KRISIS MONETER
Krisis moneter adalah sesuatu yang wajar yang terjadi di negara manapun, apabila kondisi keseimbangan pasar (equilibrium) dalam bidang moneter negara bersangkutan terganggu. Secara teoritis, apabila penerimaan dan pengeluaran negara kita (ke negara lain) sama, maka nilai tukar rupiah terhadap US$ akan tetap nilainya. Rupiah akan menguat jika penerimaan negara kita lebih besar dari pengeluarannya (surplus), sebaliknya rupiah akan melemah jika penerimaan negara kita lebih kecil dari pengeluarannya (defisit).
Dalam batas tertentu, pembelian barang-barang modal (mesin-mesin) dari luar negeri meskipun untuk sementara mengakibatkan defisit dapat diterima, dengan catatan barang-barang modal tersebut dalam batas waktu yang wajar dapat menghasilkan barang yang sebelumnya harus diimpor dengan harga yang lebih murah. Keuntungan yang diperoleh, meskipun diterima oleh pihak swasta, secara makro merupakan penghematan devisa bagi negara kita yang sebelumnya dinikmati oleh negara lain. Contoh yang saya anggap cukup berhasil dalam hal ini adalah produk tekstil. Dengan kwalitas yang cukup baik dan harga yang kurang dari separuh tekstil impor, maka tanpa disuruhpun rakyat akan lebih suka membeli tekstil produk dalam negeri daripada tekstil impor yang mahal. (Catatan: sayangnya industri tekstil di Indonesia akhirnya menjadi bumerang bagi negara kita sendiri, akibat salah urus yang parah dan pengusahanya lebih mementingkan kekayaan pribadi daripada pengembangan perusahaan.) Keuntungan yang diperoleh dari subsitusi barang impor, dipakai untuk mencicil utang pembelian barang modal yang memproduksi barang tersebut. Setelah lunas, keuntungan ini menjadi cadangan devisa bagi negara kita.
|
Jadi secara keseluruhan, pengeluaran negara kita akan berkurang sehingga akan meningkatkan surplus ataumengurangi defisit. Dengan demikian nilai tukar rupiah akan menguat terhadap US$. Sebaliknya, apabila perusahaan yang mengimpor barang modal ini tidak dapat bekerja secara efisien, maka barang yang dihasilkan lebih mahal dari harga impor sehingga tidak mampu bersaing di pasaran. Akibatnya impor barang yang sama akan tetap berlangsung. dan perusahaan yang bersangkutan akhirnya bangkrut.Secara macro, bangkrutnya perusahaan ini akan memboroskan devisa negara dan akhirnya menambah defisit neraca pembayaran. Contohnya dalam hal ini adalah produk otomotif dalam negeri yang jauh lebih mahal dari mobil impor. Kalau impor barang modal ini dari tahun ke tahun terus bertambah besar tanpa perhitungan yang matang, sekalipun masing-masing perusahaan yang mengimpornya mampu menghasilkan barang yang dapat bersaing dengan produk impor, suatu saat akumulasi cicilan hutang atas barang modal tersebut mencapai jumlah yang jauh lebih besar dari devisa yang dapat dihemat. Kondisi seperti ini bukan menghemat devisa, tetapi malahan memboroskan devisa. Analog dengan ini dapat diibaratkan suatu keluarga yang membeli sebuah minibus bekas seharga Rp 10 juta secara cicilan untuk dipakai bersama-sama, agar menghemat biaya tranportasi sehari-hari. Biaya transportasi yang dihemat dipakai untuk membeli bensin dan membayar cicilan minibus tersebut.
Bayangkan kalau minibus tersebut setelah lunas diganti dengan Pajero seharga Rp 200 juta, apa keuangan keluarga tersebut tidak terkuras habis? Keadaan ini akan bertambah parah apabila rakyat dicekoki terus setiap hari melalui iklan TV untuk membeli barang- barang mewah ex impor. Makan buah-buahan impor dianggap lebih bergengsi dibandingkan buah-buahan lokal, padahal kandungan vitamin di dalamnya relatif sama. Banyak orang-orang kaya yang hanya untuk Menunjukkan eksistensi dirinya, khusus mengimpor bahan-bahan bangunan untuk istana yang sedang dibangunnya. Ibadah Haji dijadikan komoditi business tersendiri, sehingga banyak rakyat kecil di pedesaan dan pinggiran kota yang jatuh miskin setelah pulang Haji. Dalam ajaran Islam, ibadah Haji wajib bagi yang mampu (kaya), tetapi tidak dianjurkan kalau untuk ibadah Haji tersebut harus menjual sawah atau kebun yang menjadi sumber penghasilan utamanya. Tanah miliknya langsung berpindah tangan ke pengusaha properti yang didukung pejabat tertentu, dan secara tidak sadar mereka telah turut memboroskan devisa negara.
Para pejabat pemerintah yang berwenang dalam soal impor atau Depag tentu tahu hal ini, tetapi tidak ada usaha yang ungguh-sungguh untuk mencegahnya, karena pribadinya diuntungkan melalui berbagai macam cara. Di antaranya karena perusahaan importir tersebut sebagian milik keluarganya sendiri, atau pejabat bersangkutan mendapat komisi yang cukup besar. Uang komisi dan hasil korupsi lainnya agar aman disimpan di luar negeri, dan akibatnya menambah beban pengeluaran devisa negara.
Inilah sebenarnya faktor utama terjadinya krisis moneter di Indonesia. Apabila pada masa krisis moneter ini (akhir 97 s/d awal 98 – pen) banyak orang yang memburu dolar dan mengirimkannya ke luar negeri, itu hanya sekedar ekses dari keadaan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$. Meskipun ditinjau dari segi nasionalisme hal seperti ini merupakan perbuatan tercela, tetapi tindakan ini secara manusiawi – tanpa melihat pribumi atau non pribumi– adalah sekedar usaha manusia untuk menyelamatkan harta kekayaannya. Akibat yang terjadi, krisis rupiah bertambah parah, jauh di atas kewajaran secara teori ekomoni dan moneter.
Bantuan IMF dengan berbagai saran-sarannya yang memberatkan negara kita, lebih diterima oleh pemerintah daripada saran-saran yang dikemukakan akhli-akhli bangsa Indonesia sendiri. Para penguasa negara lebih rela negara kita secara tidak langsung dikuasai oleh bule-bule daripada oleh bangsa sendiri yang tidak sehaluan. Kenyataannya sampai sejauh ini (Jan.98 – pen) IMF hanya membantu sebesar $ 3 milyar dari $ 23 milyar yang dijanjikan. Maka timbullah gosip-gosip yang silih berganti yang intinya menjurus kepada timbulnya kekacauan masal dan penggantian pemerintahan yang sudah sejak lama tidak mendapat dukungan rakyat akibat berbagai macam kebohongan yang ditimbulkan sendiri.
Krisis moneter seperti ini, merupakan peluang bagi kalangan tertentu untuk Memperkokoh keberadaan “musuh bersama”, yaitu warga keturunan Cina dengan segala sepak terjangnya di dunia business, yang di isukan sebagai penyebab timbulnya krisis moneter di Indonesia. Dengan cara ini maka “musuh bersama” yang sebenarnya dapat tidur nyenyak di atas tumpukan dolarnya.