NEO CONFUCIANISME
Kegiatan para intelektual selama dinasti Sung (906-1279 M) menciptakan suatu sistim baru paham Confucianis yang dipengaruhi oleh unsur ajaran Buddhis dan Taois. Sistim baru paham Confucianis ini kemudian dikenal dengan nama Neo-Confucianisme. Para cendekiawan yang merumuskan sistem intelektual ini menguasai kedua versi filsafat yang ada. Walaupun pada umumnya yang diajarkan adalah etika, tetapi mereka juga mendalami hal-hal yang bersifat transendental seperti teori alam semesta, dan asal muasal manusia.
Neo-Confucianisme waktu itu terpecah menjadi dua sekte yang utama. Sekte yang lebih terkenal adalah yang diprakarsai oleh Chu Hsi (1130 – 1200 M), atau dikenal juga sebagai Chu Zi atau Chu Fu Zi, kelahiran Yu-hsi, Propinsi Fukien , dan hidup semasa periode dinasti Sung (960 – 1279 M), seorang pemikir agung yang ketenarannya hanya dapat dibandingkan dengan Confucius dan Menci
Chu Hsi adalah anak seorang pegawai negeri rendah. Beliau menerima pendidikan tradisi Confucianis dari ayahnya, dan lulus ujian negara tingkat tertinggi pada umur 18 tahun, dimana pada umumnya hanya dapat dicapai dalam usia 35 tahun. Posisi pertama Chu Hsi adalah sebagai penata-usaha di T’ung-an, Fukien.
Di tempat tersebut, Beliau mulai melakukan reformasi pengelolaan pajak dan sistim keamanan kota, meningkatkan standar pengajaran di sekolah lokal termasuk mendirikan perpustakaan umum, dan menyusun ketentuan mengenai upacara agama dan tata-susila kenegaraan, dimana pada saat itu sama sekali belum tersedia. Sementara bertugas di Nan-k’ang, Kiangsi, Chu Hsi menggunakan kesempatan yang ada untuk merehabilitasi Akademi Bai Lu Dong (Istana Rusa Putih). Akademi ini kemudian menjadi terkenal sebagai pusat pendidikan Neo-Confucianisme, dimana Chu Hsi mencurahkan pandangan-pandangannya secara sistimatis ke dalam suatu sistem pendidikan yang terpadu.
Pada mulanya, Chu Hsi mendalami Buddhisme, tetapi kemudian mengembangkan ajaran yang lebih berdasarkan pada pandangan Confucianis dan pengaruh konsep Thay-Chi’ dari Taoisme. Thay-Chi’ merupakan sumber gerakan yang menimbulkan sifat Yang (positif), dimana sampai pada puncaknya akan menggerakkan sifat Yin (negatif). Perpaduan sifat Yin dan Yang akan menghasilkan lima unsur di alam semesta [Wu Hsing], yaitu tanah, api, logam, kayu, dan air, dimana dengan kombinasi yang tak terbatas, menciptakan Chi’ yang mengisi segala benda yang ada di dunia ini. Chu Hsi menyatakan, “Thay Chi’ (Supreme Ultimate) diterima oleh setiap individu secara keseluruhan dan tidak terbagi. Seperti bulan yang menyinari bumi, walaupun sinarnya terpantul di sungai dan danau sehingga terlihat dimana-mana, namun kita tidak dapat mengatakan bahwa bulan itu terbagi-bagi.”
Menurut konsep ajaran Neo-Confucianis yang dikembangkan oleh Chu Hsi, bahwa semua obyek dalam sifat alaminya memiliki dua kekuatan yang menyatu, yaitu Li, suatu hukum alam atau prinsip universal yang tidak berwujud (dalam Buddhisme, hampir dapat disamakan dengan Dharma); dan Chi’, suatu zat atau bahan yang mengisi keberadaan semua benda yang berwujud (dalam Buddhisme, hampir dapat disamakan dengan Gudang Kesadaran/Alayavijnana atau benih karma pembentuk kehidupan setiap makhluk). Chi’ senantiasa berubah dan tidak kekal adanya, sedangkan Li bersifat tetap dan langgeng adanya. Chu Hsi selanjutnya
mencirikan Li dalam sifat kemanusiaan sebagai suatu sifat yang alami, dimana pada intinya berlaku sama untuk semua orang. Fenomena perbedaan yang timbul hanya disebabkan oleh adanya faktor tingkatan dan padatnya unsur Chi’ yang dimiliki oleh masing-masing individu. Sehingga mereka yang memiliki Chi yang kotor akan membawa sifat alaminya yang suram, dan untuk memulihkan kesucian sifat alaminya, perlu dibersihkan terlebih dahulu. Pembersihan tersebut dapat dicapai dengan memperluas pengetahuan seseorang terhadap Li yang ada dalam diri kita masing-masing.
Setelah seseorang mengolah dirinya dengan giat sehingga memiliki pengertian yang benar akan sifat universal Li atau hukum alam yang melandasi setiap makhluk hidup (Ke Wu dan Chiung Li, yang berarti, menyelidiki suatu perkara sampai pada hakekatnya dan dituntaskan), maka orang tersebut telah menjadi seorang yang suci adanya, karena telah terbentuk sifat Jen. Dengan demikian, dia tidak akan membedakan lagi sifat atau keberadaan di luar dirinya, karena sifat keakuannya telah luntur dari dirinya dan menyatu dengan alam semesta, bebas dari dualitas subyek-obyek. Pandangan ajaran Neo-Confucianisme Chu Hsi sangat mempengaruhi paham Confucianis di Korea dan Jepang sampai saat ini.
Berlawanan dengan sekte Li (Li Sie Phai), adalah sekte Hsin (Hsin Sie Phai) yang juga tergolong dalam Neo-Confucianisme. Pemrakarsa utama dari sekte Hsin adalah Wang Yang-ming (1473-1529 M), atau dikenal juga sebagai Wang Shou-jen, kelahiran Yu-yao, Propinsi Chekiang, putra dari seorang pejabat tinggi negara. Wang Yang-ming hidup pada periode dinasti Ming (1388-1644 M), Beliau menekankan konsep kesatuan dalam pengetahuan dan praktek. Wang Yang-ming membina karirnya di pemerintahan dalam bidang militer, dimana Beliau terkenal sebagai seorang jenderal yang penuh strategi dalam menumpas
pemberontakan.
Berbagai jabatan kementerian pernah dipegangnya termasuk jabatan gubernur, dan selama kepemimpinannya, daerah Kiangsi dimana beliau berada terkenal aman dan damai. Pemikiran Wang yang paling utama adalah bahwa terlepas dari pikiran, maka tidak ada hukum alam ataupun benda yang eksis. Menurut Beliau, pikiran merupakan pembentuk hukum alam, dan tidak ada
yang eksis tanpa pikiran. Seseorang harus mengembangkan pengetahuan intuisi dari pikiran (Liang Ce / Intuitive Knowledge), bukan melalui belajar atau menyelidiki hukum alam, tetapi dengan pikiran yang terkendali dan meditasi yang mendalam (samadhi). Filsafat Wang yang terpengaruh juga oleh praktek Taois yang dipelajarinya, sempat berjaya sekitar 150 tahun di China, dan sangat mempengaruhi kebudayaan Jepang saat itu.
Konsep pemikiran Neo-Confucianisme tersebut, kelihatannya terpengaruh juga oleh ajaran Buddhisme Mahayana yang dikembangkan oleh Mahabhikshu Tripitaka Hsuan-tsang (602 – 664 M). Hsuan-tsang, berasal dari keluarga turun temurun Confucianis, terkenal sebagai seorang bhikshu penjiarah terbesar sepanjang sejarah yang melakukan perjalanan ke Barat (India) dari Tiongkok, hidup pada masa pemerintahan dinasti T’ang (618-907 M).
Kisah terkenalnya kemudian dihikayatkan dalam bentuk cerita legenda rakyat Tiongkok, Hsi Yu Chi (Perjalanan Ke Barat untuk mengambil Kitab Suci Buddhisme), dengan tokoh sentralnya antara lain, bhikshu Hsuan-tsang, Sun Hou-zi (Sun-Go-kong), Chu Pa-chieh, dan Sa Ho-sang. Sesudah pulang ke Tiongkok pada tahun 645 M (setelah melakukan perjalanan selama 16 tahun), selain banyak menerjemahkan berbagai kitab Sanskerta ke dalam bahasa China, beliau juga mendirikan sekte Wei Shih (Hanya Kesadaran/Vijnana), sebagaimana tertuang dalam karya Hsuan-tsang, Ch’eng Wei Shih Lun (Treatise on the Establishment of the
Doctrine of Consciousness Only), yang menjelaskan bagaimana bisa terdapat suatu dunia emperikal yang umum untuk setiap individu yang memiliki fisik dan pencerapan yang berbeda, tetapi memiliki pembentuk pikiran bersama terhadap suatu tujuan tertentu.
Karya Hsuan-tsang tersebut banyak dipengaruhi oleh filsafat ajaran Yogacara [Vijnanavada/Wei Shih Cung] yang dikembangkan oleh Asanga dan Vasabhandu. Menurut Hsuan-tsang, benih karma universal yang tersimpan dalam Gudang Kesadaran [alayavijnana] merupakan pembentuk sifat umum, dan benih karma tertentu sebagai pembentuk sifat pembeda masing-masing individu. Pokok utama ajaran ini menyatakan, bahwa seluruh dunia ini terbentuk karena pikiran. Bentuk-bentuk tampak luar adalah tidak nyata [maya], tidak ada yang nyata diluar pikiran.
Pendapat umum tentang adanya bentuk luar hanyalah disebabkan konsepsi yang salah, dimana dapat dihilangkan dengan proses meditasi yang menarik kembali semua bentuk luar yang bersifat maya tersebut (semacam vipassana bhavana). Benih karma merupakan pembentuk Lima Kelompok Kehidupan [pancaskandha] yang terkumpul dalam Gudang Kesadaran, dimana membentuk pikiran atas keberadaan dunia luar berdasarkan persepsi dan citta. Gudang Kesadaran inilah yang harus disucikan dari dualitas subyek-obyek, dan keberadaan yang maya dengan menempatkannya pada alam kemurnian yang dapat disamakan dengan kenyataan atau kesamaan dimana menunjukkan sifat dasar dari semua benda sesuai apa yang telah ditentukan [tathata].
Selama dinasti Ch’ing (1644 – 1911), terjadi reaksi yang keras terhadap sekte Li (Li Sie Phai) dan sekte Hsin (Hsin Sie Phai) dari pemikiran Neo-Confucianis tersebut. Para cendekiawan dalam periode Ch’ing, menghendaki untuk kembali kepada ajaran murni Confucianisme sebagaimana berasal dari periode dinasti Han sebelumnya. Mereka menganggap Neo-Confucianisme dari Chu
Hsi terlalu dipengaruhi oleh konsep ajaran Buddhisme dan Taoisme. Mereka mengembangkan naskah yang bersifat kritis terhadap Kitab Confucianis berdasarkan metodologi ilmiah, ilmu bahasa, sejarah, dan arkeologi untuk memperkuat pendapat mereka. Sebagai tambahan, para cendekiawan seperti Tai Chen atau Tai Tung-yuan (1724 – 1777 M), mengenalkan suatu sudut pandang
empiris (suatu teori yang mengatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman) ke dalam filsafat Confucianisme. Tai Chen kelahiran Hsiu-ning propinsi Anhwei, terlahir dalam keluarga yang miskin, dimana untuk belajar saja beliau harus meminjam buku dari orang lain.
Tetapi karena kecendekiawaannya, maka Tai diundang oleh Kaisar saat itu untuk duduk dalam posisi pemerintahan. Tai sempat menghasilkan kurang lebih 50 karya, yang pada umumnya terdiri dari matematika, ilmu bahasa, geografi kuno, dan berbagai buku mengenai Confucianisme.
Dalam bidang matematika, Beliau menuliskan teori logaritma berdasarkan teori dari ahli matematika Inggris, John Napier. Menurut pendapat Tai Chen, Li terdapat dalam semua makhluk hidup, bahkan keinginan duniawi yang timbul dalam diri manusia. Pengetahuan Li tidak dapat diperoleh secara mendadak hanya dalam meditasi, sebagaimana yang dipercayai oleh Neo-Confucianis. Li hanya dapat diperoleh setelah melalui serangkaian pencarian yang mendalam, dengan menggunakan metode yang tepat, apakah secara kesusasteraan, sejarah, atau penelitian ilmu bahasa. Karena penekanan ajaran Tai terhadap penelitian empirikal yang tekesan ilmiah, dimana selaras dengan pendekatan ilmu pengetahuan umum dari filsafat Barat, maka pemikirannya mulai dipelajari pada abad ke-20. Pada tahun 1936, para cendekiawan China memberikan penghargaan terhadap Tai Chen dengan mempublikasikan karya Beliau secara lengkap yang merupakan suatu edisi resmi dengan judul, Tai Tung yuan Hsien Sheng Chuan Chi (Collected Writings of Mr. Tai Chen / Kumpulan Karya Tn. Tai Chen).