai lain.
Pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang rakus, otomatis akan memanfaatkan hal ini dengan meminta proyek-proyek baru dari pemerintah untuk menutup kerugian dana yang disumbangkan ke Golkar. Sumbangan ke Golkar ini akhirnya berlangsung secara rutin dan berkembang menjadi sumbangan ke pribadi-pribadi pejabat dari berbagai eselon, dan terciptalah kolusi yang bagaikan lingkaran setan yang disebut-sebut sebagai penyebab timbulnya ekonomi biaya tinggi.
Dalam hal ini perlu ditekankan sekali lagi, kolusi ini hanya terjadi di kalangan pengusaha- pengusaha keturunan Cina yang rakus saja yang dengan tekhnik kolusinya mampu berkembang menjadi pengusaha besar, tetapi jumlahnya hanya puluhan perusahaan saja. Masih banyak pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang jujur, yang karena kejujurannya usahanya tidak berkembang sepesat pengusaha yang rakus, sehingga tidak masuk nominasi sebagai penyandang dana Golkar.
Bahkan ada beberapa di antaranya yang rela menjual perusahaannya, karena tidak tahan menghadapi pemeras-pemeras berdasi. Contoh yang cukup menghebohkan adalah dijualnya Bank Niaga milik keluarga Tahija yang sebenarnya cukup sehat, kepada seorang pengusaha yang mempunyai akses kuat ke pucuk pimpinan negara (Hasjim Djojohadikoesoemo, adiknya Prabowo Soebianto- pen). Padahal Tahija juga bukan keturunan Cina.
Meskipun demikian, di dalam tubuh Golkar sendiri pasti banyak orang-orang jujur dengan jiwa nasionalisme yang tinggi yang menginginkan kemajuan bangsa dan negara Indonesia, tanpa bercita-cita menumpuk kekayaan pribadinya. Mereka inilah sebenarnya yang sangat potensial untuk melakukan pembenahan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Seperti apa yang dikatakan Harmoko, pencalonan diri Amien Rais dan Megawati sebagai presiden dalam SU-MPR yang akan datang di luar sistem yang berlaku (Mega dan Amin bukan anggota DPR/MPR – pen), sekalipun mereka juga mendapat dukungan rakyat. Maka secara konstitusional mustahil Amien Rais dan Megawati dapat mencalonkan diri menjadi presiden.
Tetapi kalau yang mencalonkan diri anggota Golkar sendiri yang saat ini duduk di DPR/MPR, masalahnya menjadi lain dan Harmoko tidak dapat lagi mengatakan bahwa hal ini di luar sistem yang berlaku (yang sampai kapanpun tidak mungkin dirubah untuk memberikan kesempatan pada Amien Rais dan Megawati mencalonkan diri menjadi presiden). Oleh karena itu selama Pak Harto masih berkuasa, tidak heran kalau ada pejabat yang jujur dan berprestasi selalu dipensiunkan lebih awal atau disingkirkan sebagai Dubes, karena dikhawatirkan akan banyak pendukungnya. Penempatan sang menantu sebagai Komandan Kopassus diduga untuk mencegah segala kemungkinan, mengingat Kopassus yang dulu masih bernama RPKAD adalah faktor kunci yang mendukung keberhasilan perjuangan Angkatan 66. Sikap prefentif ini juga tampak jelas dari berita terakhir mengenai Sofyan Wanandi yang dijadikan kambing hitam oleh Feisal Tanjung, karena dia terang-terangan menolak memberikan sumbangan ketika dihubungi pak kumis.
Beberapa tokoh Angkatan 66 kawan seperjuangan Sofyan Wanandi, terang-terangan membela dia karena mereka sudah tahu dengan jelas sampai di mana jiwa nasionalisme Liem Bian Koen yang Cina ini. Keluarga Amir Biki yang sakit hati terhadap Benny Moerdani dalam Peristiwa Tanjung Priuk, diperalat untuk menjatuhkan Sofyan Wanandi yang dekat dengan Benny Moerdani. Liem Sioe Liong yang tidak ada hubungan apapun juga turut dilibatkan. Tidak heran kalau ada beberapa radio luar negeri menyebutkan hal ini hanya rekayasa Feisal Tanjung semata-mata untuk membalas dendam terhadap Benny Moerdani Cs yang pernah menyingkirkannya semasa menjabat sebagai Pangab.