Budaya-Tionghoa.Net | Karena kesibukan pribadi, saya terlambat menulis artikel ini.Sebetulnya beberapa waktu yang lalu, pernah saya baca beberapa komentar milis tentang ejaan Latin dalam menulis bahasa Tionghoa yang juga dikomentari oleh Sdr. King Hian dengan tepat. Saya tidak bermaksud mengulang yang sudah dibicarakan, saya hanya menambah data dan sejarah penulisan bahasa Tionghoa dengan menggunakan huruf Latin.
Penulisan bahasa Tionghoa dengan huruf Latin telah terjadi pada pertengahan abad 19, bahkan kabarnya sudah ada yang mencoba sebelum abad ke 18, tapi kurang populer. Pertengahan abad ke 19 orang barat masuk ke Tiongkok secara paksa melalui Perang Candu dll. Dengan sendirinya kebudayaan barat dan agama Kristen/Katolik terbawa masuk, terutama untuk kota-kota pantai,seperti Xiamen (atau Emng atau Emui dalam dialek Hokkian), Fuzhou, Guangzhou, Ningbo, Hangzhou, Shanghai dll.
Karena sudah sampai ke Tiongkok, mau tak mau orang Barat mulai menuliskan kata-kata Tionghoa dengan huruf Latin, hal ini dipelopori oleh para pedagang dengan militer yang melindunginya dan para pendeta yang menyebarkan agama Kristen/Katolik di Tiongkok. Karena tidak ada standar transkripsi, maka penulisan nama ataupun kota di Tiongkok menjadi kacau balau, tiap bangsa (Perancis, Inggeris, Belanda, Spanyol, Portugal, kemudian US dll) menuliskannya berdasarkan ejaan masing-masing dan menggunakan dialek di mana ia mendengar nama itu. Hal yang sama terjadi juga terhadap orang Tionghoa yang keluar dari Tiongkok dan datang ke Indonesia yang masih jajahan Belanda, atau ke Malaysia dan Singapura, yang jajahan Inggeris ataupun datang ke tempat lainnya.
Ketika oleh imigrasi ditanya siapa namanya? Mereka umumnya hanya tahu dalam huruf Tionghoa, bagaimana huruf Latinnya tidak tahu. Petugas imigrasi setempat mencoba mendengar bunyi namanya lalu dituliskan berdasarkan yang didengar, sehingga sering menyimpang dari bunyi sebenarnya.
Dalam dialek Hokkian ada bunyi t dengan letupan keras, mereka menuliskannya menjadi th, ada juga bunyi t sengau (bunyi hidung) yang juga dituliskan th (sekarang lazim ditulis tn), jadi kalau ada orang sne Thio orang tak tahu bagaimana cara bacanya, thio dengan letupan, yaitu Thio, atau thio dengan bunyi sengau yaitu Tnio?
Contoh lain orang sne Gouw di Indonesia biasa ditulis, Go atau Gouw atau Gou, tapi di Malaysia/Singapore lebih banyak ditulis Goh. Lauw atau Law di Indonesia, di Singapore dan Malaysia menjadi Low. Orang sne Tjoa di Indonesia, dipanggil Mr. Zoo di Singapore, sebab di sana ditulis Chua dll. Demikianpun nama kota di Tiongkok, Zhangzhou pusat asal utama orang Tionghoa Indonesia, disamping Quanzhou, bisa ditulis Changchou, Changchow, Tjangtjou, Tshangtsou dll, sehingga yang membaca tidak tahu apakah itu Zhangzhou, kampung utama orang Hokkian atau Changzhou, kota besar dipinggir sungai Yangzi?
Para pendeta penyebar agama Kristen, menemui kesulitan menyebarkan agama, karena orang Tiongkok banyak yang buta huruf, sehingga mereka tidak bisa membaca injil dalam huruf Tionghoa, apalagi dalam bahasa asing, Inggeris misalnya. Bila diadakan pemberantasan buta huruf itu akan memakan waktu yang sangat lama, bahkan tidak mungkin tanpa bantuan pemerintah yang memang sudah sangat tidak efektif dan korup waktu itu (waktu itu pemerintah Tiongkok dibawah dinasti Ching dikuasai orang Mancu).
Akhirnya mereka membuat ejaan yang disebut Kaohue Lomaji (huruf Latin dari Gereja). Meskipun di antara mereka ada yang ahli dalam bahasa asing, tapi pengertian mereka dalam bahasa Tionghoa sangat minim. Akibatnya disusunlah ejaan yang dasarnya bahasa barat, terutama Inggeris, yang hanya memudahkan untuk mereka, tapi mereka terbentur nada, yang tak ada dalam bahasa barat. Dipergunakanlah tanda-tanda nada di atas vokal atau huruf hidup.
Karena kebanyakan dari mereka waktu itu masih menggunakan tangan untuk menulis, maka adanya tanda nada di atas huruf tidak menjadi masalah, mudah saja orang menambah tanda di atas huruf a, baik tanda ^ataupun tanda ‘ atau tanda lainnya. Kelemahan ini sangat terasa setelah digunakan mesin tik, apalagi setelah orang menggunakan komputer. Yang unggul ternyata adalah bahasa yang menggunakan huruf Latin tanpa tanda di atasnya, seperti Inggeris, Belanda, Indonesia dll.
Ejaan Latin untuk bahasa Tionghoa yang paling luas penggunaannya adalah ejaan untuk dialek Hokkian, yang sampai saat ini masih dipergunakan di sebagian gereja di Taiwan (orang Taiwan 72% berdialek Hokkian), tapi tetap tidak mampu berkembang menjadi bahasa tulisan, karena terlalu banyak tanda itu, dan tidak bisa menggambarkan kekhususan dialek Hokkian dengan sempurna. Meskipun demikian ejaan tersebut masih dipergunakan oleh sebagian penulis buku pelajaran bahasa Hokkian sekarang dengan sedikit revisi.
Di RRT , di Xiamen digunakan ejaan baru yang disusun oleh para pengajar di Xiamen University, tapi juga kurang populer, sedang di Taiwan sekarang muncul ejaan Hokkian lebih dari 30 macam, mereka berdebat tidak habis-habisnya.
Ejaan yang dipergunakan di Indonesia untuk nama-nama Tionghoa pada dasarnya masih menggunakan ejaan gereja tersebut, tapi sudah tercampur aduk dengan ejaan Belanda, misalnya Chan menjadi Tjan, Thng menjadi Thung, Lau menjadi Lauw, Ui dengan tanda n kecil di sudut kanan atas menjadi Oey atau Oei dsb.