1. Hubungan Ayah dan Anak
Hubungan ayah dengan anak dapat ditafsirkan sebagai hubungan anak-anak terhadap orang tua mereka. Seorang anak haruslah berbhakti terhadap orang tua mereka dengan melayani mereka secara sopan santun dan berbudi pekerti luhur, baik pada saat mereka masih hidup ataupun sesudah meninggal.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Apabila orangtua masih hidup, layanilah mereka dengan sopan santun / budi pekerti. Pada saat mereka meninggal, makamkanlah dengan sopan santun / budi pekerti dan sembahyangilah dengan sopan santun / budi pekerti.” (Lun Yu II/5).
Pengertian bhakti terhadap orangtua juga sangat ditekankan dalam Buddhisme sebagaimana dapat dilihat dari Sutra Kasih Yang Mendalam Dari Orangtua dan Kesulitan Membalasnya (Filial Piety Sutra) dan sutra-sutra lainnya. Dalam sutra tersebut disabdakan oleh Sang Buddha : “Bila ada seseorang yang mengangkat ayahnya dengan bahu kirinya, dan ibunya dengan bahu kanannya, dan oleh karena beratnya menembus tulang sumsumnya, sehingga tulang-tulangnya hancur menjadi debu, dan orang tersebut mengelilingi Puncak Sumeru seratus ribu kalpa lamanya, sehingga darah yang keluar dari kakinya membasahi
pergelangan kakinya, orang tersebut belumlah cukup membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya.”
Orangtua senantiasa mengkhawatirkan keberadaan dan kesehatan anak-anaknya. Sungguh berbahagia bagi kita yang dapat hidup di dekat orangtua sehingga dapat menghilangkan kekhawatiran mereka. Namun dalam kehidupan jaman sekarang sulit dapat dihindari untuk hidup berjauhan dari orangtua karena tuntutan pendidikan ataupun pekerjaan. Kemampuan teknologi komunikasi sangat
membantu untuk membolehkan kita menghubungi orangtua secara rutin apabila kita berada jauh dari tempat tinggal mereka, hanya untuk mengabarkan keberadaan kita.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Bila orangtua Anda masih hidup, janganlah berpergian jauh. Jika Anda harus berpergian jauh, Anda harus memberitahu mereka di mana Anda berada, supaya mereka tidak merasa khawatir mengenai keadaan Anda .” (Lun Yu IV/19).
Orangtua senantiasa mengharapkan kemajuan dan kesejahteraan anak-anaknya. Apabila anaknya laki-laki, tentunya mereka mengharapkan agar kelak akan memperoleh seorang isteri yang setia. Demikian juga kalau anaknya perempuan, maka mereka mengharapkan agar kelak akan memperoleh seorang suami yang baik.
Guru Meng Zi bersabda, “Begitu seorang laki-laki lahir, orangtuanya tentu berharap kelak dia akan memperoleh seorang isteri. Dan begitu seorang anak perempuan lahir, orangtuanya tentu berharap kelak dia akan memperoleh seorang suami. Semua orang memiliki pikiran yang demikian.” (Meng Zi IIIB,3)
Hukum karma senantiasa berlaku bagi kita yang durhaka terhadap orangtua. Berbagai cerita sudah sering menghiasi benak kita mengenai kedurhakaan seorang anak terhadap orangtuanya. Cerita seperti Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya sehingga akhirnya Malin Kundang menjadi batu, sudah sering menjadi inspirasi banyak orangtua untuk ditanamkan kepada anak-anaknya semasa kecil. Demikian juga cerita di bawah ini.
Wasiat Keranjang
Terdapat seorang anak yang pada awalnya sangat berbhakti terhadap orangtuanya. Hingga sesudah berumah-tangga dan memiliki seorang anak, kedua orangtuanya masih tinggal bersamanya. Istrinya yang pencemburu dan selalu memiliki prasangka buruk akan rasa bhakti suaminya terhadap mertuanya yang sudah tua tersebut, berulang-kali mempengaruhi suaminya agar dapat menyingkirkan orangtuanya tersebut dari rumah tempat tinggal mereka.
Hingga suatu hari, istrinya mengancam akan menceraikannya apabila tidak memenuhi keinginannya untuk menyingkirkan mertuanya tersebut dari rumah tempat tinggal mereka. Karena sayangnya suami ini terhadap istrinya, akhirnya mereka bersepakat untuk mengantar kedua orangtua mereka ke panti jompo. Merekapun menyiapkan keranjang besar untuk membawa kedua orangtua mereka. Keranjang besar yang dibeli dari pasar tersebut, dibawa pulang ke rumah dan menjadi perhatian anak lelaki mereka yang berumur 10 tahun, sehingga diapun bertanya kepada kedua orangtuanya.
“Papa dan Mama, buat apa keranjang besar ini?”
Ayahnya menjawab, “Keranjang ini dibutuhkan untuk mengangkut Kakek dan Nenek ke tempat yang banyak temannya (maksudnya panti jompo). Karena Kakek dan
Nenek akan lebih bahagia tinggal di sana.”
Anaknya yang cukup cerdik dan berbhakti inipun berpikir panjang, dan dengan polos disampaikan permintaanya, “Papa dan Mama, tolong nanti sesudah keranjang ini dipakai jangan dibuang yah!”
Ibunya menjadi heran dan menanyakan lebih lanjut, “Buat apa keranjang ini nak?”
“Akan saya pakai untuk mengangkut Papa dan Mama ke tempat yang bahagia tersebut apabila sudah tua nantinya, sehingga Papa dan Mama dapat hidup lebih bahagia juga.”
Seperti halilintar yang menyambar di siang bolong, ayah dan ibunya menjadi sadar akan perbuatannya. Akhirnya merekapun membatalkan niat untuk memindahkan orangtuanya ke panti jompo. Dan kemudian hidup bahagia bersama sampai orangtua mereka meninggal dunia.