Budaya-Tionghoa.Net | Hari ini aku dirumah, istriku pergi ke salon untuk mencucikan rambutnya, putriku dan suaminya pergi ke Swiss untuk mengisi mebel pada rumahnya yang baru. Cucuku Li Shen dan Liling semuanya sekolah, di rumah hanya si Mida Au Pair dari Solo, berada ditingkat atas sedang sibuk dengan cucuku yang paling kecil Li May.
Aku merebahkan diriku diatas sofa dan memikir kehidupan masa mudaku dulu. Aku ingat ibuku pernah bercerita kebijaksanaan seorang ibu Tiongkok kuno. Beliau menceritakan padaku bahwa dahulu di Tiongkok ada seoarang anak yang nakal. Di rumah tidak pernah diam selalu bergerak tiada hentinya. Suatu hari karena tidak hati-hati anak itu memecahkan tempat arak kesayangan ayahnya. Anak itu menangis takut dimarahi oleh ayahnya yang disiplin dan keras dalam mendidik anaknya. Si anak lalu pergi ke ibunya dan mengatakan apa yang terjadi. Ibu anak itu mengelus-ngelus kepala anaknya dan mengatakan: “katakan pada ayahmu nanti kalau Beliau pulang apa yang terjadi dengan jujur, kalau kau jujur dan mengaku kesalahanmu ayahmu tidak akan marah”.
Anak itu tetap takut dan menunggu dikamarnya dengan tegang. Sore hari ayahnya pulang dari kerja, namun si anak tidak berani keluar dari kamarnya. Ibunya memangil anaknya untuk bertemu ayahnya, lalu berkata: “katakan pada ayah apa yang terjadi tadi siang”. Si anak sambil takut-takut mengatakan: “ayah, aku minta maaf, tadi siang karena tidak hati-hati, aku telah memecahkan tempat arak kesayanganmu”. Anaknya tidak berani memandang ayahnya dan menunggu dipukul oleh ayahnya. Tetapi dia heran mengapa ayahnya tidak memukul bahkan menjawab: “lain kali kita harus hati-hati jangan memecahkan barang yang berharga”. Ayahnya lalu tertawa dan berbicara dengan ibunya.
Si-anak bertanya pada dirinya mengapa ayah mengatakan kita, padahal dia tidak berbuat kesalahan, malah sekarang ikut membagi kesalahan yang kubuat? Kenapa ayah ikut membagi kesedihanku? Karena kejadian ini anak itu berubah tabiatnya menjadi kalem dan tidak seperti dahulu yang senantiasa bergerak. Belakangan aku mengerti bahwa alasannya ialah karena ibunya telah membicarakan dengan suaminya bahwa memdidik anak jangan sampai anaknya takut sekali pada orang tuanya. Anak itu senang kalau ayahnya tidak dirumah dan reaksinya ialah kegirangan yang berkelebihan dengan gerakan yang nakal. Cerita ibuku mengandung pendidikan yang aku tidak bisa lupakan. Mendidik dengan kekerasan itu tidak baik bagi perkembangan jiwa anak. Cerita ini aku tidak bisa lupakan sebagai bekal di kemudian hari untuk mendidik anak-anakku.
Dari cerita ibuku aku ingat ibu dari Mencius yang dengan kebijaksanaannya mendidik Mencius menjadi seorang filosof yang besar sesudah Confucius. Mencius adalah pengikut Confucius dan memperkembangkan pikiran Confucius selanjutnya. Karena kebesarannya maka oleh filosof-filosof Barat nama Meng-ke (Meng Zhi) seperti Kong Fu-Zhi (Confucius) di latinkan menjadi Mencius. Zhi dalam arti bahasa Tionghoa berarti orang yang pandai dan bijaksana.
Mencius bersifat baik dan jiwanya halus, Beliau mengajar pada kita bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik. Namun karena kepandaiannya dan berani mengritik penguasa, maka Beliau seperti “gurunya” tidak diminta untuk bekerja sebagai perdana menteri atau menteri. Raja-raja di jaman “Peperangan antar Negara” dijaman dahulu. Raja-raja Tiongkok lebih baik memakai murid-murid dari filosof-filosof yang besar ini, karena mereka umumnya lebih menghormati sang raja dan ragu untuk mengkritiknya. Lain halnya dengan Socrates yang oleh Rajanya dihukum mati dengan minum racun. Pemandangan raja-raja Tiongkok jaman dahulu tidak berani menghukum Confucius atau Mencius, karena sang raja takut kalau di sejarah namanya ditulis bahwa dia adalah raja yang menghukum Confucius atau Mencius. Maka dapat dikatakan bahwa Confucius atau Mencius adalah raja tanpa mahkota.
Han Yu seorang intelektual yang terkenal pada jaman Tang dynasti mengatakan bahwa kepandaian Confucius “diturunkan”kepada Mencius, meskipun beliau dilahirkan beberapa generasi sesudah Confucius. Meng Ke, nama asli dari Mencius dilahirkan pada tahun 372 Sebelum Masehi, adalah turunan dari keluarga ternama dari kerajaan Lu. Karena penghidupan yang miskin keluarga Meng pindah ke kerajaan Zou. Seperti Confucius, ayah Mencius meninggal dunia sewaktu Beliau baru berumur tiga tahun. Ibu Meng Ke dan anaknya semula tinggal di pinggiran gunung, tidak jauh dari kuburan. Meng kecil sehari-hari bermain-main dengan teman-temannya seperti mengadakan upacara penguburan jenazah.
Ibu Meng-Ke, berpikir kalau kita tidak pindah rumah, maka anakku ini kelak hanya bisa mengurus upacara penguburan orang yang meninggal dunia. Maka mereka pindah rumah ke kota dan letaknya tidak jauh dari pasar. Meng kecil melihat sehari-hari orang berjualan dipasar. Disini Meng-ke bermain- main dengan teman–temannya seperti pedagang sambil menjerit-jerit untuk menjual barangnya dan teman-teman kecilnya membeli barang apa yang dijualnya.
Ibu Meng-Ke sekali lagi mengajak anaknya pindah rumah, Beliau mengatakan pada Meng-ke: ”kalau kita tidak pindah kelak kau hanya tahu menjual babi.” Kali ini ibunya mencari rumah dengan teliti dan menyewah rumah dekat dari sekolahan. Mengetahui bahwa anaknya sekarang sering mengatakan tentang Confucius, ibunya baru merasa puas atas lokasi rumah yang Beliau sewa itu.
Untuk ongkos hidup, ibu Mencius menenun kain sutra. Disini Meng-ke mulai belajar dengan giat dan banyak membaca buku dari Confucius. Namun tidak lama kemudian Meng-Ke mulai malas belajar dan sering ribut dengan ibunya. Meng-Ke mengatakan pada ibunya bahwa belajar sangat membosankan. Dengar anaknya berkata demikian ibunya mengambil gunting dan didepan anaknya kain sutra yang setengah ditenun itu diguntingnya. Meng-Ke kaget melihat ini, karena hasil dari penenunan ibunya adalah penghidupan mereka. Meng-ke akan menghalangi tindakan ibunya namun kain itu telah digunting menjadi dua. Ibunya dengan sedih tetapi dengan mengeraskan hatinya berkata: ”kau belajar hanya setengah-tengah, seperti guntingan kain sutra ini, achirnya sama saja tidak berguna.” Meng Ke menangis berkata pada ibunya:”Ibu, aku menerima kebijaksanaan ibu, selanjutnya aku akan memperhatikan pelajaran dengan baik, dan aku tidak akan mengecewakan Anda.”
Sejak saat itu Meng Ke belajar dengan giat dan waktu Beliau dewasa, Meng Ke pergi ke kerajaan Lu ditempat mana Confucius mengajar murid-muridnya. Dan disini Beliau menjadi murid dari muridnya Zi Si, cucunya Confucius. Di Tiongkok kebijaksanaan ibu Meng Zhi menjadi teladan dari kebesaran ibu yang untuk mendidik anaknya berani mengorbankan segala dan tidak segan-segan pindah rumah sampai tiga kali.
Breda, 13-04-2004 (Nederland)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua