CINA DAN NASIONALISME
Setiap ras apapun di dunia memiliki segi positif dan segi negatif. Segi positif dilakukan oleh orang-orang yang berkelakuan baik yang merupakan bagian terbesar dari anggota ras bersangkutan, sedangkan segi negatif dilakukan oleh sebagian kecil anggota ras tersebut. Dalam hal warga keturunan Cina di Indonesia, yang oleh pihak penguasa telah diciptakan sebagai „musuh bersama”, segi positifnya selalu ditutup-tutupi tetapi segi negatifnya selalu ditonjolkan. Kalau ada warga keturunan Cina yang melakukan tindak pidana maka nama Cinanya selalu disebut-sebut, tetapi kalau yang berbuat baik atau berjasa bagi negara tidak pernah disebutkan nama Cinanya.
Yang mempunyai peran aktif dalam menyebarkan masalah ini adalah media massa, yang sebenarnya dikuasi oleh pemerintah yang berkuasa saat itu. Bukan rahasia lagi kalau saham-saham dari koran atau majalah terkemuka di Indonesia dikuasai oleh pejabat-pejabat tertentu atau anggota keluarganya, sehingga setiap terbit arahnya harus menyuarakan kepentingan penguasa. Media massa yang berani membeberkan fakta yang sebenarnya seperti Tempo, dianggap menghasut masyarakat dan dibredel tanpa ampun.
Tindakan negatif dari sebagian warga keturunan Cina selalu dikaitkan dengan isu a-nasionalisme, padahal pengertian nasionalisme sendiri akan mengundang perdebatan yang tak pernah selesai. Tidak kurang dari Moerdiono sebagai Mensetneg salah mengartikan nasionalisme baru ala Liem Sioe Liong. Penjualan saham perusahaan ke anak perusahaan yang lain di luar negeri dengan teori „mark-up” nya yang semata-mata untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dikatakan nasionalisme baru. Salah-salah orang yang merampok di luar negeri yang membawa uang hasil rampokannya ke Indonesia juga disebut sebagai nasionalisme baru.
Menurut saya, secara sederhana nasionalisme dapat diartikan sebagai sikap kepedulian terhadap kemajuan bangsa dan negara Indonesia, sesuai dengan kemampuan masing- masing. Dalam suasana perang, nasionalisme dapat diartikan sebagai kesediaan untuk turut mempertahankan keutuhan negara Indonesia dengan konsekuensi mungkin akan kehilangan harta dan bahkan nyawanya. Tapi sebaliknya dalam suasana damai, terlalu naif jika ada orang yang mengatakan bahwa, seorang nasionalis harus rela berkorban harta dan nyawa demi bangsa dan negara Indonesia. Kalau pernyataan ini dianggap benar, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang berpendapat demikian, apakah dirinya sendiri bersedia melakukan hal tersebut? Inilah salah satu nasionalisme picik yang tujuannya hanya untuk memojokkan orang lain yang kebetulan secara materi lebih berhasil. Tommy dan Habibie, kalau dia seorang nasionalis otomatis akan rela menangguhkan proyek Mobnas Korea dan N-2130 nya. Apakah anak-anak presiden yang saat ini kaya raya dan tidak jelas asal-usul modalnya bersedia menjual dolar simpanannya (bukan hanya jual dolar pura-pura demi kepentingan politis). Pertanyaannya, kenapa kalau ada warga keturunan Cina yang tidak mau menjual dolarnya disebut tidak nasionalis (yang mungkin juga tidak punya atau diperlukan untuk transaksi impor), sedangkan putra-putri Pak Harto dan putra-putri pejabat lainnya tidak disebut a-nasionalis?
Ironisnya banyak orang yang berpikiran picik, yang mengukur nasionalisme warga keturunan Cina dari kesediaan mengorbankan harta bendanya untuk kepentingan orang lain tidak peduli orang yang bersangkutan akhirnya jatuh miskin. Saya sangat setuju kalau semua orang yang menimbun dolar dalam krisis moneter sekarang ini disamakan dengan subversif dan penghianat negara, yang harus dihukum seberat-beratnya. Tetapi dalam hal ini harus adil dan objektif, serta harus dibedakan antara uang diam atau modal kerja. Tidak peduli keturunan Cina, Jawa, Sunda, Batak, Padang, dan sebagainya, semua harus dihukum tanpa pilih bulu tidak terkecuali anak-anak presiden. Kita harus belajar dari Korea yang berani menghukum bekas presidennya sendiri maupun anak presiden yang sedang berkuasa karena terbukti korupsi.
Seorang warga keturunan Cina yang secara tidak resmi diakui memiliki jiwa nasionalisme adalah Kwik Kian Gie, yang kebetulan mempunyai kemampuan yang baik dalam bidang politik & ekonomi, dan mampu menuangkan buah pikirannya secara tertulis di media massa sehingga dapat dikenal masyarakat luas. Kalau Kwik tidak mempunyai bakat menulis, tentu tidak banyak orang yang mengenal buah pikirannya dan belum tentu disebut nasionalis. Pertanyaannya apakah tidak ada warga keturunan Cina lain yang mempunyai jiwa nasionalisme seperti Kwik Kian Gie?
Tentu saja banyak, hanya mungkin karena kurang mempunyai bakat menulis jadi kurang dikenal masyarakat luas, atau mungkin kemampuannya masih di bawah Kwik sehingga media massa tidak bersedia memuat tulisannya. Tengoklah dosen-dosen non-pri di berbagai Universitas, mungkin akan banyak yang heran jika mengetahui motivasi mereka menjadi dosen padahal gajinya kecil. Sebagian besar dari mereka mempunyai idealisme yang tinggi untuk turut memajukan bangsa dan negara Indonesia melalui jalur pendidikan, bukan hanya sekedar mencari uang semata-mata.
Akan lebih mengherankan lagi jika diketahui cukup banyak pejabat perusahaan swasta keturunan Cina dengan gaji yang cukup besar, masih mau bercapai lelah menjadi dosen dengan gaji yang minim. Kalau ini dapat dipakai sebagai tolok ukur, berarti pandangan terhadap nasionalisme warga keturunan Cina, khususnya dari kalangan yang berpendidikan tinggi harus dikoreksi. Terlalu absurd jika masalah nasionalisme ditanyakan kepada para pedagang kelontong keturunan Cina di sekitar pusat perdagangan, yang karena tingkat pendidikannya yang sangat minim tidak pernah terlintas di benaknya untuk turut memikirkan masalah nasionalisme.
Namun dalam hal ini belum tentu mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme sama-sekali, hanya bahasanya yang seringkali terlalu tinggi sehingga barangkali kurang dapat dimengerti oleh mereka.
Untuk mendapatkan gambaran yang objektif, adakanlah suatu penelitian terhadap mereka mengenai masalah nasionalisme dengan menggunakan bahasa yang sederhana, bandingkan hasilnya dengan hasil penelitian yang sama terhadap para pedagang pribumi. Mungkin hasilnya tidak akan jauh berbeda karena keduanya sama-sama awam terhadap teori kebangsaan dan nasionalisme. Selanjutnya buatlah suatu program untuk meningkatkan nasionalisme semua rakyat Indonesia baik pribumi maupun non-pribumi, dan tidak perlu dipolitisir seperti program P4.