KETIDAK SERAGAMAN PENULISAN DIALEK
Akibat kacaunya ejaan ini, maka ejaan tsb tak pernah dapat dipergunakan untuk menulis dialek Hokkian secara resmi, sebab orang tidak akan mengerti. Sebetulnya bila ada ejaan yang baku, orang Tionghoa Indonesia yang masih menggunakan dialek Hokkian sebagai bahasa ibu di Riau, Sumatera Utara, Jambi, sebagian Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, kalimantan Barat dll. langsung dapat menulis dan berkomunikasi dalam dialek Hokkian satu sama lain, bahkan dapat menulis koran dll.
Demikian juga orang Kheq (Hakka) di Bangka dan Kalimantan Barat. Hal ini bukan tak ada contoh.Keturunan orang Hui (Tionghoa Muslim) di Kazakstan, yang hubungannya terputus dengan Tiongkok lebih dari seratus tahun yang lalu, membuat tulisan dengan huruf Rusia untuk bahasa Mandarin dialek propinsi Gansu. Mereka sekarang bisa mempertahankan bahasa ibunya, menulis buku dan sajak, bahkan menerbitkan koran. Mengapa di Indonesia kita tak mampu? Usulan sdr. King Hian untuk menstandarisir penulisan Latin dialek Hokkian, patut mendapat dukungan.Siapa yang tertarik untuk keperluan ini? Kami dapat bekerja sama.
Penulisan bahasa Tionghoa dalam huruf Latin, baik sebagai bahasa tulisan, hanya sebagai fonetik, ataupun hanya sebagai nama, semua mempunyai nilai praktis, sebab kita hidup di luar Tiongkok, yang bahasa nasionalnya menggunakan huruf Latin, Indonesia misalnya. Kalau kita menulis nama Tionghoa, atau minimal sne (dulu she atau seh) Tionghoa, kita harus menulisnya dalam huruf Latin, baik itu akan menjadi Sartono Tan, Widya Oei dll. Apalagi bagi orang yang tetap menggunakan nama Tionghoa.
Di Indonesia, tanpa ada yang mengatur, dalam penulisan nama Tionghoa, orang sudah cenderung menggunakan dialek Hokkian, mungkin karena orang Hokkianlah yang pertama kali datang ke Indonesia, dan waktu itu bahasa Mandarin belum resmi sebagai bahasa Nasional di Tiongkok. Baik cerita silat, cerita sejarah, maupun
cerita roman, nama-nama para tokoh fiktif (tokoh cerita) ataupun nama tokoh sejarah, yang sebenarnya memang pernah ada, semua ditulis dengan dialek Hokkian.
Kita kenal cerita roman San Pek Eng Tay, dengan tokoh Nio San Pek dan Tjiok Eng Tay. Kita mengenal tokoh sejarah yang dihormati: tiga saudara angkat Lauw Pie,
Kwan Kong dan Thio Hoey, berikut lawan mereka Tjo Tjho dan Soema Ie. Tokoh cerita legendaris Boe Siong memukul harimau, sampai gadis muda belia zaman Song yang berkorban menolong para nelayan yang diterjang badai sampai ia tenggelam di laut Lim Bek Nio, yang sekarang lebih dikenal sebagai Mazou Nionio atau Mazu Niangniang yang dipuja oleh masyarakat Tiongkok daratan, Taiwan maupun Indonesia (ada kelenteng Mazou di Tanjung Kait Tangerang).
Oleh karena itu agar penulisan standar bisa berjalan dan diterima masyarakat, sebaiknya titik tolak kita harus dari ejaan lama, dengan sedikit perbaikan untuk
merombak sisa ejaan Belanda, dan menghilangkan tanda yang sulit yang diwariskan oleh ejaan Kaohue Lomaji, misalnya huruf n kecil di pojok atas kanan tanda bunyi hidung dan titik kecil di pojok atas kanan tanda o pendek. Ejaan yang kami usulkan sbb:
p ph b m w, t th l n, k kh ng g
h, c ch j s y, total 19 konsonan
Ketujuh belas konsonan itu dibaca seperti bahasa Indonesia, konsonan yang mempunyai h harus dibaca sebagai bunyi letupan.
Bunyi hidung ditulis sebagai n yang ditaruh di belakang konsonan, misanya pn adalah p dengan bunyi hidung, sn adalah s dengan bunyi hidung, wna misalnya
adalah mangkok, snua adalah gunung, yna adalah fakta, semua berbunyi hidung.
Thio adalah tio dengan letupan, tnio adalah tio dengan bunyi hidung, ada sne Tnio tak ada sne Thio, demikian juga ada sne Tne, tak ada sne The. Perhatikan ada sne
Phnua, yaitu pua dengan letupan, sekaligus harus dibaca bunyi hidung dll.
Untuk huruf hidup kita mempunyai a e i (yi di awal sukukata) o ou u (wu di awal suku kata), bunyi penyambung adalah u dan a, bukan o,atau w, jadi hua
bukan hoa, kue bukan kwe, hui bukan hooi dll. Bunyi akhir adalah i dan u atau o, jadi tai bukan tay, hui bukan hoey, hao bukan hauw, jiao bukan jiauw, hou
bukan houw, touw bukan tou. Ou dipilih karena memang o pendek ini makin ke selatan (di Tiongkoknya) makin menjadi ou. O panjang adalah o yang berbunyi setengah eu.
Buku terkenal Sia Tiauw Enghiong akan menjadi Sia Tiau Enghiong atau Sia Tiau Yinghiong bila menggunakan logat Xiamen. Dengan menggunakan ejaan sendiri, maka ejaan ini hanya akan dimengerti oleh orang Indonesia, tapi dengan daftar transkripsi dengan mudah dipelajari orang. Kalau kita mengikuti ejaan Xiamen atau Taiwan, risikonya beberapa puluh tahun yad belum tentu ada kesimpulan. Nama kita akan sudah semakin semrawut.
Misalnya pernah ada seorang teman penulis yang bertanya ke mana-mana dari mana asalnya orang sne Tjan. Sudah bertanya kepada orang Hong Kong, Taiwan,
maupun Tiongkok, tapi tak ada yang tahu, jawaban yang didapat adalah: tidak ada orang sne Tjan. Hal ini akibat ejaan yang tidak standar. Di milis Tionghoa LA
di US, ada orang Tionghoa Amerika yang sudah tidak bisa bahasa Tionghoa, mengirim pertanyaan kepada para anggota milis lainnya, menanyakan dari mana asal
leluhur dia sne Tiv.
Tentu saja tak ada yang bisa menjawab. Akhirnya saya hanya mengusulkan agar dia mencari sne Tio saja, sebab kemungkinan imigrasi USA zaman dulu yang tidak bisa menulis Tio. (O dalam dialek Xiamen mendekati eu, tapi dalam dialek Zhangzhou atau Ciangciu berbunyi o pendek, seperti o pada kata balok).Maka kemungkinan paling besar Tiv adalah Tio, salah satu sne besar di Tiongkok.
Contoh-contoh akan diberikan pada tulisan berikutnya, dalam seri ini.
Mengenai bahasa Mandarin jangan dipersoalkan, kalau anda menulis nama dalam Mandarin anda harus menggunakan Hanyu Pinyin, ini adalah ejaan sah di RRT yang mempunyai kekuatan hukum, dan ejaan Tionghoa Mandarin satu-satunya yang diakui PBB, dan dipergunakan oleh semua universitas jurusan bahasa Mandarin di seluruh dunia termasuk USA. Di Taiwan, orang mencoba bentuk lain, bukan karena alasan linguistik, tapi alasan politik, karenanya tak perlu kita ikut-ikutan, karena kita orang Indonesia.
Dalam dialek bahasa Tionghoa ada konsonan yang berada pada akhir suatu kata, misalnya m, n, ng, p, t, k dan h Suku kata dengan huruf terakhir p, t, k dan h dinamakan nada masuk. Nada masuk ada dua macam, yang bernada tinggi diakhiri dengan p, t, k dan h dan yang bernama rendah diakhiri dengan b, d, g dan q. Huruf b, d, g dan q pada akhir suku kata ini dibaca seperti p, t, k dan h hanya saja nadanya yang rendah. Huruf h pada akhir suku kata berbunyi seperti k pada kata bapak dan tidak. K yang tidak berbunyi, contohnya baq =daging, thah= membaca.
Mengenai tanda nada, kami akan menyusulkannya setelah konsep ini berjalan, karena dalam keperluan sehari-hari, sering kita tidak menggunakan tanda nada.
Setelah sampai di sini diharapkan kita semua memulai menulis dengan ejaan ini (ini anjuran bukan paksaan) agar ejaan kita menjadi baku. Sne Tjoa kita tulis
Chua, Tjan kita tulis Can, Thio kita tulis Tnio dll. Kata sehari-hari misalnya: Sintjia menjadi sincnia , Hoktjia menjadi Hokchnia, Tjap Go Meh menjadi capgome
bak daging menjadi baq petjai menjadi pehchai Sin Tjhun Kiong Hie menjadi Sin Chun Kionghi tauhu menjadi taohu taukwa menjadi taoknua , tauge menjadi taoge , Tionghoa menjadi Tionghua (perlu dipertimbangkan dalam bahasa Indonesia apakah tetap Tionghoa, karena sudah terbiasa, tapi dalam dialek Hokkian pasti harus
Tionghua.